MENTERI PAN/Wakil Ketua Bappenas J.B. Soemarlin geleng-geleng
kepala ketika melihat harga kebutuhan pokok di Irian Jaya hampir
10 kali lipat harga di Jakarta. Misalnya semen. Ini disebabkan
kurangnya angkutan yang menghubungkan kota dengan daerah
pedalaman.
Mengatasi keadaan, Menko Ekuin/ Ketua Bappenas Widjojo
Nitisastro dan Soemarlin memanggil Dir-Ut Merpati Nusantara
Airlines, R.A.J. Lumenta dan memerintahkan "supaya secepatnya
mencari pesawat untuk angkutan di Indonesia Timur." Untuk
pembelian pesawat pemerintah memberikan US$ 18 juta (sekitar Rp
11 milyar) sebagai Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) pada
Merpati.
Lumenta yang masih juga merangkap jabatan Sekretaris Perusahaan
di Garuda itu cepat-cepat mencari akal untuk melaksanakan
perintah tadi. Tapi uang yang semula direncanakan untuk memesan
dua pesawat HS 748 ternyata dialihkan untuk membeli pesawat
F-27. Alasan Lumenta: "Setelah mencari ke mana-mana, ternyata
hanya pabrik Fokker yang bisa melayani."
Sebagian dari dana PMP itu, sebesar US$ 9 juta ternyata
dipergunakan untuk membeli empat buah F-27 bekas. "Saya bisa
saja membeli yang baru. Tapi masalahnya sedang didesak kebutuhan
untuk mendapat pesawat dengan segera," katanya menjelaskan.
"Lagi pula kalau yang baru jauh lebih mahal: US$ 7 juta/buah."
Keempat pesawat itu semula dipakai oleh perusahaan penerbangan
Nigeria yang kemudian menjualnya ke perusahaan Swiss. Dari sini
sebagai barang bekas pesawat tersebut dijual pula ke pabrik
asalnya di Negeri Belanda. "Semua pesawat sudah datang dan
sekarang sudah dioperasikan. Kondisi pesawat, meskipun bekas,
baik. Pabrik sudah memberi jaminan," ucap Lumenta.
Sisa uang PMP yang US$ 9 juta dipakai sebagai uang muka
pembelian enam pesawat F-27 baru dengan kapasitas 56 tempat
duduk yang akan datang tahun 1982. Harga seluruh pesawat itu US$
42 juta. Menurut Lumenta yang menjabat Dir-Ut Merpati sejak
1979, kekurangan pembayaran menjadi pinjaman jangka panjang
selama delapan tahun. Utang itu akan dibayar oleh Merpati
sendiri.
Untuk memperkaya armadanya tahun lalu Merpati membeli dua
pesawat Casa dari Nurtanio. Yang kemudian ditambah lagi dengan
12 pesawat sejenis, lagi-lagi sebagai PMP untuk perusahaan
penerbangan perintis itu. Harga sebuah Casa US$ 1,49 juta.
Diakui pesawat tersebut bakalan kurang memuaskan penumpang,
karena suara mesinnya bising, hingga mengganggu telinga. "Yang
penting sarana angkutan terpenuhi. Kenyamanan prioritas
berikumya," tangkis sang direktur.
Kehadiran Lumenta di PT Merpati awal 1979 ditandai dengan
pemberhentian karyawan secara massal dan perombakan susunan
pimpinan. Semula banyak karyawan yang kaget melihat tindakannya
yang dengan berani memberhentikan 700 karyawan pada masa awal
jabatannya itu. "Tapi setelah berjalan dua tahun lebih, tindakan
yang waktu itu dianggap sewenang-wenang, kini ternyata mendorong
perusahaan untung," kata seorang perwira AURI yang dikaryakan di
Merpati. Beberapa tenaga teknik yang dulu diberhentikan kabarnya
sudah dipanggil untuk bekerja kembali.
Ketika mula-mula menduduki kursi Merpati, tugas utama Lumenta
adalah melunasi warisan utang Rp 8 milyar lebih. Utang itu
ternyata memang berhasil ditekannya menjadi tinggal Rp 2,8
milyar pada Desember 1980, terutama berkat keuntungannya yang
bisa diraihnya dari penerbangan niaga (komersial).
Dari seluruh penerbangan niaga dalam negeri 80% dikuasai Garuda.
Sedangkan Merpati cuma kebagian 11%, selebihnya diperebutkan
perusahaan swasta. Menurut Lumenta, Merpati bisa untung Rp 1,5
milyar tiap tahun. "Diiihat dari segi ini MNA sekarang mulai
mendapat kepercayaan. Karena sudah semakin pulih itu pulalah,
MNA mulai berani membeli pesawat baru," katanya bangga.
Pemulihan itu nampaknya bisa diraihnya dalam jangka waktu yang
tidak terlalu panjang. Dan bantuan pemerintah dalam bentuk PMP
untuk pembelian pesawat memang menolong. Satu hal yang tidak
mungkin diperoleh perusahaan penerbangan swasta yang jadi
saingannya.
Mikrobis
Belum lagi dihitung subsidi dari pemerintah untuk menutup
kerugian yang dideritanya untuk melayani jalur penerbangan
perintis. Juga grant (hibah) dari Program Pembangunan PBB (UNDP)
yang masuk sejak Lumenta memimpin Merpati. Dana itu, menurut
Lumenta digunakan untuk membangun hanggar di Medan dan engine
shop di Ujungpandang. Engine shop ini katanya bisa menghemat
pengeluaran untuk ongkos overhazll yang kalau dilaksanakan di
luar negeri mencapai US$ 60.000 per buah. Tiap tahun 30 mesin
yang harus diperiksa.
Bagaimanapun niat untuk menyehatkan perusahaan milik pemerintah
dan jadi "anak" Garuda itu memang cukup kuat. Ini terutama
terlihat dari penghematan yang dilakukan secara besar-besaran.
Semua mobil mewah yang dibeli dalam periode pimpinan Santoso
dan Ramli Sumadi dijual. Pimpinan yang sekarang hanya memakai
VW, Jeep. Paling keren Holden Gemini. Lumenta sendiri tetap
memakai VW 1300 yang dibawanya dari Garuda.
"Pola penghematan dilaksanakan persis seperti di Garuda," cerita
seorang karyawan. Sebagian besar karyawan memperoleh sepeda
motor dengan kredit. Yang tak kebagian diantarjemput. Untuk
acara bersama, misalnya rapat kerja ke DPR, pimpinan Merpati
berangkat bersama-sama dengan sebuah mikrobis dari kantor. "Ini
tak pernah terjadi sebelumnya," kata seorang karyawan di bagian
keamanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini