BUKU-BUKU terbitan India masuk pasaran Indonesia. Ada yang teks Inggris, dan sedikit berbahasa Urdu. Pekan lalu, di Gedung Perpustakaan Nasional, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, pecinta melihat 720 judul buku eks India yang dipamerkan. Haryati Soebadio, Dirjen Kebudayaan Departemen P dan K, membuka pameran tersebut. "Buku sangat penting dalam hidup kita." ujar D.R. Kararia, Sekretaris II Kedubes India. "Kami berusaha mendorong penerbitan buku dengan harga yang terjangkau segenap lapisan masyarakat. India juga menganut kebijaksanaan yang bebas dalam impor buku." Karena itu, India lalu bangkit sebagai penerbit buku berbahasa Inggris ketiga terbesar, serta penghasil buku terbesar nomor delapan di dunia. Nilai ekspornya mencapai US$ 20 juta. Negara ini, kini, mengekspor buku-bukunya ke 80 negara, antara lain AS dan Inggris. Dan dalam setahun India memproduksi 20.000 judul. Keberhasilan ini karena didukung 12.000 penerbit - umumnya penerbit kecil - di Delhi, Bombay, Madras, dan Calcutta. Ditambah lagi dari 2.000 penerbit di bawah lembaga pemerintah. Selain industri percetakannya berkembang, penerbit di sana didukung pula oleh barisan editor yang bagus, tenaga ahli, dan anngan distribusi yang sudah demikian rapi serta luas. "Kita ketinggalan jauh dengan India," kata Doddy Yudhista, Ketua Umum Ikapi Jaya. "Di negeri kita ini kemampuan penerbit menghadirkan buku baru 5.000 judul. Dan oplahnya rata-rata 5.000 eks untuk tiap judul. Ini pun dari sekitar 150 penerbit." Penerbit Indonesia masih pula berhadapan dengan pembajakan, hak cipta, dan semacamnya. Dan ini jelas mengendurkan semangat menerbitkan buku. Penduduk India hampir "kutu" dan haus baca buku. Malah cenderung menghibur diri dengan buku. Dan 30 tahun silam mahasiswa di India hanya 15 juta, tapi kini sudah 120 juta yang terserap di 70 lembaga pendidikan. Orang India juga terbiasa berbahasa Inggris. Justru itu, soal alih teknologi, misalnya, lewat buku teks Inggris tak menyulitkan proses. "Dan patut dicatat adalah kebanggaan mereka memakai buku buatan sendiri walau mutu cetak belum bagus," kata Doddy. Di sana, royalty untuk pengarang juga masih kecil. Karena itu, harga buku di India termasuk murah. PT Inti Agung, milik Haji Masagung, penyalurnya sejak awal 80-an, mencatat bahwa buku eks India harganya hampir sepertiga dari jenis yang sama yang diterbitkan di AS. India memang tak peduli dengan mutu cetaknya karena lahir dari mesin yang mereka bikin sendiri. Kertasnya juga produksi sendiri. Karena itu, buku eks India punya sisi unik. Masuknya buku-buku tersebut ke Indonesia, menurut catatan Ikapi, telah berlangsung sejak pertengahan tahun 70-an melalui jalur-jalur resmi. "Kami pertama kali melayani pesanan buku-buku agama terbitan India dari Departemen Agama RI," kata Pratomo Soemitro, 60, Kepala Divisi Buku PT Inti Agung. Hingga kini, omset buku agama dari India masih tercatat tinggi. Buku lainnya terjual 5 eksemplar per judul, sedangkan buku agama terjual 30 eksemplar. Meski buku eks India harganya murah, setelah di Indonesia, jadi mahal. "Harga jualnya hampir dua kali lipat," kata Pratomo. Buku itu terkena PPN 10%. Selain itu beban ongkos kirim dan biaya transaksi tinggi. "Kami mendapatkan buku itu melalui Singapura. Di sini belum ada cargo langsung," kata Pratomo. Walau setelah devaluasi, harga buku Indonesia masih murah jika dibandingkan dengan eks India itu. Namun, ada kesenjangan. Dalam laporan Unesco, misalnya, disebutkan bahwa negara maju itu tiap jutanya menyedot 450 judul buku, sedangkan negara berkembang hanya mampu menyerap 35 judul. Dan jumlah ini banyak ditunjang India. Maka, tak usah kaget kalau dalam pameran kali ini ada dongeng-dongeng Indonesia berbahasa Inggris dicetak di India. Musthafa Helmy, Laporan Yulia S. Madjid & Antosiasmo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini