Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Denting Harpa Nusantara

Konser Sisca Guzheng Harp mengkolaborasi harpa dengan instrumen musik lain, seperti kendang, rebana, keyboard, drum, gitar, bas, biola, dan selo.

5 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sisca Guzheng Harp dalam Konser Harpa Nusantara di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, 30 September lalu. TEMPO/ANWAR SISWADI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejam sebelum konser perdananya, Sisca Guzheng Harp deg-degan. Ia cemas kalau-kalau dawai harpanya putus saat dimainkan. Hal itu pernah terjadi sebelumnya. Sisca bersiasat akan segera pindah harpa jika senar dari kawat baja itu ada yang terlepas. Tapi, malam itu, Senin, 30 September lalu, pertunjukannya baik-baik saja. Sekitar 200 penonton menyaksikan penampilannya di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berjudul Harpa Nusantara, Sisca dan pendukungnya mengemas konser itu dengan spesial. Seniman gaek Setiawan Sabana mewarnai panggung dengan bentangan kertas-kertas putih yang memanjang vertikal. Sebagian sengaja disebarkan di depan panggung. Tiga perempuan juga ikut menari dengan pakaian tradisional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam itu menjadi semacam pembuktian atas upaya Sisca mewujudkan harpa buatan lokal. "Saya harapkan harpa Nusantara ini menjadi alat musik yang bisa berbaur dengan alat musik tradisi," ujarnya. Seniman musik kelahiran Bandung, 17 Agustus 1982, bernama asli Fransisca Agustin itu merintis pembuatan harpa sejak 2009. Saat itu, ia menggaet pembuat gitar (luthier) di Bandung, yaitu Ki Anong Naeni. Contohnya berupa harpa silang (cross-strung harp) yang 72 senar bajanya dipasang menyilang vertikal.

Ternyata proses pembuatannya banyak mengalami kendala. Memakai kayu mahoni tua yang tumbang tersambar petir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, semua bagian harpa retak. Bahkan ada yang patah setelah beberapa jam pengencangan senar karena kayunya ternyata rapuh. Bahan yang tersisa pun habis dimakan rayap. "Akhirnya kami membeli kayu impor yang biasa digunakan untuk bahan baku gitar," ujarnya. Hingga akhir hayatnya pada 2014, Ki Anong belum berhasil memperbaiki harpa Toraja, hingga layak dimainkan.

Awan Abu Sofyan, cucu Ki Anong, yang juga pembuat gitar, melanjutkan dengan kalkulasi yang berbeda pada 2015. Bahan kayu dan konstruksinya harus diperhitungkan dengan sangat cermat. Secara teori, soundboard dan soundbox harpa harus lebih tipis agar suaranya bagus. Risiko kayu tipis riskan sobek. Sebaliknya, kendati lebih kuat, pilihan kayu yang tebal akan membuat suaranya tertahan keluar. "Jadi, harus dipilih ketebalan dan serat kayu yang pas," kata Sisca.

Harpa itu terwujud pada 2017 dan selamat melewati dua minggu masa genting setelah senar yang dipasang mencapai nadanya hingga bisa stabil. Hingga setahun terakhir mereka membuat tiga harpa sejenis dengan ukuran dan motif berbeda. Harpa Mega Mendung dan Dewi Sri yang paling besar, kemudian harpa Kawung yang terkecil.

Perjuangan membuat alat musik negeri Barat yang lazim dipakai dalam konser musik klasik itu belum selesai. "Selanjutnya tentu menyelenggarakan konser untuk membuktikan kualitas suara harpa itu." Untuk menciptakan ciri unik dari harpa impor, mereka memilih ornamen etnis Nusantara untuk menghiasi tubuh harpa. Seni ukir dan lukis etnis Nusantara dinilai banyak ragam dan bentuknya, menarik secara visual, dan filosofinya dalam. Sisca menamainya Harpa Nusantara.

Konsernya malam itu digelar dengan konsep kolaborasi dengan instrumen musik lain, seperti kendang, rebana, keyboard, drum, gitar, bas, biola, dan selo bersama duet penyanyi. Karena teknisnya yang universal, kata Sisca, harpa bisa dimainkan dengan beragam jenis musik, modern ataupun tradisional.

Belajar sendiri menguasai harpa dan guzheng-semacam alat musik kecapi di Cina-Sisca telah 16 tahun memainkannya di sekitar 800 acara pernikahan. Sisca juga pernah bermain harpa dengan gitaris Dewa Budjana, Sujiwo Tejo, Dwiki Dharmawan, dan Samba Sunda. Sempat kursus privat komposisi musik kepada Slamet Abdul Syukur, dia ikut terlibat dalam penggarapan musik beberapa pentas teater, seperti Dunia Hades karya Mainteater pada 2019.

Dalam konsernya malam itu, Iman Ulle menggarap musik dan aransemen. Mereka membawakan tembang Hariring Kuring, Kidung Wahyu Kolosebo, Marendeng Marampa, Warung Pojok, Nasonang Do Hita Nadua, Selayang Pandang, Tanduk Majeng, Yamko Rambe Yamko, serta medley lagu perjuangan. Musiknya semarak dan sering kali menenggelamkan dentingan harpa. Padahal, seperti gitaris atau pianis, pemain harpa bisa memainkan melodi dan chord secara bersamaan. Dia bisa bermain solo atau berduet dengan instrumen lain.

Tanpa porsi durasi khusus yang menonjolkan bunyi Harpa Nusantara di setiap lagu, konsep pertunjukannya agak melenceng dari judul besarnya. ANWAR SISWADI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus