Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berawal dari Seorang Nenek Cantik

Meski telat, desain sampul album musik Indonesia mulai tampil artistik—tak lagi cuma foto personel grup atau sosok penyanyi yang mejeng.

17 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada mulanya adalah segumpal kejemuan. Pada pertengahan 1971, Harry Roesli, yang baru keluar dari penjara, gerah sekaligus jemu berhadapan dengan kondisi sosial saat itu. Udara kebebasan yang dihirupnya justru kian membuat resah pemilik nama lengkap Djauhar Zahrsyah Fachrudin Roesli ini. Sebagai seorang seniman musik, ia lantas mencoba menuangkan gelegak keresahannya itu lewat lirik-lirik bernapaskan protes sosial. Hasilnya, ia bersama rekan-rekannya lantas membentuk The Gang of Harry Roesli, band yang mengusung musik dengan sedikit sentuhan progressive rock.

Dan jagat musik Indonesia pun terhenyak ketika The Gang of Harry Roesli meluncurkan albumnya: Philosophy Gang. Selain musiknya, sampulnya juga tak biasa. Sampul Philosophy Gang tampil artistik dengan sentuhan surealis yang kuat. Berlatar merah dan hitam, sampul depan piringan hitam album itu dihiasi lukisan seorang nenek dengan paras "masih cantik" yang tenggelam dalam sebuah gelas. Payudaranya yang kendur tampak menjuntai. Sementara itu, di bagian belakang sampul, ada lukisan alat kelamin pria yang menegang, berhadapan dengan alat kelamin wanita.

Menurut Harry Roesli, ilustrasi sampul album perdananya itu bukan asal nyeleneh. Ilustrasi yang digambarkannya berbicara banyak, juga menggebrak. Ilustrasi yang mencerminkan kondisi sosial bangsa Indonesia saat itu. Alat kelamin itu tampak tegang, tapi tidak ada penetrasi: satu simbol represi rezim saat itu. Banyak hal yang membuat orang tegang, marah dengan kondisi yang ada. Masyarakat hanya bisa marah, tapi tak berdaya untuk berbuat sesuatu. "Jangankan melakukan sesuatu, protes saja tidak berani," katanya kepada Sohirin Irin dari TEMPO.

Harry Roesli menambahkan, lukisan seorang nenek berparas "masih cantik" menggambarkan alam Indonesia itu kaya dan eksotis. "Namun masyarakat tak bisa memanfaatkannya karena dikuasai oleh negara," ujar pria kelahiran Bandung 10 September 1951 ini.

Adik Murad Kusumo Handoyo—sang ilustrator sampul itu—menyodorkan tafsir lebih verbal atas karyanya. Menurut dia, ilustrasi sampul Philosophy Gang melukiskan budaya alkohol dan seks bebas. Sebuah kondisi sosial yang tengah melanda anak muda Indonesia saat itu. Lukisan penis dan vagina merupakan simbol seks bebas. Adapun lukisan nenek dengan payudara menjuntai dalam sebuah gelas adalah gambaran pengaruh budaya alkohol. Tafsirannya, "Bila terus terjebak dengan alkohol, anak muda kita akan menjelma seperti sosok nenek itu," pelukis surealis alumni Seni Rupa Institut Teknologi Bandung ini menjelaskan.

Cukup menarik, memang. Baik Adik Murad maupun Harry Roesli menyatakan, ilustrasi itu merupakan cerminan dari sebagian syair lagu dalam album tersebut, terutama lagu Malaria dan Peacock Dog. Jika dihayati, lirik-lirik lagu dalam Philosophy Gang mengungkapkan kondisi sosial waktu itu. Lagu Malaria, misalnya, menceritakan percakapan sepasang kekasih di tempat tidur yang frustrasi dengan keadaan sosial saat itu. Harry Roesli berpandangan, untuk melakukan perubahan tak harus menjadi sesuatu yang besar. Cukup seperti seekor nyamuk malaria, kecil tapi mematikan. Sedangkan lagu berbahasa Inggris, Peacock Dog, menunjukkan sikap yang kritis terhadap negara kita yang memiliki dua sisi yang kontradiktif: antara merak yang mempesona dan anjing yang menyebalkan.

Sayangnya, Philosophy Gang yang hanya dirilis dalam bentuk piringan hitam itu tak beredar di Indonesia. Rezim tiran saat itu melarang peredarannya, sehingga hanya kalangan terbatas yang bisa menikmatinya. Yang jelas, dari sisi desain, ilustrasi sampul album itu terbilang fenomenal. Ia mendobrak tren sampul album musik Indonesia yang waktu itu didominasi gaya konvensional dan seragam: menampilkan foto para personel grup atau si penyanyi. Lantas, kenapa harus menyempal? "Ya, pengen saja. Karena saat itu saya jemu dengan kemapanan," Harry Roesli menandaskan.

Philosophy Gang bukan satu-satunya yang antikemapanan. Pada tahun yang sama, napas antikemapanan juga diusung Benny Soebardja dengan band Shark Move-nya. Melalui album Ghede Chokra's, Benny dan band-nya mendobrak tren yang mengungkung saat itu. Ilustrasi albumnya tampil tak biasa-biasa saja. Pekat dengan nuansa surealis, sampul album itu menampilkan personel Shark Move sedang menunggang ikan hiu dengan senjata terhunus. Mereka siap membunuh kalajengking raksasa—personifikasi kemapanan—yang muncul di tengah lautan. Menurut Benny, ilustrasi itu melukiskan perjalanan musik yang diusungnya—progressive rock—yang ingin mendobrak sekat-sekat. "Saat itu, musik beraliran rock memang masih dianaktirikan," katanya.

Waktu terus bergulir. Pada penghujung 1976, dunia rekaman Indonesia kembali terhenyak oleh kehadiran Guruh-Gipsy. Bentuknya menarik: sebuah kaset berikut buklet. Desain ornamen Bali yang menghiasi sampul kaset itu sepintas mirip dengan desain opera rock Jesus Christ Superstar karya Andrew Llyod Webber. Dengan kemasan terbilang mewah dan sangat artistik waktu itu, kaset yang memuat enam lagu tersebut dilempar dengan harga "hanya" Rp 1.500.

Yang juga tak kalah menarik adalah sampul belakang dari buku penopang kaset itu. Di sana ditampilkan para personel Guruh-Gipsy (Keenan Nasution, Odink Nasution, Roni Harahap, Abadi Soesman, Chrisye, dan Guruh Sukarno Putra) dalam lukisan gaya Bali. Lukisan karya Ayik Soegeng yang artistik tersebut menjadi desain yang sangat menarik—sekaligus sesuatu untuk sebuah sampul kemasan album musik Indonesia saat itu.

Buku penopang kaset setebal 32 halaman itu memuat catatan terciptanya lagu serta proses perekaman. Ini mungkin sudah berlebihan bagi mereka yang hanya ingin mendengarkan musik tanpa repot membaca-baca. Tapi inilah memang rekaman yang paling serius untuk pasaran kaset sampai saat itu: ia mengajak para pembelinya tidak hanya duduk ongkang-ongkang nguping, tetapi ikut masuk ke studio. Ikut berjalan sejak mula ide lagu itu muncul, sampai pada kesulitan-kesulitan dalam perjalanan selanjutnya. Ini semacam film Let It Be dari kelompok The Beatles, yang menceritakan proses perekaman album Let It Be.

Sasarannya adalah semacam pembeberan untuk tak menyembunyikan apa-apa, sehingga timbul kesan akrab. Lalu proses itu sendiri menjadi lakon dengan sendirinya. Harapannya, bila lagu kemudian didengarkan, kita seakan-akan merasakan kisah pergulatan manusia. Terutama sekali karena kaset Guruh-Gipsy ini adalah eksperimen, perkawinan antara unsur gamelan (Bali khususnya) dengan musik Barat. Menurut Keenan Nasution, eksperimen itu dilakukan karena ingin mencoba sesuatu yang baru. "Biasalah, anak muda kan selalu ingin coba ini coba itu," katanya. "Apalagi kami sering merasa jenuh memainkan musik yang itu-itu juga," Keenan menambahkan.

Memasuki era 1980-an dan 1990-an, desain sampul album musik Indonesia yang cukup menarik dan unik mulai bermunculan. Rangkaian sampul tak lagi hanya menampilkan personel para musik yang sedang mejeng. Tapi mereka mulai memperhatikan faktor artistik dan estetika. Satu di antara yang menarik dan artistik adalah sampul album Berikan Kesempatan karya Keenan Nasution. Dalam sampul album itu ditampilkan seseorang—dengan gaya sedikit pongah—yang tengah duduk dalam sebuah mobil mewah. Sedangkan di belakang mobil itu tampak seorang tukang koran dengan tampilan sangat lusuh.

Menurut Gauri Nasution, ilustrator album tersebut, sampul Berikan Kesempatan menggambarkan kontras antara yang kaya dan miskin. Antara yang mapan dan terpinggirkan. "Pesan yang ingin disampaikan adalah berikan kesempatan bagi mereka yang terpinggirkan," ujarnya. "Kesempatan kerja, pendidikan, dan menikmati kehidupan yang lebih layak," Gauri, yang juga saudara kandung Keenan Nasution itu, menjelaskan.

Selain desain yang tampil menarik, era 1980-an dan 1990-an juga diwarnai oleh pencekalan atas ilustrasi sejumlah sampul album. Misalnya album Atiek C.B. bertajuk Magis, yang dirilis pada 1993. Dalam ilustrasi karya Dik Doank itu tampil gambar palu arit. Album itu pun ditarik dari peredaran, dan kemudian dilempar lagi ke pasar dengan desain sampul yang baru. Menurut Dik Doank, sebetulnya ia tak bermaksud apa-apa dengan menyelipkan gambar itu. "Ternyata kita memang masih takut dengan simbol-simbol," katanya.

Begitulah. Dan kini memasuki era 2000, dunia sampul kaset dan compact disc (CD) Indonesia telah melangkah lebih jauh. Selain desainnya yang artistik, kemasannya juga terbilang unik. Misalnya album Discus, In Memoriam, Imanissimo, dan Pendulum. Bahkan yang disebut terakhir terbilang menarik. Pasalnya, desainnya yang artistik itu merupakan buah karya personel grup Pendulum sendiri, Turi Ismanto.

Turi—demikian gitaris Pendulum lulusan Seni Rupa IKJ itu biasa disapa—mengungkapkan, khusus untuk sampul album kedua bertajuk Hypnotize merupakan perjalanan karyanya selama setahun. Pekat dengan gaya surealis, Hypnotize menampilkan dua figur jahat berjubah hitam dan figur baik berjubah putih. Sosok jahat berjubah hitam menyerahkan pendulum kepada sosok baik berjubah putih melalui cermin ajaib. "Pendulum itu menjadi media serah terima dari hal-hal yang jahat kepada yang baik melalui cermin ajaib," tuturnya.

Di luar itu, kemasan album itu dibuat unik: setiap lagu dituangkan dalam satu halaman berukuran 12 x 12 sentimeter. Dan setiap halaman itu terdiri atas lirik lagu dan ilustrasinya. Misalnya, lagu berjudul 666. Lagu itu mengungkapkan enam jam, enam hari, dan enam mimpi. Lagu ini dibuat dalam enam jam enam hari dan memiliki enam mimpi. Karena kita bicara tentang waktu, ada jam pasir. Suasana musik dan lagunya sendiri bernuansa padang pasir. Pasirnya itu turun kemudian membentuk piramida. "Lagu ini menggambarkan perjalanan kita yang dipersonifikasi empat ekor unta, mewakili kita berempat," tutur pengagum Salvador Dali dan Dede Eri Supriya itu.

Nurdin Kalim, Arif Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus