Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang Selalu Mengundang Kritik

Pameran Biennal ke-5 di tim, 4-31 desember diikuti oleh 16 pelukis dengan 150 karya, berkat seleksi yang ketat. (sr)

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELUKIS Indonesia menyusut jumlahnya? Ketika pertama kali diselenggarakan, 1974, Pameran Besa Senilukis Indonesia diikuti sekitar 8 ?elukis dengan 240 lukisan. Kini, dalam pameran yang diganti namanya menjadi Pameran Biennal (PB) ke-5 di Taman Ismail Marzuki, 4-31 Desember, hanya tampil 16 pelukis dengan sekitar 150 karya. Agaknya Dewan Kesenian Jakarta, penyelenggaranya, mengambil langkah baru. "Pameran yang sekarang secara selektif hanya mengundang 19 orang," tulis Sudarmadji, anggota Komite Senirupa DKJ, dalam Kalender TIM. Dan ternyata tiga dari 19 itu berhalangan: Nashar, Rusn dan Hendra Gunawan. Seleksi "ketat" ini dilakukan DKJ mengingat dulu banyak pelukis yang ikut dalam PB ternyata hanya sesekali saja berkarya. Bahkan konon ada yang baru melukis bila PB hendak diadakan. Maka untuk "memberikan kesempatan apresiaSi secara baik dan meyakinkan," Nashar (Ketua Komite Senirupa DKJ) plus para anggota Komite Sudarmadji dan Suparto berembuk mengadakan seleksi itu. Seorang anggota :yang lain Adhi Moersid, tidak hadir. Tapi itulah. Sudah sjak PB yang pertama, acara itu selalu mengundang kritik dan komentar. Apa boleh buat untuk DKJ, badan kesenian yang dibiayai Pemda DKI Jakarta dan toh haris memperhatikan perkembangan kesenian seantero Nusantara, acara ini agaknya memang terlalu berat. Bagaimana bisa, misalnya, hanya dengan empat tenaga Komite Senirupa DKJ memonitor kegiatan senirupawan di seluruh Indonesia? Padahal salah satu kriterium agar bisa ikut serta dalam PB ke-5 ini, adalah pelukis "kegiatan intensif dan kontinyu" si pelukis. Ditambah lagi, "yang karyanya menunjukkan cukup punya karakter/kepribadian," dan "dapat ditandai adanya usaha inovasi yang terus-menerus." Maka hasil seleksi Komite Senirupa DKJ memang mengherankan. Bila ada Nuzurlis Koto, yang lukisan nonfiguratifnya merupakan bidang-bidang tajam warna-warni dengan komposisi yang terasa masih mencari-cari bentuk, mengapa Handrio yang barusan berpameran tunggal di TIM (TEMPO 27 November) absen? LALU bila ada karya-karya trsam yang dekoratif, ada Aming Prayitno yang nonfiguratif, lalu karya Suwayang boleh dibilang ekspresionistis, mengapa tak tampil karya-karya nonfiguratif Lian Sahar, yang sudah terang lebih matang dalam komposisi dan ekspresi? Itu sekedar contoh. Masalah yang lebih mendasar agaknya pretensi DKJ untuk memberikan "apresiasi secara baik dan meyakinkan" itu. Bukan hal sulit diketahui, apresiasi tak mungkin berjalan dalam suatu pameran yang waktunya relatif singkat. Memang, dalam apresiasi senirupa yang pertama-tama harus dikerjakan ialah melihat barangnya sendiri. Namun itu tak akan berarti banyak tanpa informasi yang melatar-belakangi lahirnya si karya riwayat hidup pelukisnya, proses kreatifnya, komentar para pengamat senirupa, dan informasi tentang sejarah senirupa tempat si karya mengambil bagian. Andaikata saja DKJ menyertakan semua informasi itu, terang pamerannya lebih bermanfaat. Toh, sejumlah nama yang ditampilkan DKJ memang membawa informasi mutakhir tentang diri mereka. Sudah tentu ini bukan berkat upaya DKJ: mereka itu memang pelukis yang baik. Bisa dilihat sepuluh karya O.H. Supono, orang Surabaya itu. Karya 1982-nya menunjukkan jalan ke inovasi. Terutama pada Sapi-sapi, Supono mencoba menghancurkan bentuk untuk hanya menjadi zarah. Ia seperti hendak bercelita tentang kefanaan di dunia: bidang dasar yang abu-abu, plus zarah dan garis-garis pendek yang hitam dan terkadang muncul kuning, putih, merah sedikit. Ini agaknya kelanjutan atau sesuatu yang ditemukannya dalam lukisan-lukisan surealistisnya tempo hari. Lalu Suparto, yang seperti datang dan dunia wayang dan dongeng-dongeng. Dua karyany terutama, Harimau dan Banteng, menunjukkan kemampuan pe lukis anggota Komite Senirupa ini. Harimaunya bukan sekedar gambar macan. Juga Bantengnya. Dua figur hewan ini di kanvas menjelma menjadi tokoh legenda, dan bercerita tentang keindahan warna-warni bidang dan garis serta yang bisa muncul dari itu. Harimaunya misalnya, belangnya berbentuk belah ketupat berwarna merah jambu, sedikit kuning, biru dan hijau muda. Harimau yang pop. Dan Srihadi. Pelukis Bandung ini sudah sejak 1971 saya kira mencoba tak hanya menaburkan cat mengejar keindahan dan ekspresi. Ia mau lebih: mencari makna tiap sapuan dan goresan. Ia, sebagaimana-Sudjojono--bapak senilukis modern kita--selalu menampilkan hal-hal "aktual"" Srihadi dan Sudjojono selalu mencoba melebur dengan masa sekarang, bukan berusaha "mendahului aman" alasan yang biasa terdengar dari seniman bila karyanya tak dipahami. Empat kanvas Srihadi melukiskan puing-puing pesawat terbang yang jatuh hancur. Tentu saja ini bukan sekedar dokumentasi peristiwa. Ada yang lebih-seperti suatu ajakan merenung tentang, keabadian, tentang dimensi spiritual itu. Dua lukisan Srihadi yalg lain menampilkan Borobudur. Yang satu berlangit biru, dan candi Budha itu berdiri pada tanah hijau indah. Yang lain berlangit putih, dan tanah hijau indah itu berubah kotor. Sepintas dua lukisan ini bak sebuah kartupos bergambar. Tapi bila warna-warna itu diperhatikan, memang kemudian terasa muncul sesuatu. Srihadi seperti hendak menampilkan "warna Indonesia." Tiba-tiba saja lukisan Borobudur terasa akrab: suasana di situ seperti telah kita simpan lama dalam diri. Itulah sedikit yang masih menjadikan pameran dua tahunan dari DKJ ini berharga ditonton. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus