Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Film klasik tinggal cerita mulut

Film-film klasik indonesia terancam punah. karena sinematek indonesia di samping tidak punya dana untuk mengelola diri, para produser tidak berminat menyerahkan film mereka sebelum negatifnya dihancurkan.(fl)

8 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA pernah menonton film Apa yang Kau Cari, Palupi? Anda boleh tidak senang dengan karya Sutradara Asrul Sani itu, tapi pada Festival Film Asia 1970, film itu terpilih sebagai film terbaik. Bagaimana kalau sekarang Anda ingin menonton kembali film tersebut? Jawabnya: Tidak bisa -- baik kopi maupun negatif film tersebut telah musnah. Dan, itulah beda nasib film Indonesia dibandingkan film Amerika, Eropa, bahkan India. Di negeri-negeri yang disebut terakhir ini, film-film lama masih tetap bisa ditonton dalam keadaan baik. Mengapa? Karena ada Sinematek. Di Indonesia, Sinematek bukannya tidak ada. Dibangun pada 1970, dan sejak itu dipimpin oleh Haji Misbach Jusa Biran tapi lembaga tersebut belum berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan film-film baru pun belum tentu bisa diselamatkan kopinya oleh lembaga ini. Alasannya? "Tidak ada uang . . .," kata Misbach, sutradara yang memusatkan perhatiannya pada Sinematek. Akhir bulan lalu, orang tiba-tiba ingat lagi pada Sinematek Indonesia begitu Kedutaan Besar Australia di Jakarta menyerahkan kopi film Atheis kepada lembaga tersebut. Film karya Almarhum Sjumandjaja itu diperbanyak Kedutaan Australia dari sebuah universitas di Jepang, yang berhasil menyelamatkan karya tersebut, ketika sebuah studio di Tokyo yang menyimpan negatif film tu, dilikuidasi. Nasib film Atheis lebih beruntung, karena bisa diselamatkan. Tapi ratusan film Indonesia lainnya terpaksa tinggal nama. Centa sedlh mi sebetulnya erat hubungannya dengan perkembangan teknologi yang mendadak melanda dunia film Indonesia. Hatta, ketika film Indonesia mulai berkelir di akhir 1960-an, waktu itu, semua pemrosesannya dilakukan di Tokyo atau di Hong Kong. Maka, negatif filmnya pun ditinggalkan di negeri-negeri tersebut, karena selain memudahkan jika akan ada penambahan kopi, juga "sebagai jaminan utang produser kepada pihak studio," kata Mr. Ran, Direktur PT Parkit Film. Dan, ketika sejumlah produser film Indonesia tidak melunasi utangnya, juga untuk menghemat ruang gudang penyimpanan, dimusnahkan mereka negatif film-film itu. Jauh sebelum tragedi itu terjadi, usaha penyelamatan benda budaya itu sebetulnya sudah dilakukan. Bukan cuma film-film berwarna, tapi film-film hitam putih juga diusahakan untuk diselamatkan. Hingga 1986 sudah 159 film cerita dapat dikumpulkan mulai dari film-film bisu buatan 1920-an sampai karya-karya terakhir sutradara besar Usmar Ismail. Setelah itu, pengumpulan kopi film-film Indonesia mandek. Dan lagi-lagi karena soal biaya pembuatan kopi dan penyimpanannya. Kekalutan biaya bagi Sinematek Indonesia ini bersumber juga pada masalah birokrasi. Ini, antara lain, tidak jelasnya kedudukan lembaga itu. Mula-mula Sinematek Indonesia berada di bawah Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), lalu ke Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, dan terakhir disubsidi oleh Dewan Film. Sementara film-film Indonesia hancur satu per satu hancur, nasib Sinematek belum juga kunjung jelas. "Dari dulu sengsara saja," ujar Misbach. Sudah begitu, para produser tidak pula berminat menyerahkan satu kopi dari film mereka sebelum negatifnya dihancurkan di luar negeri. "Para produser film kita masih belum sadar akan arti Sinematek bagi kepentingan sejarah budaya bangsa," sela seorang sutradara. Ketidaksadaran ini pangkal dari sikap acuh mereka terhadap negatif-negatif film, karena uang yang ditanam pada celluloid itu telah memberi untung banyak. Di kantornya, di Pusat Perfilman Kuningan, Jakarta Misbach dengan sedih menceritakan betapa sulitnya ia bertahan dengan usaha yang dimulainya belasan tahun silam. Sudah sulit mengumpulkannya, biaya memeliharanya juga tak enteng. Sebab, film-film tersebut harus disimpan dalam ruangan yang bersuhu sejuk, dan itu memerlukan alat pendingin. "Biaya listriknya saja sudah lebih mahal dari subsidi yang diterima Sinematek," tutur seorang karyawan di sana. Mungkin karena terharu kepada kesungguhan dan keuletannya mempertahankan Sinematek itu, maka Festival Film Indonesia 1984 menganugerahi Misbach Piala Haji Usmar Ismail. Tapi komentar Misbach, "Kalau Sinematek dianggap penting hingga pengelolanya diberi hadiah, kenapa bukan lembaganya yang dikembangkan." Kenapa, ya, Bung?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus