Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dasar hukum dan penggunaan

Ermansyah djaya menanggapi tulisan sm sihombing. dikatakan bahwa obyek pungutan swp3d adalah kendaraan bermotor, ipeda adalah tanah dan bangunan. jadi keduanya berbeda.

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBACA ruang Komentar TEMPO No. 30 Thn. VIII 23 September 1978 kami tertarik akan tulisan Sdr. S.M. Sihombing, Jakarta Pusat, mengenai Apa Dasar Hukumnya IPEDA & SWP3D (IPEDA: Iuran Pembangunan Daerah SWP3D: Sumbangan Wajib Pemeliharaan dan Pembangunan Prasarana Daerah). Kami yang merasa memiliki sedikit pengetahuan dalam bidang perpajakan umumnya dan IPEDA & SWP3D khususnya, terketuk hati untuk memberi sedikit gambaran. Dalam tulisan Sdr. Sihombing lebih dipermasalahkan IPEDA. Kalau diteliti, pelaksanaan pemungutan IPEDA merata di seluruh pelosok Indonesia, sedang SWP3D hanya terdapat di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (di daerah lain lebih dikenal dengan nama Pajak Kendaraan Bermotor atau Pajak Rumah Tangga dasar ke-3 dan ke-4). Sebenarnya kurang tepat bila Sdr. Sihombing mengatakan pungutan SWP3D lebih mengenai sasaran daripada IPEDA. Karena obyek keduanya jauh berbeda, sehingga menurut hemat kami tidak dapat diperbandingkan. Seperti kita ketahui obyek SWP3D adalah semua jenis kendaraan bermotor, sedang obyek IPEDA adalah tanah dan bangunan. (Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya hanya sejak 1978 saja bangunan dikenakan Ipeda Perkotaan Non Komersil, sedang di daerah lain sudah sejak lama, di antaranya Kotamadya Balikpapan). Subyek SWP3D adalah pemilik kendaraan bermotor yang dapat berupa perorangan atau badan, sedang subyek IPEDA adalah orang atau badan yang hakekatnya memperoleh manfa'at atau menikmati kegunaan dari tanah dan/atau bangunan yang ada di atasnya dengan jalan mendiami dan mengusahakannya. Selanjutnya penjelasan mengenai IPEDA: 1. Pemungutan IPEDA pada hakekatnya dimulai waktu Indonesia dijajah Inggeris, yaitu dengan diadakannya pungutan atas tanah yang dinamakan Landrent -- dengan dasar pemikiran bahwa tanah adalah milik negara dan rakyat dipandang sebagai penyewa. Waktu Indonesia diserahkan kembali kepada Belanda, pungutan diteruskan dengan nama Landrente dengan dasar yang sama. Waktu Indonesia di bawah pemerintah Jepang, pungutan ini lebih dikenal dengan 'pajak atas tanah'. Sesudah Jepang menyerah, pajak atas tanah ini diganti namanya menjadi 'Pajak Bumi' -- dengan pemungutannya dilaksanakan oleh Jawatan Pajak Bumi. Tahun 1950 pajak bumi dihapuskan dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 295663/K tanggal 16 Nopember 1950. Sebagai gantinya, dilaksanakan pengenaan pajak pendapatan atas penghasilan yang tadinya dikenakan pajak bumi. Dalam pengenaan ini yang dipakai sebagai dasar adalah Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, tetapi dengan menggunakan data-data dari pajak bumi. Dengan adanya perubahan ini nama Jawatan Pajak Bumi diganti menjadi Jawatan Pendaftaran dan Pajak Penghasilan Tanah Milik Indonesia (P3TMI) -- dengan tugas melanjutkan dan menyempurnakan pendaftaran tanah milik Indonesia serta mengumpulkan bahan-bahan/keterangan dan mempersiapkan pelaksanaan pengenaan pajak pendapatan atas hasil-hasil yang diperoleh dari tanah milik Indonesia. Setelah beberapa tahun, ternyata tujuan penggantian pajak bumi dengan pajak pendapatan ini bahkan menimbulkan hal-hal yang merugikan. Berhubung dengan itu Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 11 Tahun 1959 menghidupkan kembali pajak atas tanah dengan nama Pajak Hasil Bumi. Perpu ini kemudian disahkan menjadi Undang-undang No. 11 Prp . Tahun 1959. Peraturan inilah yang sebenarnya menjadi Dasar Hukum Pemungutan Ipeda hingga kini. Bila semula pajak ini hanya mempunyai sasaran tanah-tanah dari sektor agraris, dalam perkembangannya sasaran ini menjadi lebih luas dan antara lain meliputi sektor-sektor perkotaan, pertambangan, kehutananan dan perkebunan. Untuk menyesuaikan dengan perkembangan itu dan fungsi sesungguhnya, maka pajak hasil bumi diubah namanya menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) -- berdasar Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No. PMPPU 1-1-3 tanggal 29 Nopember 1965, yang berlaku mulai 1 Nopember 1965. 2. Pada dasarnya Undang-undang No. 11 Prp. Tahun 1959, sebagai dasar hukum pemungutan IPEDA, adalah sesuai dengan Pancasila karena di dalamnya sudah terkandung syarat-syarat yuridis, ekonomis dan finansil. Walaupun sebenarnya sekarang ini Undang-undang No. 11 Prp. Tahun 1959 sudah kurang tepat lagi, atau katakanlah sudah tidak mengikuti perkembangan sasaran-sasaran IPEDA sendiri. Karena seperti yang kami tuliskan di atas undang-undang ini hanya mempunyai sasaran tanah dari sektor agraris. Mungkin tidak lama lagi Menteri Keuangan cq. Direktorat Jenderal Pajak akan mengeluarkan undangundang yang baru. 3. Karena IPEDA merupakan pajak Pusat, maka Pemerintah Pusatlah yang memberi garis pengarahan penggunaan hasil pemungutan, yang pengaturannya sebagai berikut: a. Berdasar Instruksi Menteri Dalam Negeri 17 Mei 1965 Nomor Des. 45/1/ 25, maka: -- 50% dipergunakan untuk pembangunan di Sektor Agraris -- 50% untuk pembangunan sektor lainnya yang erat hubungannya dengan Rural Development. b. Berdasar Surat Keputusan Menteri Keuangan 7 Agustus 1967 No. KEP 167/Men.Keu./67 tentang penggunaan hasil bersih uang IPEDA verponding dan vervonding Indonesia sebagai berikut: -- 10% diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I -- 10 disetorkan kepada Bank Pembangunan Daerah sebagai saham Pemerintah Daerah Tingkat II -- Sisanya untuk pembangunan agraris masing-masing Daerah Tingkat II. c. Berdasar Instruksi Menteri Dalam Negeri 27 Maret 1969 Nomor 3 Tahun 1969, penggunaan uang IPEDA diarahkan untuk membiayai antara lain: -- infrastruktur yang menunjang peningkatan kegiatan produksi pangan dan ekspor sandang -- infrastruktur pengangkutan berupa jalan, jembatan dan pelabuhan -- infrastruktur pengairan termasuk flood controle -- infrastruktur pembangunan tenaga antara lain listrik. Ada satu keinginan yang luhur: agar di dalam jiwa masyarakat dapat ditanamkan pengertian yang dalam tentang 'apa pajak itu', serta bagaimana kegunaan dan penggunaannya. Bagi kami penanaman pengertian semacam ini suatu kewajiban moril, suatu obligation yang harus dipenuhi dalam proses pembangunan negara tercinta ini. ERMANSYAH DJAYA, Bc.Kn. Dinas Pendapatan Daerah Tingkat II Kotamadya Daerah Tingkat II Balikpapan, Balikpapan .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus