MEMBACA ruang Komentar TEMPO No. 30 Thn. VIII 23 September 1978
kami tertarik akan tulisan Sdr. S.M. Sihombing, Jakarta Pusat,
mengenai Apa Dasar Hukumnya IPEDA & SWP3D (IPEDA: Iuran
Pembangunan Daerah SWP3D: Sumbangan Wajib Pemeliharaan dan
Pembangunan Prasarana Daerah). Kami yang merasa memiliki sedikit
pengetahuan dalam bidang perpajakan umumnya dan IPEDA & SWP3D
khususnya, terketuk hati untuk memberi sedikit gambaran.
Dalam tulisan Sdr. Sihombing lebih dipermasalahkan IPEDA. Kalau
diteliti, pelaksanaan pemungutan IPEDA merata di seluruh pelosok
Indonesia, sedang SWP3D hanya terdapat di Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya (di daerah lain lebih dikenal dengan nama Pajak
Kendaraan Bermotor atau Pajak Rumah Tangga dasar ke-3 dan ke-4).
Sebenarnya kurang tepat bila Sdr. Sihombing mengatakan pungutan
SWP3D lebih mengenai sasaran daripada IPEDA. Karena obyek
keduanya jauh berbeda, sehingga menurut hemat kami tidak dapat
diperbandingkan. Seperti kita ketahui obyek SWP3D adalah semua
jenis kendaraan bermotor, sedang obyek IPEDA adalah tanah dan
bangunan. (Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya hanya sejak
1978 saja bangunan dikenakan Ipeda Perkotaan Non Komersil,
sedang di daerah lain sudah sejak lama, di antaranya Kotamadya
Balikpapan).
Subyek SWP3D adalah pemilik kendaraan bermotor yang dapat berupa
perorangan atau badan, sedang subyek IPEDA adalah orang atau
badan yang hakekatnya memperoleh manfa'at atau menikmati
kegunaan dari tanah dan/atau bangunan yang ada di atasnya dengan
jalan mendiami dan mengusahakannya.
Selanjutnya penjelasan mengenai IPEDA:
1. Pemungutan IPEDA pada hakekatnya dimulai waktu Indonesia
dijajah Inggeris, yaitu dengan diadakannya pungutan atas tanah
yang dinamakan Landrent -- dengan dasar pemikiran bahwa tanah
adalah milik negara dan rakyat dipandang sebagai penyewa.
Waktu Indonesia diserahkan kembali kepada Belanda, pungutan
diteruskan dengan nama Landrente dengan dasar yang sama. Waktu
Indonesia di bawah pemerintah Jepang, pungutan ini lebih dikenal
dengan 'pajak atas tanah'. Sesudah Jepang menyerah, pajak atas
tanah ini diganti namanya menjadi 'Pajak Bumi' -- dengan
pemungutannya dilaksanakan oleh Jawatan Pajak Bumi. Tahun 1950
pajak bumi dihapuskan dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan
No. 295663/K tanggal 16 Nopember 1950.
Sebagai gantinya, dilaksanakan pengenaan pajak pendapatan atas
penghasilan yang tadinya dikenakan pajak bumi. Dalam pengenaan
ini yang dipakai sebagai dasar adalah Ordonansi Pajak Pendapatan
1944, tetapi dengan menggunakan data-data dari pajak bumi.
Dengan adanya perubahan ini nama Jawatan Pajak Bumi diganti
menjadi Jawatan Pendaftaran dan Pajak Penghasilan Tanah Milik
Indonesia (P3TMI) -- dengan tugas melanjutkan dan menyempurnakan
pendaftaran tanah milik Indonesia serta mengumpulkan
bahan-bahan/keterangan dan mempersiapkan pelaksanaan pengenaan
pajak pendapatan atas hasil-hasil yang diperoleh dari tanah
milik Indonesia.
Setelah beberapa tahun, ternyata tujuan penggantian pajak bumi
dengan pajak pendapatan ini bahkan menimbulkan hal-hal yang
merugikan. Berhubung dengan itu Pemerintah dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 11 Tahun 1959
menghidupkan kembali pajak atas tanah dengan nama Pajak Hasil
Bumi. Perpu ini kemudian disahkan menjadi Undang-undang No. 11
Prp . Tahun 1959. Peraturan inilah yang sebenarnya menjadi Dasar
Hukum Pemungutan Ipeda hingga kini.
Bila semula pajak ini hanya mempunyai sasaran tanah-tanah dari
sektor agraris, dalam perkembangannya sasaran ini menjadi lebih
luas dan antara lain meliputi sektor-sektor perkotaan,
pertambangan, kehutananan dan perkebunan. Untuk menyesuaikan
dengan perkembangan itu dan fungsi sesungguhnya, maka pajak
hasil bumi diubah namanya menjadi Iuran Pembangunan Daerah
(IPEDA) -- berdasar Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No.
PMPPU 1-1-3 tanggal 29 Nopember 1965, yang berlaku mulai 1
Nopember 1965.
2. Pada dasarnya Undang-undang No. 11 Prp. Tahun 1959, sebagai
dasar hukum pemungutan IPEDA, adalah sesuai dengan Pancasila
karena di dalamnya sudah terkandung syarat-syarat yuridis,
ekonomis dan finansil. Walaupun sebenarnya sekarang ini
Undang-undang No. 11 Prp. Tahun 1959 sudah kurang tepat lagi,
atau katakanlah sudah tidak mengikuti perkembangan
sasaran-sasaran IPEDA sendiri. Karena seperti yang kami tuliskan
di atas undang-undang ini hanya mempunyai sasaran tanah dari
sektor agraris. Mungkin tidak lama lagi Menteri Keuangan cq.
Direktorat Jenderal Pajak akan mengeluarkan undangundang yang
baru.
3. Karena IPEDA merupakan pajak Pusat, maka Pemerintah Pusatlah
yang memberi garis pengarahan penggunaan hasil pemungutan, yang
pengaturannya sebagai berikut:
a. Berdasar Instruksi Menteri Dalam Negeri 17 Mei 1965 Nomor
Des. 45/1/ 25, maka:
-- 50% dipergunakan untuk pembangunan di Sektor Agraris
-- 50% untuk pembangunan sektor lainnya yang erat hubungannya
dengan Rural Development.
b. Berdasar Surat Keputusan Menteri Keuangan 7 Agustus 1967 No.
KEP 167/Men.Keu./67 tentang penggunaan hasil bersih uang IPEDA
verponding dan vervonding Indonesia sebagai berikut:
-- 10% diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I
-- 10 disetorkan kepada Bank Pembangunan Daerah sebagai saham
Pemerintah Daerah Tingkat II
-- Sisanya untuk pembangunan agraris masing-masing Daerah
Tingkat II.
c. Berdasar Instruksi Menteri Dalam Negeri 27 Maret 1969 Nomor 3
Tahun 1969, penggunaan uang IPEDA diarahkan untuk membiayai
antara lain:
-- infrastruktur yang menunjang peningkatan kegiatan produksi
pangan dan ekspor sandang
-- infrastruktur pengangkutan berupa jalan, jembatan dan
pelabuhan
-- infrastruktur pengairan termasuk flood controle
-- infrastruktur pembangunan tenaga antara lain listrik.
Ada satu keinginan yang luhur: agar di dalam jiwa masyarakat
dapat ditanamkan pengertian yang dalam tentang 'apa pajak itu',
serta bagaimana kegunaan dan penggunaannya. Bagi kami penanaman
pengertian semacam ini suatu kewajiban moril, suatu obligation
yang harus dipenuhi dalam proses pembangunan negara tercinta
ini.
ERMANSYAH DJAYA, Bc.Kn.
Dinas Pendapatan Daerah
Tingkat II Kotamadya
Daerah Tingkat II Balikpapan,
Balikpapan .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini