Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ekstremitas dan Moderasi Beragama

Sikap ekstrem muncul karena cara pandang yang cenderung "tekstualis" dan "teosentris" dalam memahami sesuatu.

15 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ekstremitas dan Moderasi Beragama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus Wedi
Pengkaji dan peneliti keislaman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yusuf Qardhawi, dalam buku Islam Jalan Tengah: Menjauhi Sikap Berlebihan dalam Beragama (2017), mendedah faktor-faktor yang mendorong munculnya sikap ekstremisme dalam beragama. Di antaranya, orang cenderung sibuk mempertentangkan hal-hal sampingan ketimbang yang pokok, lemah akan pengetahuan sejarah, hingga gagalnya negara dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik, dan budaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih memiriskan lagi adalah fenomena orang-orang (khususnya remaja) yang mencari jati diri dan ajaran agama secara instan, lebih-lebih secara virtual. Hal ini membuat mereka terjebak dalam pemahaman rendah, dangkal, keliru, bahkan mungkin sesat. Akibatnya, mereka tidak bisa membedakan kenyataan dan imajinasi, sehingga tidak lagi berpikir rasional dan logis. Dengan demikian, mereka rentan berpikiran ekstrem.

Padahal Islam tidak mungkin mengajarkan ekstremisme. Sikap ekstrem yang dipraktikkan sebagian pemeluknya harus dilacak dari sebab dan muasalnya, misalnya yang berhubungan dengan kejiwaan (psikologis), sosial, ataupun politik. Maka, diperlukan pendekatan yang tepat untuk menghadapi mereka sesuai dengan penyebabnya itu.

Kini, sikap ekstrem bukan hanya tercipta di pikiran dan pengucapan, tapi juga diekspresikan dalam perbuatan. Akar masalahnya, seperti dianalisis M. Quraish Shihab dalam buku ini, bermula pada umat yang cenderung "tekstualis" atau "teosentris" dalam memahami sesuatu. Mereka terlalu membela Tuhan ketimbang bersikap "antroposentris" yang membela kemaslahatan manusia.

Mereka berucap dan bersikap kasar, seperti mengeluarkan makian berlebihan, penyebaran isu negatif, berbohong, lebih meninggikan pendekatan al-mungkar ketimbang al-makruf, serta hati dan perasaan yang selalu emosional berlebihan sehingga bersikap melampaui batas.

Keekstreman terjadi karena mereka mengabaikan syarat-syarat terjadinya wasathiyyah (moderasi). Aneka kelompok, baik yang ekstrem maupun lawannya, menampakkan wajahnya disertai dengan dalil-dalil agama yang penafsirannya sangat jauh dari hakikat Islam. Akibatnya, tidak jarang pola-pola tersebut memicu aksi-aksi intoleran dan kekerasan yang mengakibatkan keresahan dan perpecahan pergaulan umat serta negara.

Persoalan ekstremitas dan moderasi adalah urusan dan kepentingan setiap kelompok, masyarakat, dan negara. Moderasi bukan pula sikap tidak jelas-tegas terhadap sesuatu. Juga bukan sikap netral secara pasif, yang kemudian memunculkan persepsi bahwa moderasi tidak menganjurkan berusaha mencapai titik puncak, seperti dalam ibadah, ilmu, hingga harta.

Kekaburan makna moderasi membuat yang ekstrem ataupun yang bukan sama-sama menilai dirinya telah menerapkan moderasi. Padahal keduanya jauh dari indikator moderasi. Mereka tertutup dan menolak berdiskusi atas persoalan yang ada dan menyatakan hanya dirinyalah yang pasti benar dan yang lain salah. Mereka menolak apa pun dan siapa pun yang berbeda dengannya, dan berburuk sangka.

Buku ini mencoba melakukan dekonstruksi makna dan definisi tentang moderasi. Sebab, seperti dikatakan Quraish, moderasi sangat luas maknanya dan tak bisa diukur secara matematis. Ia perlu pelacakan terhadap spektrum pemaknaan esensial melalui pengetahuan yang mendalam tentang syariat Islam dan kondisi obyektifnya untuk menemukan dan bisa menerapkannya.

Quraish menyimpulkan hakikat moderasi adalah menyeimbangkan segala persoalan hidup duniawi dan ukhrawi, yang selalu harus disertai upaya menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi berdasarkan petunjuk agama dan kondisi obyektif yang sedang dialami. Moderasi yang menjadi ciri ajaran Islam adalah menyeimbangkan antara roh dan jasad, dunia dan akhirat, agama dan negara, individu dan masyarakat, ide dan realitas, yang lama dan baru, akal dan naqal (teks kegamaan), agama dan ilmu, serta modernitas dan tradisi.

Sebagaimana pertarungan antara paham fatalisme (menganggap Tuhan pengatur segalanya) dan free will (manusia bebas menentukan seluruhnya), paham moderasi menganggap kemahakuasaan Tuhan dan kemutlakan-Nya tidak mencabut kehendak dan upaya manusia. Sebab, manusia diberi "kemampuan" untuk memilih dan berusaha.

Dalam aspek hukum, misalnya, hukum potong tangan bagi pencuri tidak serta-merta dijatuhkan pada semua pencuri. Harus dilihat konteksnya, masa paceklik-krisis atau normal, barang curian hingga kepemilikan. Misalnya, bagi pekerja yang mencuri karena tidak mendapat haknya yang layak, maka hukuman potong tangan tidak otomatis dijatuhkan kepadanya.

Jika hukuman bermaksud merealisasi esensinya, yaitu memberikan efek jera, sebagai implikasinya harus memilih atau melakukan ijtihad kreatif, mencari hukuman di luar potong tangan tersebut. Misalnya dengan memenjarakan, dalam rangka menutup peluang bagi pencuri dari kemungkinan mencuri lagi, semberi memberikan edukasi dan penyadaran diri agar tidak mengulangi lagi. Itulah sikap moderasi.

Khaled Aboud al-Fadl dalam The Place of Tolerance in Islam (2002) mengatakan, "Jika pembaca intoleran dan penuh kebencian, maka demikian pula makna teks-teks keagamaan."

Jadi, dalam konteks untuk mencari jalan keluar yang moderat, orang harus menelisik maksud di balik teks keagamaan yang implisit, yang tak terucapkan, dan mencari apa sebenarnya tujuan, signifikansi, ideal moral, dalam perintah dan larangan keagamaan. Bukan menghakimi tanpa strategi, bahkan meniru cara-cara kejam. Dengan mempertimbangkan moderasinya, ia bukan hanya mencegah, melainkan ada upaya kreatif menciptakan kemakmuran dan keadilan. Jadi, moderasi bukan hanya bersikap protektif, tapi juga produktif dan developmental.

Ekstremisme agama hendaknya dihadapi dengan ajaran agama yang rigid, tuntunan penuh kasih sayang yang menimbulkan simpati. Sebab, pandangan dan penetapan ekstermisme dan moderasi agama harus didasarkan pada konstruksi dan epistem agama secara adil. Bukan atas dasar penilaian diri sendiri, kelompok, ataupun negara.

Maka, wawasan moderasi menjadi penting. Namun, dalam menerapkannya, dibutuhkan pemahaman, pengetahuan yang mendalam, luas, dan menyeluruh tentang teks-teks dan syariat agama. Termasuk kondisi obyektif yang dihadapi, sekaligus cara dan kadar penerapannya yang pas, moderat, tegas, dan adil. Dengan demikian, tujuannya tercapai dengan baik dan bisa menerangi segala gulita dalam kehidupan umat.


Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama

Penulis : M. Quraish Shihab
Penerbit : Lentera Hati
Cetakan I : September 2019
Tebal : 204 halaman
ISBN : 978-602-7720-94-7

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus