PELUKIS Indonesia menyusut jumlahnya? Ketika pertama kali
diselenggarakan, 1974, Pameran Besa Senilukis Indonesia diikuti
sekitar 8 ?elukis dengan 240 lukisan. Kini, dalam pameran yang
diganti namanya menjadi Pameran Biennal (PB) ke-5 di Taman
Ismail Marzuki, 4-31 Desember, hanya tampil 16 pelukis dengan
sekitar 150 karya. Agaknya Dewan Kesenian Jakarta,
penyelenggaranya, mengambil langkah baru.
"Pameran yang sekarang secara selektif hanya mengundang 19
orang," tulis Sudarmadji, anggota Komite Senirupa DKJ, dalam
Kalender TIM. Dan ternyata tiga dari 19 itu berhalangan: Nashar,
Rusn dan Hendra Gunawan.
Seleksi "ketat" ini dilakukan DKJ mengingat dulu banyak pelukis
yang ikut dalam PB ternyata hanya sesekali saja berkarya. Bahkan
konon ada yang baru melukis bila PB hendak diadakan. Maka
untuk "memberikan kesempatan apresiaSi secara baik dan
meyakinkan," Nashar (Ketua Komite Senirupa DKJ) plus para
anggota Komite Sudarmadji dan Suparto berembuk mengadakan
seleksi itu. Seorang anggota :yang lain Adhi Moersid, tidak
hadir.
Tapi itulah. Sudah sjak PB yang pertama, acara itu selalu
mengundang kritik dan komentar. Apa boleh buat untuk DKJ, badan
kesenian yang dibiayai Pemda DKI Jakarta dan toh haris
memperhatikan perkembangan kesenian seantero Nusantara, acara
ini agaknya memang terlalu berat.
Bagaimana bisa, misalnya, hanya dengan empat tenaga Komite
Senirupa DKJ memonitor kegiatan senirupawan di seluruh
Indonesia? Padahal salah satu kriterium agar bisa ikut serta
dalam PB ke-5 ini, adalah pelukis "kegiatan intensif dan
kontinyu" si pelukis. Ditambah lagi, "yang karyanya menunjukkan
cukup punya karakter/kepribadian," dan "dapat ditandai adanya
usaha inovasi yang terus-menerus."
Maka hasil seleksi Komite Senirupa DKJ memang mengherankan. Bila
ada Nuzurlis Koto, yang lukisan nonfiguratifnya merupakan
bidang-bidang tajam warna-warni dengan komposisi yang terasa
masih mencari-cari bentuk, mengapa Handrio yang barusan
berpameran tunggal di TIM (TEMPO 27 November) absen?
LALU bila ada karya-karya trsam yang dekoratif, ada Aming
Prayitno yang nonfiguratif, lalu karya Suwayang boleh dibilang
ekspresionistis, mengapa tak tampil karya-karya nonfiguratif
Lian Sahar, yang sudah terang lebih matang dalam komposisi dan
ekspresi? Itu sekedar contoh.
Masalah yang lebih mendasar agaknya pretensi DKJ untuk
memberikan "apresiasi secara baik dan meyakinkan" itu. Bukan hal
sulit diketahui, apresiasi tak mungkin berjalan dalam suatu
pameran yang waktunya relatif singkat.
Memang, dalam apresiasi senirupa yang pertama-tama harus
dikerjakan ialah melihat barangnya sendiri. Namun itu tak akan
berarti banyak tanpa informasi yang melatar-belakangi lahirnya
si karya riwayat hidup pelukisnya, proses kreatifnya, komentar
para pengamat senirupa, dan informasi tentang sejarah senirupa
tempat si karya mengambil bagian. Andaikata saja DKJ
menyertakan semua informasi itu, terang pamerannya lebih
bermanfaat.
Toh, sejumlah nama yang ditampilkan DKJ memang membawa informasi
mutakhir tentang diri mereka. Sudah tentu ini bukan berkat upaya
DKJ: mereka itu memang pelukis yang baik. Bisa dilihat sepuluh
karya O.H. Supono, orang Surabaya itu. Karya 1982-nya
menunjukkan jalan ke inovasi.
Terutama pada Sapi-sapi, Supono mencoba menghancurkan bentuk
untuk hanya menjadi zarah. Ia seperti hendak bercelita tentang
kefanaan di dunia: bidang dasar yang abu-abu, plus zarah dan
garis-garis pendek yang hitam dan terkadang muncul kuning,
putih, merah sedikit. Ini agaknya kelanjutan atau sesuatu yang
ditemukannya dalam lukisan-lukisan surealistisnya tempo hari.
Lalu Suparto, yang seperti datang dan dunia wayang dan
dongeng-dongeng. Dua karyany terutama, Harimau dan Banteng,
menunjukkan kemampuan pe lukis anggota Komite Senirupa ini.
Harimaunya bukan sekedar gambar macan. Juga Bantengnya. Dua
figur hewan ini di kanvas menjelma menjadi tokoh legenda, dan
bercerita tentang keindahan warna-warni bidang dan garis serta
yang bisa muncul dari itu. Harimaunya misalnya, belangnya
berbentuk belah ketupat berwarna merah jambu, sedikit kuning,
biru dan hijau muda. Harimau yang pop.
Dan Srihadi. Pelukis Bandung ini sudah sejak 1971 saya kira
mencoba tak hanya menaburkan cat mengejar keindahan dan
ekspresi. Ia mau lebih: mencari makna tiap sapuan dan goresan.
Ia, sebagaimana-Sudjojono--bapak senilukis modern kita--selalu
menampilkan hal-hal "aktual"" Srihadi dan Sudjojono selalu
mencoba melebur dengan masa sekarang, bukan berusaha "mendahului
aman" alasan yang biasa terdengar dari seniman bila karyanya
tak dipahami. Empat kanvas Srihadi melukiskan puing-puing
pesawat terbang yang jatuh hancur. Tentu saja ini bukan sekedar
dokumentasi peristiwa. Ada yang lebih-seperti suatu ajakan
merenung tentang, keabadian, tentang dimensi spiritual itu.
Dua lukisan Srihadi yalg lain menampilkan Borobudur. Yang satu
berlangit biru, dan candi Budha itu berdiri pada tanah hijau
indah. Yang lain berlangit putih, dan tanah hijau indah itu
berubah kotor. Sepintas dua lukisan ini bak sebuah kartupos
bergambar. Tapi bila warna-warna itu diperhatikan, memang
kemudian terasa muncul sesuatu. Srihadi seperti hendak
menampilkan "warna Indonesia." Tiba-tiba saja lukisan Borobudur
terasa akrab: suasana di situ seperti telah kita simpan lama
dalam diri.
Itulah sedikit yang masih menjadikan pameran dua tahunan dari
DKJ ini berharga ditonton.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini