Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelaki bercambang putih itu keluar dari ruang belakang rumahnya. Ia duduk di kursi ruang tamu. Peluh membasahi kaus yang membungkus kulit keriputnya. Ia habis mengayuh sepeda dari Pasar Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Jarak pasar itu 10 kilometer dari rumahnya di Jalan Pingit, Yogyakarta. Sepeda kumbang onta dengan cat mengelupas ada di ujung barat ruang tamu. Dua reproduksi lukisan Affandi menghiasi ruangan rumahnya.
Meski usianya telah 80 tahun, SuharÂdjono, atau dikenal dengan Djon, masih tampak bugar. Djon adalah sopir dan asisten pribadi maestro pelukis Affandi. Dia menemani Affandi hampir 30 tahun. Oleh beberapa kalangan, sampai-sampai Djon dianggap memiliki kemampuan menilai keotentikan sebuah lukisan Affandi.
Maret lalu, sebuah buku mengenai Pak Djon diterbitkan. Judulnya: Dia Datang, Dia Lapar, Dia Pergi: Kenangan Pak Djon, Sopir dan Asisten Pribadi tentang Pelukis Affandi (1907-1990). Buku setebal 308 halaman itu ditulis oleh pengamat seni rupa Hendro Wiyanto dan Hari Budiono.
Djon bersemangat saat Shinta Maharani dari Tempo mengajak membicarakan buku tersebut. Ia kemudian berkisah mengenai pengalamannya bersama sang maestro, dari berkeliling ke sejumlah negara hingga lukisan palsu Affandi.
Saya pertama kali melihat sang maestro ketika berumur lima tahun. Waktu itu saya tinggal di kawasan Kricak, sebelah barat Yogyakarta, bersama ayah. Pelukis Sudjono Abdullah, kakak pelukis Basoeki Abdullah, menyewa sebagian rumah bapak saya. Setiap hari Sudjono melukis. Ia kerap mendapat pesanan lukisan dari orang Jepang. Affandi dan seorang guru Sekolah Dasar Kanisius Gowongan sering datang.
Saya tak pernah membayangkan akan berjumpa kembali dengan Affandi setelah pertemuan itu. Ketika itu, saya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Tamansiswa. Pada 1953, saya ke Sonobudoyo bersama rombongan sekolah. Affandi dan Sapto Hudoyo, menantu Affandi, tiba di Sonobudoyo. Affandi mengisi acara sarasehan.
Maestro itu menunjukkan foto-foto lukisannya. Dalam lukisan itu ada tangan berbentuk bengkong-bengkong. Affandi, yang masih muda waktu itu, berpenampilan kumal. Rambutnya panjang awut awutan. Tak pernah sedikit pun saya membayangkan akan menjadi sopir Affandi.
Selepas tamat dari SMP Tamansiswa, saya bekerja sebagai kernet opelet dan bus baker dengan rute Yogyakarta dan sekitarnya. Setelah mendapat surat izin mengemudi dan mahir mengemudikan mobil, saya bekerja sebagai sopir truk serabutan.
Saya kemudian bekerja pada seorang warga Amerika Serikat bernama Macbeth. Dia pengajar bahasa Inggris di Jalan Sayidan, Yogyakarta. Juragan saya itu lalu kembali ke Amerika. Saya kemudian pindah kerja. Saya bekerja sebagai sopir di Akademi Militer Nasional Magelang selama dua tahun. Saya tak betah. Saya merasa di militer itu seperti mesin. Ini tidak cocok untuk saya. Tak bebas. Di sana, saya selalu berusaha mangkir dari kewajiban militer, seperti baris-berbaris dan piket.
Malas terhadap rutinitas itu, saya memutuskan keluar dari pekerjaan tersebut. Saya kembali menjadi sopir truk pada 1961. Pekerjaan saya tak menentu. Sebagai sopir persenan, saya hanya mendapat upah 10 persen dari ongkos angkut atau sewa truk Chevrolet. Truk yang saya kendarai mengangkut gula pasir, beras, dan batang kelapa kayu glugu. Rute saya Yogyakarta-Kebumen- Bandung-Jakarta.
Kebosanan lalu mendera saya lagi. Rute kendaraan yang saya bawa itu-itu saja. Pada 1961, nasib baik menghampiri saya. Saya berjumpa dengan Yitno, sopir senior Affandi. Dia dipercaya menyopiri sedan Chevrolet-Impala, mobil Affandi yang dibeli langsung dari Amerika pada 1960-an. Suatu kali sedan putih Affandi yang dikendarai Yitno menyerempet gerobak sapi. Waktu itu ia dalam perjalanan menuju Manisrenggo, Prambanan, Yogyakarta. Yitno merasa bersalah dan mengundurkan diri. Saya diminta Yitno menggantikannya sebagai sopir Affandi.
Yitno berujar kepada saya: ketimbang menyetir truk lebih baik jadi sopir Affandi. Saya tertarik pada tawaran Yitno. Saya yakin bisa menjadi sopir Affandi karena pernah mengendarai mobil bule Amerika. Saya dan Yitno lalu datang ke rumah Affandi pagi hari. Saat itu, Pak Affandi melongok dari rumah panggung. Dia hanya memandang selintas. Pak Affandi waktu itu bilang enggak mau. Usia saya masih muda. Pikir Affandi, karena saya masih muda, masih suka ngebut.
Selama hampir 30 tahun menemani Affandi, saya diajak berkeliling Asia, Australia, dan Eropa. Setidaknya ada 13 negara yang pernah saya kunjungi. Affandi mengajak saya karena saya dianggap pintar memasak, menyetir, dan menyiapkan peralatan lukis. Faktor masakanlah yang paling membuat Affandi mengajak saya. Affandi itu orang yang makan harus ada nasi. Dia lidahnya lidah Nusantara.
Suhardjono lahir dari keluarga Jawa Katolik. Ia lahir di Kampung Pingit, Yogyakarta, 8 Maret 1934. Dia punya adik laki-laki bernama Sumaryono. Djon anak pasangan Paulus Abdullah Madyosuwarno dan Christina Dalipah. Dia bersekolah di SMP Tamansiswa Yogyakarta pada 1953.
Djon menikah dengan Siti Badriyah pada 1957. Dari pernikahan itu, lahir lima anak. Siti Badriyah meninggal pada 1989. Sekitar dua tahun kemudian, Djon menikah dengan Maemunah, sepupu Maryati, istri Affandi. Maemunah sempat merawat Affandi ketika sakit.
Djon biasa menyiapkan sarapan sebelum Affandi bangun tidur. Djon juga menyiapkan peralatan melukis Affandi, seperti kanvas, cat, minyak cat, terpentin, minyak tanah, gombal, dan pakaian kerja pelukis. Ketika Affandi melukis, Djon bertugas menyodorkan tube cat sesuai dengan warna yang diinginkan Affandi. Djon juga membersihkan badan Affandi yang belepotan cat.
Djon mengurus Affandi saat sakit. Ia paham obat apa saja yang harus diminum sang maestro. Ketika Affandi merasakan masuk angin, Djon juga memijat dan mengeroki badannya. Setelah Affandi wafat pada 1990, Djon kerap menjadi rujukan para kolektor atau pencinta seni tentang lukisan-lukisan karya sang maestro, termasuk untuk mengecek keasliannya.
Kedekatan saya dengan Affandi membuat saya banyak tahu tentang lukisan ÂAffandi dan pelukis lain. Setelah Affandi meninggal, banyak orang yang mendatangi saya mengecek keaslian lukisan Affandi. Ada juga orang yang datang membawa lukisan bertanda tangan Dullah, Hendra Gunawan, Popo Iskandar, Sudjana Kerton, dan Sudjojono.
Saya juga sering bercerita mengenai kolektor lukisan Affandi. Saya tahu ada kolektor yang membawa sekian lukisan Affandi karena sangat dipercaya Affandi, tapi tak satu pun lukisan ia bayar. Saya juga tahu kolektor yang susah ditagih. Suatu saat, misalnya, Affandi melukis di Bali. Ada seorang kolektor yang kemudian mengejar ke Bali, membeli sejumlah lukisannya. Kolektor itu menjanjikan membayar lukisan di Jakarta. Tapi kemudian ia alot ditagih. Affandi semula tidak mau menagih. Namun istri Affandi, Maryati, gigih menagih kolektor itu. Akhirnya kolektor itu membayar dengan cara mencicil. Pembayaran baru lunas setelah sekian lama.
Untuk mengecek keaslian lukisan Affandi, saya hanya butuh waktu sekilas. Saya tak pernah mematok harga untuk mengecek keaslian lukisan. Saya berpatokan pada garis, tata warna, suasana, proporsi, komposisi, dan anatomi. Selain itu, Affandi menggabungkan teknik plotot dan sapuan dalam semua karyanya. Jadi tidak semua karya Affandi total plotot. Beberapa lukisan yang orang tunjukkan kepada saya memang sering yang meniru gaya melukis Affandi. Namun ternyata lukisan itu palsu.
Saya juga berbekal intuisi untuk melihat keaslian lukisan Affandi. Interaksi saya yang intens dengan Affandi membuat saya punya ikatan batin dengan hampir semua karyanya. Saya contohkan semua potret diri Affandi tidak ada yang tersenyum. Lukisan potret diri semua sedih dan muram.
Ada juga lukisan sabung ayam. Ciri khas Affandi adalah ada latar belakang kaki manusia menghadap ke depan. Kalau ayamnya mati dalam lukisan sabung ayam, Affandi melukiskan kaki menghadap belakang seperti orang pergi meninggalkan arena sabung ayam.
Suatu saat saya pernah diminta mengecek keaslian lukisan Affandi. Seorang kolektor di Yogya (Djon minta tak disebutkan namanya), membeli lukisan dari Sardjana Sumichan, anak kolektor lukisan Affandi, Raka Sumichan. Kolektor itu menenteng lukisan bermotif Desa Sorrento, Italia, ke Museum Affandi hingga dua kali. Bu Kartika (putri Affandi yang juga pelukis) bilang lukisan itu palsu. Lalu Si kolektor menemui saya di rumah untuk mengecek lukisan itu.
Menurut saya, lukisan itu benar-benar karya Affandi. Ceritanya, Pak Affandi melukis Desa Sorrento hingga dua kali. Lukisan pertama dilukis secara on the spot atau melukis langsung di lokasi obyek lukisan. Sedangkan lukisan kedua dilukis Affandi di hotel. Si kolektor membeli lukisan yang dilukis Affandi di hotel.
Saya sedih ketika menjumpai lukisan Affandi yang dipalsukan. Saya tahu lukisan palsu itu sudah banyak berada di tangan kolektor. Harganya ada yang sama dengan lukisan asli karya Affandi sekitar Rp 2,5 miliar. Menurut saya, barong adalah motif lukisan Affandi yang paling banyak dipalsukan.
Saya juga pernah diundang oleh seorang bangsawan Yogyakarta (ia meminta nama bangsawan ini tak diungkap). Dia menyatakan punya tiga lukisan karya Affandi. Dia penasaran dan ingin mengecek keaslian lukisan itu. Entah bagaimana caranya bangsawan itu mendapat informasi mengenai saya. Saya diundang ke kediaman bangsawan tersebut. Tiap lukisan ditaruh di satu ruangan tersendiri. Saya cek satu per satu dari pintu ruangan. Saya pastikan tiga lukisan itu palsu.
Saya juga kenal seorang kolektor muda yang mengaku punya puluhan lukisan Affandi. Saya belum mengecek dan kolektor itu juga sampai saat ini tidak memperlihatkan lukisan tersebut kepada saya. Tapi saya curiga ada lukisan yang palsu. Saya dengar, di sejumlah galeri sekarang, lukisan Affandi beranak-pinak.
Sejak 1989, Djon tak lagi menjadi sopir Affandi. Setelah berhenti sebagai sopir sang maestro, dia membuka toko kelontong di rumahnya di Jalan Pingit Jt I/177, RT 13 RW 4, Yogyakarta. Dia juga menyewakan kamar kos. Djon, yang tinggal bersama anak sulungnya, Sofianto, memiliki 15 cucu dan 11 cicit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo