Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Eddy pulang ke rumah tuhan

Gitaris eddy karamoy muncul sebagai bintang tamu chandra kirana. mengingatkan orang pada masa-masa jayanya tahun-tahun 60-an. (tk)

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA-TIBA gitaris tua itu muncul lagi. Menyeruak di acara musik Chandra Kirana, pimpinan Diah Iskandar, pertengahan April yang lalu. Ia tampil sehagai bintang tamu, membawakan lagu Ikal Mayang, gubahan Almarhum Iskandar. Jari-jarinya tetap lincah dan dengan gaya yang segera mengingatkan penonton pada masa-masa jayanya, pada tahun-tahun '60-an. Eddy Karamoy, lahir dengan nama lengkap: Jusuf Frederick Karamoy, kini sudah berusia 51 tahun. Sejak 1972 ia menghilang dari kota kelahirannya, Bandung. Mundur teratur ke sebuah kota sejuk di daerah Malang yang bernama Batu. Ia meninggalkan dunia musik dan membawa istri serta keempat anaknya untuk mengabdi pada dunia gereja melalui Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia (YPPII). "Tapi perkembangan dunia musik tetap saya ikuti," katanya kepada TEMPO. Eddy mengaku muncul di acara tv stasiun Jakarta bulan April itu secara kebetulan. Ketika itu, katanya, ia akan mengambil sebuah gitar Gibson di ibukou yang dibelinya dengan harga Rp 250.000. Tatkala bertemu dengan rekan-rekan lamanya, ia langsung diajak ikut rekaman. Bagi Eddy, ajakan yang mendadak itu tidak menyulitkan, karena selama di lingkungan gereja ia tidak pernah membunuh darah musiknya. Dipenjara Gitar bagi Eddy adalah sesuatu yang istimewa. Percintaannya dengan alat musik itu cukup panjang dan getol. Dimulai di Bandung, ketika ia diam-diam belajar main gitar sendirian setamatnya dari STM. "Tidak ada seorang pun yang membimbing saya," ujarnya mengenangkan "jangankan guru, buku-buku pelajaran saja ketika itu tak ada." Karena begitu keranjingan, Eddy sering mengintip orang main gitar di pesta atau hotel-hotel -- misalnya Hotel Homann yang waktu itu amat terkenal di Bandung. Waktu itu musik yang merajai tempat-tempat dansa adalah jenis musik Hawaii. Ia tak segan-segan menawarkan dirinya sebagai pesuruh, asalkan bisa terus dekat dengan para pemain musik. Supaya bisa berada di atas panggung misinya, ia memegang atau membawakan jas para pemain. "Dari sanalah saya mengenal grip-grip gitar, kemudian sampai di rumah saya praktekkan," kata gitaris itu . Keluarga Eddy beragama Nasrani Katolik. Ayahnya orang Manado. Sedangkan ibunya Jerman. Mula-mula kedua orangtuanya tidak tahu si kecil Eddy sudah begitu edan pada gitar. Tak pula mereka fahami betapa anak itu tiba-tiba telah memiliki sebuah gitar. Berkat keuletan sendiri, Eddy akhirnya bisa memetik gitar dengan cepat. Kenalannya di kalangan pemain musik bertambah. Pada 1947 ia tampil di pentas bersama grup musiknya yang pertama. Ia tak ingat lagi nama grup musiknya waktu itu. "Honor yang saya terima waktu itu sebesar 25 gulden," tuturnya. Hasil pertama itu langsung diberikannya kepada orang tuanya. "Mereka senang sekali," kata Eddy mengenangkan. Tapi baru pada 1950 Eddy benar-benar menenggelamkan dirinya pada kehidupan musik. "Semula memang hanya untuk menyalurkan hobi dan honornya pun tidak seberapa," katanya. Setiap hari ia main di Hotel Homann. Suatu kali seorang Belanda, tamu di hotel itu, tertegun melihat kebolehan Eddy. Sambil pergi, orang Belanda itu menitipkan sebuah surat pada petugas hotel untuk Eddy. Bunyinya, "Permainan anda sangat baik, sayang gitar yang anda pergunakan kurang mendukung." Orang Belanda itu ternyata seorang pemain musik juga. Namanya Jan Mol, bekerja di percetakan de Uni di Jakarta waktu itu. Lewat surat itu pula ia menawarkan pada Eddy sebuah gitar Gibson, seharga Rp 11 ribu. Harga yang pantas waktu itu untuk sebuah gitar yang memang merknya terkenal jempolan. Apalagi di Indonesia jarang yang punya gitar merk itu. "Karena uang lagi banyak, gitar itu pun kontan saya bayar," kata Eddy. Almarhum Bing Slamet dan Sam Saimun yang menjadi koleganya waktu itu merasa iri juga melihat gitar itu. "Bing sendiri beberapa kali membujuk saya agar gitar itu dijual kepadanya dengan harga Rp 15 ribu," ungkap Eddy dengan bangga. Karir Eddy makin bengkak. Sementara itu relasinya tidak hanya terbatas pada kalangan pencinta musik. Ia mulaiberhubungan dengan orang-orang pemerintah. Karena itu tak jarang grupnya unjuk kebolehan di istana untuk acara-acara resmi. "Rasanya mencari uang ketika itu semakin mudah. Tapi uang penghasilan itu dengan mudah pula menguap dari tangan saya," kenangnya. "Berhemat waktu itu tidak bisa, karena kapan saja waktu itu saya bisa cepat dapat uang." Yang mengherankan, seperti diakui Eddy, berapa banyak pun uangnya, ia tak pernah merasa tenteram. "Ada saja cobaan yang menimpa," katanya. Misalnya ketika ada musibah yang memaksa dia harus masuk penjara selama 5 bulan pada 1964. Waktu itu ia dengan beberapa rekannya dituduh menjual 3 tanki solar secara gelap. "Dalam keadaan terjepit itu, banyak teman yang tidak peduli lagi. Bahkan menghindar takut saya mintai bantuan," katanya seperti mengadu. Tapi dinding penjara memberinya keinsafan. "Tuhan telah menjatuhkan cobaan buat saya yang sebelumnya hanya bersenang-senang, " katanya "mulai saat itulah saya tobat, berusaha mendekatkan diri pada Tuhan." la juga sadar kepintaran bermain gitar yang dimilikinya adalah pemberian Tuhan. "Karenanya kepandaian itu harus saya kembalikan kepadaNya untuk umatNya. Bukan untuk mencari kesenangan diri sendiri," dia menambahkan seakan berkhotbah. Saya Puas Pada 1966 di lapangan Tegallega, Bandung, dalam sebuah pelayanan kebangunan rohani bagi para pemeluk agama Nasrani, untuk pertama kali Eddy muncul dengan gitarnya mengiringi musik untuk khotbah massal. "Sejak tahun itu saya benar-benar mulai mendekatkan diri kepada Tuhan," katanya "ada suasana lain yang saya dapat pada kehidupan gereja. Yaitu kepuasan batin -- yang berbeda dengan sebelumnya." Waktu masih murni sebagai seniman musik, Eddy memang tak sempat melihat mancanegara. Di tangan gereja ia sudah bertatapan dengan beberapa negara di Eropa dan Asia. Gereja juga memberikan tugas sampingan yang menyenangkannya di sebuah pemancar radio Studio Sentosa yang setiap hari ada di udara antara pukul 5-6 pagi dan 5 sampai 6 sore. Tugasnya yang tetap adalah memainkan musik pengiring pada upacara-upacara keagamaan di gereja YPII Batu. Bagaimana penghasilannya sekarang? "Itu tidak penting," jawabnya dengan tandas. Namun kemudian ia menyebutkan jumlah sekitar Rp 125 ribu. "Memang tidak besar kalau dibandingkan dengan pendapatan seorang musikus, tapi saya puas," ujarnya "kepuasan dari Tuhan inilah yang sukar dicari." Eddy kini tak pernah muncul di depan publik sebagai seorang gitaris yang komersial. Semua kegiatannya, katanya, adalah pengabdian kepadaNya. Dalam peringatan Paskah bulan lalu misalnya, ia muncul di Surabaya di gedung Go Skate bersama-sama dengan Ade Manuhutu, Melky Goeslaw dan Jonas Souisa. Ia sendiri tak tahu apakah dalam darah orangtuanya memang pernah tersimpan bibit seni. Yang pasti kini salah seorang anaknya juga tampak keranjingan gitar. Ia tidak menghalang-halangi bakat anak itu. "Tapi saya tidak ingin anak saya terlalu mementingkan musik, kalau sebagai kegemaran saja, tidak apa," katanya. Eddy sadar sekali, seandainya sampai kini ia tetap menekuni musik, kehidupan ekonominya akan lebih baik. "Tapi itu bukan hal yang abadi," katanya sambil tersenyum. "Harta memang saya tidak punya, hanya dua buah gitar Gibson sebagai nostalgia dunia hobi saya." Kedua gitar itu dirawatnya dengan baik. Tidak sembarang orang boleh menyentuhnya. Meskipun tidak terlibat secara fisik Eddy sempat melihat apa yang kini sedang terjadi dengan musik di Indonesia. Lelaki yang sempat juga terjun ke bidang jazz ini melihat musik di Indonesia kini diciptakan asal jadi saja. "Tanpa mengecilkan arti mereka, banyak para pemusik yang hanya memenuhi selera pasaran," ujarnya. "Tapi ini bukan salah mereka. Tuntutan pasaran dari pihak pengusaha yang jeli, yang ingin mengeduk keuntungan, itulah yang menjadi salah satu sumbernya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus