Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dunia Nyai, Dunia Sangsai

Dunia nyai adalah dunia sangsai. Telah terjadi semacam pelesapan ingatan, baik secara sistemis maupun alami.

22 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda
Penulis: Reggie Baay
Penerjemah: Siti Hertini Adiwoso
Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta, 2010
Tebal: 297 hlm + xx

Pernyaian atau pergundikan, galibnya, adalah kehidupan penuh ketimpangan relasi antara laki-laki asing dan perempuan pribumi, yang pada gilirannya melahirkan generasi Indo. Kendati hubungan seperti itu telah melahirkan sejumlah keturunan, seperti halnya Reggie Baay, penulis buku ini, tak mungkin dimungkiri bahwa pergundikan adalah sejarah kelam. Maka yang terjadi bukan amnesia, melainkan ”sengaja lupa” akan asal-usul semacam itu.

Intinya bermuara pada pemarginalan posisi wanita dalam sejarah kemanusiaan di masa kolonial di Hindia Belanda. Pemosisian yang begitu rendah, yang memperlatakan mereka, adalah aib yang hendak dikesampingkan oleh sekitar 800 ribu orang Indo di Belanda. Namun tidak bagi Reggie Baay.

Terasa kuat ada keinginan padanya untuk melawan atau menepis kecenderungan ahistoris seperti itu. Bukan lantaran di dalam tubuhnya mengalir darah nyai, melainkan karena ia percaya pernyaian adalah realitas dan bagian sejarah sosial Belanda. Karena itu, sejarah perempuan yang selalu dicibir dan bahkan akan dilupakan ini, menurut dia, perlu memperoleh perhatian.

Sebuah kenyataan bahwa kehidupan nyai cenderung disisihkan dan hanya serupa pecundang. Dalam pandangannya, pernyaian sangat layak disimak dan diingat serta mendapat tempat yang merupakan haknya di dalam sejarah. Ia tidak ingin sejarah kehidupan nyai terkubur dan lalu tidak ada seorang pun yang mengingatnya.

Memang, sebuah kenyataan pula bahwa sosok nyai yang dipahami banyak orang adalah citra negatif yang menistakan. Dalam buku ini bertebaran pandangan yang mencitrakan nyai sebagai diri yang hina dan rendah. Bukan hanya diidentikkan laiknya pelacur, nyai bahkan kerap dianggap tak lebih dari hewan bersyahwat. Pencitraan yang stereotipe ini tidak sepenuhnya benar, tapi begitulah yang mengemuka.

Ada nyai yang hidup dengan orang Eropa atas dasar cinta. Tapi, bagi sebagian besar perempuan di masa itu, hidup dalam pernyaian bukanlah pilihan, melainkan keterpaksaan atau cara untuk bertahan hidup. Akibatnya, banyak tercipta kondisi seolah mereka hidup berdampingan, padahal tidak mengenal satu sama lain. Salah satu penyebabnya adalah pergundikan hanya fase sementara bagi orang Eropa, sehingga mereka pun pada akhirnya dapat berbuat sesukanya terhadap nyai mereka.

Sebagai sebuah kehidupan, tentu, ada pula gundik yang setia yang secara halus dijuluki inlandse huishoudster atau ”pembantu rumah tangga pribumi”. Tapi yang dominan memang sebutan yang merendahkan, seperti moentji atau snaar. Dikenal pula istilah lain, misalnya meubel, yang sepadan dengan makna bahwa nyai tidak lebih dari barang yang dapat dilelang. Sebutan yang paling positif adalah boek atau woordenboek, yang bertolak dari anggapan bahwa nyai pun dapat berperan sebagai penerjemah atau pengajar bahasa untuk berkomunikasi dengan pribumi.

Dalam pandangan Baay, penggambaran merendahkan itu tetap bertahan sampai akhir dan merupakan bias dari kondisi kolonial. Dikatakannya pula pencitraan seputar nyai bertujuan menarik garis pemisah sosial dan rasial. Sebagai fenomena sosial di masa kolonial, tentu, tidak semua pandangan akan selalu miring. Annie Foore, misalnya, bersimpati kepada nyai dan menggambarkan sosok nyai secara obyektif. Sosok nyai juga mempunyai peran penting, setidaknya sebagai agen budaya.

Fakta sosial bahkan menunjukkan bahwa Putri Laurentien yang merupakan istri Pangeran Constantijn—putra bungsu Ratu Beatrix—adalah keturunan nyai bernama Mankam. Kerabat Pangeran Bernhard pun ada yang berasal dari dunia pernyaian ini.

Karena itu, sudah saatnya nyai mendapat tempat yang merupakan haknya di dalam keluarga Indies dan di dalam sejarah, sebelum semua terlambat dan tidak ada seorang pun yang mengingatnya lagi. Sebagaimana harapan Baay.

Ibnu Wahyudi, alumnus Universitas Indonesia dan Monash University; pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus