Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Wanita, benarkah tertindas

S.l: world council churches, 1979 resensi oleh: julia suryakusuma. (bk)

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

COMPASSIONATE AND FREE Marianne Katoppo, World Council Churches, 1979, 89 halaman. BAGAIMANAKAH wanita Asia menemukan Tuhannya?" -- itulah pertanyaan yang ingin dijawab Marianne Katoppo dalam bukunya. Penulisnya sendiri enggan menyebut bukunya tentang feminist theology karena istilah feminist cenderung diinterpretasikan dengan konotasi tertentu. Ia lebih senang menyebut karyanya ini sebagai usaha ke arah suatu teologi bagi wanita, persisnya wanita Kristen di Asia. Pada dasarnya tulisan Marianne Katoppo -- merupakan analisa atas tiga hal yang berkaitan. Status dan konsep 'wanita' itu sendiri, institusi gereja Kristen, serta kenyataan sosio-politik dalam negara yang disebut dunia Barat sebagai 'Dunia Ketiga'. Dominasi pria sudah demikian merasuknya dalam segala sektor kehidupan. Pemikiran serta agama yang laki-laki sentris telah memainkan peranannya dengan begitu baik, sehingga wanita sampai sekarang menerima keadaan yang tidak adil itu. Menurut Marianne, kehadiran institusi Gereja Kristen itu hanya berfungsi untuk memberikan chauvinism laki-laki -- tidak sekedar suatu ekspresi praktis, tetapi juga suatu legitimasi teologls. Perkembangan istilah serta praktek dalam Gereja, semua menuju ke arah teologi yang sangat laki-laki sentris. Misalnya perumpamaan Tuhan selalu ditampilkan dalam sifat maskulin. Padahal dalam Injil terdapat juga referensi kepada sifat kewanitaannya. Interpretasi keperawanan Bunda Maria diartikan secara harafiah. Padahal kualitas itu lebih merupakan simbol dari suatu sikap hidup, kemanusiaan, serta pengabdian dan pengorbanan kepada Tuhan -- jadi tentunya bisa, bahkan harus dijadikan model buat laki-laki juga. Pertama-tama dalam feodalisme, kemudian oleh kapitalisme, konsep itu limanipulasi sedemikian rupa sebagai alat untuk 'menjinakkan' wanita dan semua orang yang tertindas, agar masuk ke dalam kotak yang telah ditentukan oleh nilai dominan dalam masyarakat. Padahal dulunya, di Yunani, konsep perawan itu cuma berarti wanita yang statusnya tidak berasal dari orang lain, apakah itu sebagai 'ibu', 'anak' ataupun 'istri'. Katakanlah, wanita yang belum menikah, bahkan pelacurpun disebut perawan. Posisi Wanita Salah satu daya tarik buku ini adalah pendekatannya yang eklektis. Ia memberikan sedikit latar belakang teologis, secomot filosofi, beberapa pernyataan tentang feminisme. Juga suatu uraian umum yang bersifat sosiologis tentang konteks sosialnya, serta beberapa studikasus. Jadi kendati subyeknya serius, tak membuat pembaca terlalu mengerutkan jidat, malah sebaliknya enak dibaca. Secara ideologis, Marianne cenderung ke kiri. Tetapi pada dasarnya ia tetap mengambil suatu pendekatan humanitis yang kadang menghambatnya untuk mencapai suatu standpoint yang konklusif. Kecuali bila tujuan utamanya memang deskriptif. Tapi itupun terasa kurang mendalam. Persoalannya, buku ini memang mampu membuat orang yang sudah sejalan pikirannya dengan penulis terangguk-angguk. Akan tetapi untuk meyakinkan orang yang tidak sepaham atau belum kenal dengan permasalahan, masih diperlukan penjelasan di sana-sini. Misalnya, Marianne menyebut rentang posisi wanita yang semakin "marginal". Juga, bagaimana dalam kapitalisme konsep "the Ideal Man " dan "the Ideal Woman" (hal. 33) itu telah berkembang sedemikian rupa, seolah-olah dua polarisasi yang berlawanan: pria semata-mata untuk produksi, wanita semata-mata unuk reproduksi. Itu memang suatu kenyataan yang sering kita lihat sehari-hari. Yang perlu dijelaskan, bagaimanakah perkembangannya sampai begitu? Padahal menurut Marianne, dulu-dulunya lebih banyak masyarakat yang 'gynosentris' (berpusat pada wanita), dan di Asia malah banyak contohnya. Kemudian uraiannya tentang kenyataan material opresi wanita juga kurang lengkap. Orang dapat beranya, mana bukti bahwa wanita itu tertindas? Kan katanya wanita itu tiang negara, Hari Kartini dirayakan sebagai hari nasional! Memang. Akan tetapi justru yang tidak selalu tampak adalah penentu struktural dari opresi itu --dan ini yang harus dibongkar. Pendewitololan toh akan selalu berjalan. Analisa Marianne terhadap institusi Gereja lebih terbatas pada keberatannya atas "dominasi hiperbol-hiperbol dan simbol-simbol maskulin . . . (yang telah) . . . secara serius menghalangi revelasi" (hal 67). Itu benar. Tapi yang juga penting, bagaimana Injil diinterpretasikan sampai menjadi tiang penunjang yang begitu kokoh dari struktur gereja, yang begitu patriarkal itu. Bila Marianne Katoppo menulis buku ini atas nama kaum wanita Kristen di Asia yang memang merupakan minoritas, dapatlah dimengerti -- mengingat pengalaman pribadinya (seperti yang diungkapkan dalam bukunya), dan juga latar belakang pendidikan teologinya. Tetapi sebenarnya buku ini mempunyai jangkauan lebih luas dan relevan pula terhadap nasib mayoritas wanita di Asia yang non-Kristen, akan tetapi juga merupakan 'minoritas' -- dan 'minoritas' yang lebih besar daripada yang terbentuk oleh wanita Kristen. Memang benar pernyataan Marianne bahwa seksisme di atas kemiskinan, rasisme, imperialisme serta berbagai bentuk eksploitasi lainnya, menempatkan wanita betul-betul dalam posisi yang tertindas. Implisit Marianne Katoppo berhasil memfokuskan masalah feminisme dan teologi dalam konteks negara berkembang di Asia. Walaupun uraiannya masih harus disebut sebagai introduksi, keakraban penulis dengan subyeknya membuatnya mampu meletakkan pokok pikiran yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam konteks negara 'Dunia Ketiga', buku ini menjadi penting, karena peranan wanita dalam konteks taraf perkembangan sosio-ekonomi negara tersebut belum mendapat perhatian selayaknya. Dan yang dimaksud 'peran' oleh Marianne bukanlah sekedar "peningkatan peran-peranan" dalam masyarakat yang patriarkis atau dalam suatu status quo. Melainkan membuat definisi konsep dan.status wanita yang dikembangkan oleh wanita itu sendiri. Yang belum dimengerti oleh sebagian besar masyarakat, adalah bahwa "pembebasan wanita" itu sebenarnya 'tpembebasan laki-laki", bahkan "pembebasan dan emansipasi' masyarakat jua. Dari contoh historis " . . . the matriarchy was by no means a mirrorimage of the patriarchal society. It was egalitarian, not authoritarian" (hal. 15). Apakah itu berarti perubahan struktur masyarakat itu sendiri secara fundamental? Mungkin itulah yang diperlukan. Tapi itukah pula yang diinginkan Marianne? Sayang kesimpulan Marianne terasa tak memadai dibandingkan analisanya yang tajam. Saran yang diberikan cuma implisit, saran konkrit hampir tak ada. Julia Suryakusuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus