Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kontras Warna, Ungkapan Kegelisahan

Karya yang dipamerkan di galeri baru tim adalah non-figuratif. kesenian tradisional menampakkan sosoknya pada sapuan-sapuannya.

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IDAMAN bagi seorang pelukis ialah kesempatan berpameran tunggal. Dia ingin menguji kemampuannya, seberapa jauh bisa berkomunikasi dengan orang lain --para penonton. Bahkan ada yang beranggapan bahwa pameran lukisan tunggal menentukan nasibnya sebagai pelukis. Kalau karya tidak komunikatif, dianggap gagal. Pandangan ini mengundang pendapat lain -- misalnya yang beranggapan bahwa karya seni pasti komunikatif. Tergantung soal waktu dan tempat saja. Persoalan tersebut tentu bisa dipertanyakan pula pada A.S. Budiono, 45 tahun, yang sedang berpameran tunggal 20 Februari-2 Maret di Galeri Baru Taman Ismail Marzuki. Ia menampilkan 47 karya cat minyak dengan judul yang sama, yaitu Irama. Kenapa sama? Apakah problem yang diungkapkan sama semua? Atau ada hal-hal lain? Bagi Budiono sendiri ternyata judul lukisan tidak penting. judul hanyalah untuk memenuhi kebutuhan pameran karena sudah umum dikerjakan orang. Sementara itu banyak pelukis mengalami kesulitan memberi judul. Katanya, apa pun judul yang diberikan selalu tidak tepat dengan apa yang diungkapkan lukisan itu sendiri. Kalau pelukis memberi judul Kuda karena memang dia melukis kuda, tidaklah akan tercakup kekudaan yang diungkapkan dalam lukisan itu. Barangkali judul memang tidak perlu diberikan, karena tidak punya arti apa-apa. Karya A.S. Budiono yang dipamerkan ini non-figuratif. Ia memang sudah melukis begitu sejak awal tahun 60-an. Yang bisa ditangkap secara visual: irama warna, bidang dan garis saja. Irama komposisi yang vertikal dan horisontal menguasai ruang pameran. Beberapa lukisan berkomposisi diagonal. Konsekuensi Hidup Irama tersebut memang terasa jelas -- mungkin karena kurangnya variasi komposisi. Kekurangan ini tentu ada yang menganggapnya sebagai kelemahan. Dan anggapan itu pastilah datang dari mereka yang tidak suka memperhatikan kebutuhan senimannya sendiri. Memang ada yang berpendirian, bahwa menilai lukisan tidak perlu mengaitkannya dengan orangnya. Bagi mereka, bentuk yang tampaklah yang menentukan isi atau ungkapan perasaannya. Pandangan seperti itu tentulah ada konsekuensinya. Misalnya, pengulangan bentuk dalam beberapa lukisan pastilah menghasilkan pengulangan isi atau ungkapan perasaan. Contohnya pengulangan irama dalam karya A.S. Budiono dalam lukisan nomor 30 dan nomor 34 yang berirama vertikal. Pastilah kedua lukisan itu dianggap mengandung pengulangan isi dan ungkapan perasaan. Padahal kalau mau berusaha lebih lama merasakan lukisan itu, akan terasa perbedaan yang besar. Menurut pendapat saya, karya Budiono yang dipamerkan ini memiliki daya kedalaman perasaan. Untuk bisa sampai pada kedalaman ini dibutuhkan kontemplasi di saat berhadapan dengan lukisannya. Sebab kalau tidak, yang didapat hanyalah yang visual saja. Padahal hal visual dalam karya Budiono sudah bukan soal penting lagi. Jadi, pemilihan judul Irama untuk seluruh lukisannya yang dipetiknya dari hal visual itu karena konsekuensi hidup bersama dengan orang lain saja. Lukisan A.S. Budiono sendiri, bagi saya, adalah ungkapan perasaan yang gelisah (konflik). Kegelisahan ini tercetus dalam ketegangan kontras warna oker kekuning-kuningan dengan hitam, biru -- merah diselingi warna terang lainnya. Tapi harap dicatat, warna-warna ini digunakan bukan sengaja untuk memperoleh rasa gelisah. Justru warnawarna itu lahir dari kegelisahan. Sementara jiwanya gelisah, intuisinya jadi peka sekali. Hal ini sangat terasa pada rasa gerak sapuan kuasnya. Atau ketepatan dalam meletakkan warna pada posisinya. Singkat kata, karya A.S. Budiono betul-betul mempunyai kekuatan intuisi seperti lahirnya kesenian Bali atau kesenian tradisional lain. Nashar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus