Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Eksplorasi dalam Gelap

Para seniman muda menggali kreasi dalam black box. Menabrak aturan.

28 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruangan itu gelap. Seberkas cahaya lemah berpendar dari telepon seluler milik Ridwan Rau Rau di panggung. Ia berlarian, berjalan di lorong-lorong di antara kursi, atau di panggung, naik-turun tangga. Rau Rau, yang banyak mementaskan karya di berbagai tempat, termasuk di London, memberi judul karyanya dengan Tanpa Judul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seusai penampilan Rau Rau, muncul Robby Ocktavian dan Syahrullah. Mereka seperti bermain petak umpet. Masih dalam kegelapan, mereka menerjemahkan permainan petak umpet ke dalam ruang black box dengan permainan bunyi, cahaya, dan eksplorasi ruang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka bergerak dengan panduan bunyi yang mereka ciptakan, seperti ketukan keras atau bunyi jepretan karet. Beberapa kali mereka terdengar seperti menabrak sesuatu. Tahu-tahu, salah satu dari mereka sudah berdiri di panggung, sementara yang lain berdiri di arena penonton menyorotkan lampu senter. Begitu terus-menerus.

Terakhir, ada yang berdiri di tembok pembatas penonton atau tersungkur di salah satu kursi dan tersorot lampu senter. Mereka memberi judul Samar untuk karya tersebut. Samar dan Tanpa Judul adalah dua dari sekian karya yang ditampilkan dalam penampilan 69 Performance Club bertajuk Blackbox: Autoplay di Goethe Institut, Jakarta, Ahad malam, 23 Juni lalu.

Penampil lain adalah Taufiqurrahman dan Maria Deandra. Mereka memberi kesempatan kepada penonton untuk menikmati ruang black box yang terang. Kedua seniman muda itu bermain-main dengan pipa yang dicat merah. Mereka mengeksplorasi ketahanan masing-masing, yang direlasikan dengan hubungan antar-individu dan pipa sebagai saluran komunikasi. Pipa itu menghubungkan kedua tubuh dengan jarak dan komposisi tertentu.

Mulanya mereka berdiri berhadapan, dengan sepotong pipa berukuran sekitar 10 sentimeter membatasi jarak keduanya. Makin lama pipa merah yang dipakai pun semakin panjang, dari 2 meter, 4, 6, 8, hingga 14 meter. Mereka harus mengeksplorasi ruang black box agar tetap terhubung dan saling menyapa, "Hello, hello."

Mereka berdiri berhadapan dalam posisi diagonal. Bahkan karena panjang panggung tak mencukupi panjang pipa, Taufiq akhirnya naik ke tangga sambil menggotong salah satu ujung pipa dan Maria memegang salah satu ujung di belakang panggung.

Lain lagi dengan Prashasti Wilujeng Putri, yang menampilkan karya berjudul Merah Jambu. Ia mengeksplorasi panggung dengan dua lembar kain merah jambu, dengan gerak eksplorasi Butoh. Ia bergerak, bermutasi, dan mencari representasi transmutasi tubuh ke bentuk lain. Ia berteriak "Hah, hah, hah" untuk mengiringi gerak tubuhnya di balik kain.

Produksi 69 Performance Club yang dikurasi Hafiz Rancajale ini juga menghadirkan penampilan dari Pingkan Polla, yang menguji latihan jatuh. Ia berangkat dari studinya terhadap karya Sanja Ivekovic, yang mengeksplorasi permainan cahaya dan bunyi dari balon-balon yang ada di dalam ruangan.

Karya lain ditampilkan Dhanurendra Pandji, dengan garis merah yang berbeda melintasi arena penonton di ruang pertunjukan. Penonton bisa menonton dari balkon atau panggung. Ada pula Manshur Zikri, yang mengeksplorasi kehadiran dan ketidakhadiran tubuh sambil menghasilkan bunyi dan tempo.

Pentas Blackbox: Autoplay ditutup oleh karya Otty Widasary dengan judul Exit Status Ratio 3:2. Otty tampil dengan elemen teater untuk menyelesaikan misi interval. Otty bersama empat penampil lain bergerak menuju panggung dari arena penonton dengan langkah terinterval, maju tiga langkah, mundur dua langkah, sambil membisikkan beberapa kata.

Dalam pengantarnya disebutkan bahwa produksi ke-15 69 Performance Club menghadirkan praktik performa yang menjadikan aturan-aturan dalam ruang seni pertunjukan sebagai bahasa yang memungkinkan untuk dilanggar. Pelanggaran itu bisa dilakukan menggunakan tubuh, bunyi, cahaya beda, dan ruang gelap sebagai sebuah permainannya.

Black box dalam perkembangan seni kontemporer juga menghancurkan jarak penonton dan penyaji pertunjukan, serta mendorong mereka semakin dekat. DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus