Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA rivalitas tak sehat antara Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Beberapa tahun belakangan, begitu banyak pertikaian di antara dua lembaga penegak hukum itu. Insiden penembakan empat anggota TNI saat penggeledahan gudang penimbunan bahan bakar ilegal di Batam, Ahad pekan lalu, menambah panjang daftar ripuh TNI-Polri.
Pimpinan TNI dan Polri sudah menjelaskan versi masing-masing, tapi terasa ada yang ditutup rapat ketika sampai pada keterangan tentang biang perseteruan. Seharusnya kedua lembaga itu kompak mencari penyebab utama kejadian, bukan berlomba membela anak buah.
Semangat esprit de corps membabi-buta hanya akan membuat bingung masyarakat. Dalam kasus di Batam ini, umpamanya, kegelisahan orang banyak muncul lantaran dua versi kronologi yang bertolak belakang. Kepolisian menyebutkan kisruh bermula dari operasi penggerebekan oleh 20 polisi di sebuah gudang PT Bintang Abadi Sukses, yang berjarak 500 meter dari Markas Komando Brigade Mobil, di Kecamatan Sagulung, Batam. Polisi menemukan empat drum bahan bakar minyak ilegal. Ketika para polisi bersiap kembali ke markas, tiba-tiba sekelompok orang berambut cepak datang menggeruduk dan menghalangi mereka. Ketegangan memuncak. Polisi baru "dilepaskan" setelah ada tembakan ke tanah yang mengenai kaki dua orang penghadang.
Cerita itu dibantah habis TNI Angkatan Darat. Menurut mereka, dua anggota TNI Batalion 134 Batam yang kena tembak itu baru pulang apel malam dan kebetulan mampir ke lokasi penggerebekan. Dua anggota TNI itu kena tembak di kaki saat polisi menembaki mobil yang kabur dari gudang. Keduanya lalu diangkut ke markas Brimob. Mendengar kawannya kena tembak, ada anggota TNI yang mendatangi markas Brimob. Dia lalu mengaku dikeroyok dan kena tembak di kakinya. Ketika datang anggota TNI yang lain, kejadian penembakan di kaki itu terulang. Pertikaian baru mereda setelah kedua pimpinan turun tangan.
Melacak kejadian yang sebenarnya semestinya tidak sulit-sulit amat. Pembentukan tim pencari fakta independen merupakan salah satu solusi. Bila perlu, tim itu bisa melibatkan Komisi Kepolisian atau Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Hanya, perlu dicatat, tim independen akan efektif apabila para petinggi TNI dan Polri tidak membela anak buahnya secara berlebihan. Anggota TNI atau Polri yang menjadi gerombolan pembuat onar atau menjadi beking penimbunan minyak ilegal tak perlu dibela.
Insiden Batam mengingatkan kita tentang reformasi yang belum tuntas di tubuh Polri dan TNI. Yang terjadi, polisi masih sering memanipulasi penegakan hukum. Sedangkan di TNI, sebagian anggotanya tetap ingin berkuasa di bidang bisnis seperti pada zaman Orde Baru. Menurut penelitian Indonesia Police Watch, konflik kedua lembaga sebagian besar dipicu persaingan bisnis jasa pengamanan. Selama tiga tahun sampai 2013, tercatat enam konflik besar. Salah satunya, pada Maret 2013, markas polisi di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, dibakar anggota TNI.
Hubungan tak harmonis ini harus secepatnya diakhiri. Yang harus memulai perbaikan itu adalah para petinggi TNI dan Polri. Perlu ada komitmen, kedua lembaga tak membiarkan anggotanya terlibat bisnis pengamanan. TNI mesti kembali ke barak dan menjadi penjaga kedaulatan negara. Polri pun harus sepenuhnya menjalankan fungsi penjaga ketertiban masyarakat. Reformasi TNI dan Polri perlu dituntaskan. Agenda Polri meningkatkan profesionalisme—seperti tertuang dalam Grand Strategy 2005-2025—wajib diteruskan. Bila semua perbaikan itu hanya sekadar jargon, bagaimana mungkin mereka melindungi rakyat dan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo