TIBA-TIBA gitaris tua itu muncul lagi. Menyeruak di acara musik
Chandra Kirana, pimpinan Diah Iskandar, pertengahan April yang
lalu. Ia tampil sehagai bintang tamu, membawakan lagu Ikal
Mayang, gubahan Almarhum Iskandar. Jari-jarinya tetap lincah dan
dengan gaya yang segera mengingatkan penonton pada masa-masa
jayanya, pada tahun-tahun '60-an.
Eddy Karamoy, lahir dengan nama lengkap: Jusuf Frederick
Karamoy, kini sudah berusia 51 tahun. Sejak 1972 ia menghilang
dari kota kelahirannya, Bandung. Mundur teratur ke sebuah kota
sejuk di daerah Malang yang bernama Batu. Ia meninggalkan dunia
musik dan membawa istri serta keempat anaknya untuk mengabdi
pada dunia gereja melalui Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil
Indonesia (YPPII). "Tapi perkembangan dunia musik tetap saya
ikuti," katanya kepada TEMPO.
Eddy mengaku muncul di acara tv stasiun Jakarta bulan April itu
secara kebetulan. Ketika itu, katanya, ia akan mengambil sebuah
gitar Gibson di ibukou yang dibelinya dengan harga Rp 250.000.
Tatkala bertemu dengan rekan-rekan lamanya, ia langsung diajak
ikut rekaman. Bagi Eddy, ajakan yang mendadak itu tidak
menyulitkan, karena selama di lingkungan gereja ia tidak pernah
membunuh darah musiknya.
Dipenjara
Gitar bagi Eddy adalah sesuatu yang istimewa. Percintaannya
dengan alat musik itu cukup panjang dan getol. Dimulai di
Bandung, ketika ia diam-diam belajar main gitar sendirian
setamatnya dari STM. "Tidak ada seorang pun yang membimbing
saya," ujarnya mengenangkan "jangankan guru, buku-buku
pelajaran saja ketika itu tak ada."
Karena begitu keranjingan, Eddy sering mengintip orang main
gitar di pesta atau hotel-hotel -- misalnya Hotel Homann yang
waktu itu amat terkenal di Bandung. Waktu itu musik yang merajai
tempat-tempat dansa adalah jenis musik Hawaii. Ia tak
segan-segan menawarkan dirinya sebagai pesuruh, asalkan bisa
terus dekat dengan para pemain musik. Supaya bisa berada di atas
panggung misinya, ia memegang atau membawakan jas para pemain.
"Dari sanalah saya mengenal grip-grip gitar, kemudian sampai di
rumah saya praktekkan," kata gitaris itu .
Keluarga Eddy beragama Nasrani Katolik. Ayahnya orang Manado.
Sedangkan ibunya Jerman. Mula-mula kedua orangtuanya tidak tahu
si kecil Eddy sudah begitu edan pada gitar. Tak pula mereka
fahami betapa anak itu tiba-tiba telah memiliki sebuah gitar.
Berkat keuletan sendiri, Eddy akhirnya bisa memetik gitar dengan
cepat. Kenalannya di kalangan pemain musik bertambah. Pada 1947
ia tampil di pentas bersama grup musiknya yang pertama. Ia tak
ingat lagi nama grup musiknya waktu itu. "Honor yang saya terima
waktu itu sebesar 25 gulden," tuturnya. Hasil pertama itu
langsung diberikannya kepada orang tuanya. "Mereka senang
sekali," kata Eddy mengenangkan.
Tapi baru pada 1950 Eddy benar-benar menenggelamkan dirinya pada
kehidupan musik. "Semula memang hanya untuk menyalurkan hobi dan
honornya pun tidak seberapa," katanya.
Setiap hari ia main di Hotel Homann. Suatu kali seorang Belanda,
tamu di hotel itu, tertegun melihat kebolehan Eddy. Sambil
pergi, orang Belanda itu menitipkan sebuah surat pada petugas
hotel untuk Eddy. Bunyinya, "Permainan anda sangat baik, sayang
gitar yang anda pergunakan kurang mendukung."
Orang Belanda itu ternyata seorang pemain musik juga. Namanya
Jan Mol, bekerja di percetakan de Uni di Jakarta waktu itu.
Lewat surat itu pula ia menawarkan pada Eddy sebuah gitar
Gibson, seharga Rp 11 ribu. Harga yang pantas waktu itu untuk
sebuah gitar yang memang merknya terkenal jempolan. Apalagi di
Indonesia jarang yang punya gitar merk itu. "Karena uang lagi
banyak, gitar itu pun kontan saya bayar," kata Eddy.
Almarhum Bing Slamet dan Sam Saimun yang menjadi koleganya waktu
itu merasa iri juga melihat gitar itu. "Bing sendiri beberapa
kali membujuk saya agar gitar itu dijual kepadanya dengan harga
Rp 15 ribu," ungkap Eddy dengan bangga.
Karir Eddy makin bengkak. Sementara itu relasinya tidak hanya
terbatas pada kalangan pencinta musik. Ia mulaiberhubungan
dengan orang-orang pemerintah. Karena itu tak jarang grupnya
unjuk kebolehan di istana untuk acara-acara resmi. "Rasanya
mencari uang ketika itu semakin mudah. Tapi uang penghasilan itu
dengan mudah pula menguap dari tangan saya," kenangnya.
"Berhemat waktu itu tidak bisa, karena kapan saja waktu itu saya
bisa cepat dapat uang."
Yang mengherankan, seperti diakui Eddy, berapa banyak pun
uangnya, ia tak pernah merasa tenteram. "Ada saja cobaan yang
menimpa," katanya. Misalnya ketika ada musibah yang memaksa dia
harus masuk penjara selama 5 bulan pada 1964. Waktu itu ia
dengan beberapa rekannya dituduh menjual 3 tanki solar secara
gelap. "Dalam keadaan terjepit itu, banyak teman yang tidak
peduli lagi. Bahkan menghindar takut saya mintai bantuan,"
katanya seperti mengadu.
Tapi dinding penjara memberinya keinsafan. "Tuhan telah
menjatuhkan cobaan buat saya yang sebelumnya hanya
bersenang-senang, " katanya "mulai saat itulah saya tobat,
berusaha mendekatkan diri pada Tuhan."
la juga sadar kepintaran bermain gitar yang dimilikinya adalah
pemberian Tuhan. "Karenanya kepandaian itu harus saya kembalikan
kepadaNya untuk umatNya. Bukan untuk mencari kesenangan diri
sendiri," dia menambahkan seakan berkhotbah.
Saya Puas
Pada 1966 di lapangan Tegallega, Bandung, dalam sebuah pelayanan
kebangunan rohani bagi para pemeluk agama Nasrani, untuk pertama
kali Eddy muncul dengan gitarnya mengiringi musik untuk khotbah
massal. "Sejak tahun itu saya benar-benar mulai mendekatkan diri
kepada Tuhan," katanya "ada suasana lain yang saya dapat pada
kehidupan gereja. Yaitu kepuasan batin -- yang berbeda dengan
sebelumnya."
Waktu masih murni sebagai seniman musik, Eddy memang tak sempat
melihat mancanegara. Di tangan gereja ia sudah bertatapan dengan
beberapa negara di Eropa dan Asia. Gereja juga memberikan tugas
sampingan yang menyenangkannya di sebuah pemancar radio Studio
Sentosa yang setiap hari ada di udara antara pukul 5-6 pagi dan
5 sampai 6 sore. Tugasnya yang tetap adalah memainkan musik
pengiring pada upacara-upacara keagamaan di gereja YPII Batu.
Bagaimana penghasilannya sekarang? "Itu tidak penting," jawabnya
dengan tandas. Namun kemudian ia menyebutkan jumlah sekitar Rp
125 ribu. "Memang tidak besar kalau dibandingkan dengan
pendapatan seorang musikus, tapi saya puas," ujarnya "kepuasan
dari Tuhan inilah yang sukar dicari."
Eddy kini tak pernah muncul di depan publik sebagai seorang
gitaris yang komersial. Semua kegiatannya, katanya, adalah
pengabdian kepadaNya. Dalam peringatan Paskah bulan lalu
misalnya, ia muncul di Surabaya di gedung Go Skate bersama-sama
dengan Ade Manuhutu, Melky Goeslaw dan Jonas Souisa.
Ia sendiri tak tahu apakah dalam darah orangtuanya memang pernah
tersimpan bibit seni. Yang pasti kini salah seorang anaknya juga
tampak keranjingan gitar. Ia tidak menghalang-halangi bakat anak
itu. "Tapi saya tidak ingin anak saya terlalu mementingkan
musik, kalau sebagai kegemaran saja, tidak apa," katanya.
Eddy sadar sekali, seandainya sampai kini ia tetap menekuni
musik, kehidupan ekonominya akan lebih baik. "Tapi itu bukan hal
yang abadi," katanya sambil tersenyum. "Harta memang saya tidak
punya, hanya dua buah gitar Gibson sebagai nostalgia dunia hobi
saya." Kedua gitar itu dirawatnya dengan baik. Tidak sembarang
orang boleh menyentuhnya.
Meskipun tidak terlibat secara fisik Eddy sempat melihat apa
yang kini sedang terjadi dengan musik di Indonesia. Lelaki yang
sempat juga terjun ke bidang jazz ini melihat musik di Indonesia
kini diciptakan asal jadi saja. "Tanpa mengecilkan arti mereka,
banyak para pemusik yang hanya memenuhi selera pasaran,"
ujarnya. "Tapi ini bukan salah mereka. Tuntutan pasaran dari
pihak pengusaha yang jeli, yang ingin mengeduk keuntungan,
itulah yang menjadi salah satu sumbernya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini