COMPASSIONATE AND FREE
Marianne Katoppo, World Council
Churches, 1979, 89 halaman.
BAGAIMANAKAH wanita Asia menemukan Tuhannya?" -- itulah
pertanyaan yang ingin dijawab Marianne Katoppo dalam bukunya.
Penulisnya sendiri enggan menyebut bukunya tentang feminist
theology karena istilah feminist cenderung diinterpretasikan
dengan konotasi tertentu. Ia lebih senang menyebut karyanya ini
sebagai usaha ke arah suatu teologi bagi wanita, persisnya
wanita Kristen di Asia.
Pada dasarnya tulisan Marianne Katoppo -- merupakan analisa atas
tiga hal yang berkaitan. Status dan konsep 'wanita' itu sendiri,
institusi gereja Kristen, serta kenyataan sosio-politik dalam
negara yang disebut dunia Barat sebagai 'Dunia Ketiga'.
Dominasi pria sudah demikian merasuknya dalam segala sektor
kehidupan. Pemikiran serta agama yang laki-laki sentris telah
memainkan peranannya dengan begitu baik, sehingga wanita sampai
sekarang menerima keadaan yang tidak adil itu. Menurut Marianne,
kehadiran institusi Gereja Kristen itu hanya berfungsi untuk
memberikan chauvinism laki-laki -- tidak sekedar suatu ekspresi
praktis, tetapi juga suatu legitimasi teologls.
Perkembangan istilah serta praktek dalam Gereja, semua menuju ke
arah teologi yang sangat laki-laki sentris. Misalnya perumpamaan
Tuhan selalu ditampilkan dalam sifat maskulin. Padahal dalam
Injil terdapat juga referensi kepada sifat kewanitaannya.
Interpretasi keperawanan Bunda Maria diartikan secara harafiah.
Padahal kualitas itu lebih merupakan simbol dari suatu sikap
hidup, kemanusiaan, serta pengabdian dan pengorbanan kepada
Tuhan -- jadi tentunya bisa, bahkan harus dijadikan model buat
laki-laki juga.
Pertama-tama dalam feodalisme, kemudian oleh kapitalisme, konsep
itu limanipulasi sedemikian rupa sebagai alat untuk
'menjinakkan' wanita dan semua orang yang tertindas, agar masuk
ke dalam kotak yang telah ditentukan oleh nilai dominan dalam
masyarakat. Padahal dulunya, di Yunani, konsep perawan itu cuma
berarti wanita yang statusnya tidak berasal dari orang lain,
apakah itu sebagai 'ibu', 'anak' ataupun 'istri'. Katakanlah,
wanita yang belum menikah, bahkan pelacurpun disebut perawan.
Posisi Wanita
Salah satu daya tarik buku ini adalah pendekatannya yang
eklektis. Ia memberikan sedikit latar belakang teologis,
secomot filosofi, beberapa pernyataan tentang feminisme. Juga
suatu uraian umum yang bersifat sosiologis tentang konteks
sosialnya, serta beberapa studikasus. Jadi kendati subyeknya
serius, tak membuat pembaca terlalu mengerutkan jidat, malah
sebaliknya enak dibaca.
Secara ideologis, Marianne cenderung ke kiri. Tetapi pada
dasarnya ia tetap mengambil suatu pendekatan humanitis yang
kadang menghambatnya untuk mencapai suatu standpoint yang
konklusif. Kecuali bila tujuan utamanya memang deskriptif. Tapi
itupun terasa kurang mendalam.
Persoalannya, buku ini memang mampu membuat orang yang sudah
sejalan pikirannya dengan penulis terangguk-angguk. Akan tetapi
untuk meyakinkan orang yang tidak sepaham atau belum kenal
dengan permasalahan, masih diperlukan penjelasan di sana-sini.
Misalnya, Marianne menyebut rentang posisi wanita yang semakin
"marginal". Juga, bagaimana dalam kapitalisme konsep "the Ideal
Man " dan "the Ideal Woman" (hal. 33) itu telah berkembang
sedemikian rupa, seolah-olah dua polarisasi yang berlawanan:
pria semata-mata untuk produksi, wanita semata-mata unuk
reproduksi.
Itu memang suatu kenyataan yang sering kita lihat sehari-hari.
Yang perlu dijelaskan, bagaimanakah perkembangannya sampai
begitu? Padahal menurut Marianne, dulu-dulunya lebih banyak
masyarakat yang 'gynosentris' (berpusat pada wanita), dan di
Asia malah banyak contohnya.
Kemudian uraiannya tentang kenyataan material opresi wanita juga
kurang lengkap. Orang dapat beranya, mana bukti bahwa wanita
itu tertindas? Kan katanya wanita itu tiang negara, Hari Kartini
dirayakan sebagai hari nasional! Memang. Akan tetapi justru yang
tidak selalu tampak adalah penentu struktural dari opresi itu
--dan ini yang harus dibongkar. Pendewitololan toh akan selalu
berjalan.
Analisa Marianne terhadap institusi Gereja lebih terbatas pada
keberatannya atas "dominasi hiperbol-hiperbol dan simbol-simbol
maskulin . . . (yang telah) . . . secara serius menghalangi
revelasi" (hal 67). Itu benar. Tapi yang juga penting, bagaimana
Injil diinterpretasikan sampai menjadi tiang penunjang yang
begitu kokoh dari struktur gereja, yang begitu patriarkal itu.
Bila Marianne Katoppo menulis buku ini atas nama kaum wanita
Kristen di Asia yang memang merupakan minoritas, dapatlah
dimengerti -- mengingat pengalaman pribadinya (seperti yang
diungkapkan dalam bukunya), dan juga latar belakang pendidikan
teologinya. Tetapi sebenarnya buku ini mempunyai jangkauan lebih
luas dan relevan pula terhadap nasib mayoritas wanita di Asia
yang non-Kristen, akan tetapi juga merupakan 'minoritas' -- dan
'minoritas' yang lebih besar daripada yang terbentuk oleh wanita
Kristen. Memang benar pernyataan Marianne bahwa seksisme di atas
kemiskinan, rasisme, imperialisme serta berbagai bentuk
eksploitasi lainnya, menempatkan wanita betul-betul dalam
posisi yang tertindas.
Implisit
Marianne Katoppo berhasil memfokuskan masalah feminisme dan
teologi dalam konteks negara berkembang di Asia. Walaupun
uraiannya masih harus disebut sebagai introduksi, keakraban
penulis dengan subyeknya membuatnya mampu meletakkan pokok
pikiran yang dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam konteks negara 'Dunia Ketiga', buku ini menjadi penting,
karena peranan wanita dalam konteks taraf perkembangan
sosio-ekonomi negara tersebut belum mendapat perhatian
selayaknya. Dan yang dimaksud 'peran' oleh Marianne bukanlah
sekedar "peningkatan peran-peranan" dalam masyarakat yang
patriarkis atau dalam suatu status quo. Melainkan membuat
definisi konsep dan.status wanita yang dikembangkan oleh wanita
itu sendiri.
Yang belum dimengerti oleh sebagian besar masyarakat, adalah
bahwa "pembebasan wanita" itu sebenarnya 'tpembebasan
laki-laki", bahkan "pembebasan dan emansipasi' masyarakat jua.
Dari contoh historis " . . . the matriarchy was by no means a
mirrorimage of the patriarchal society. It was egalitarian, not
authoritarian" (hal. 15). Apakah itu berarti perubahan struktur
masyarakat itu sendiri secara fundamental? Mungkin itulah yang
diperlukan. Tapi itukah pula yang diinginkan Marianne?
Sayang kesimpulan Marianne terasa tak memadai dibandingkan
analisanya yang tajam. Saran yang diberikan cuma implisit, saran
konkrit hampir tak ada.
Julia Suryakusuma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini