Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Teori nasi goreng

Usaha mochtar riady dalam menumbuhkan bank central asia sebagai bank swasta nasional terbesar di indonesia. dengan memberi kredit yang sepantasnya & tidak memberi kredit sembarangan kepada pedagang yang belum dewasa.

8 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONON, bank-bank sedang kebanyakan uang. Lalu lintas giral menurun karena kegiatan yang lesu membuat orang lebih suka menempatkan uang ke keranjang deposito. Akibatnya, bank harus lebih aktif menyalurkan dana itu. Apakah itu kemudian berarti bahwa meminjam uang dan mencari kredit dari bank sekarang menjadi lebih gampang? Jawabannya tentu akan sangat relatif. Tetapi, tentu agak aneh mendengar bahwa pada saat seperti ini ada bank yang tetap "pelit" dalam soal pemberian kredit. Salah satu penganut paham "pelit" ini adalah Mochtar Riady. Itu tentulah bukan tanpa alasan. "Saya sudah terbanting dan terempas selama periode 1959-1967," kata Mochtar. "Saya masih miskin pengalaman bisnis ketika itu. Saya pikir, sebagai bankir saya harus memberikan kredit secara royal." Ternyata, kebanyakan kredit itu macet. Masih beruntung, ada inflasi menolong. Inflasi yang gila-gilaan membuat jumlah kredit macet itu menjadi kecil artinya. "Kalau tidak ada inflasi, mungkin sudah tamat riwayat saya." Mochtar tetap belum menemukan jawab atas masalah besar itu. Lalu, pada suatu hari ia melihat seorang bayi sedang di beri susu. Pada titik itu ia sadar. "Bayi itu hanya boleh minum susu, belum boleh makan nasi goreng," katanya. Dan ini bukan pernyataan sekadar melucu. Ini adalah teori pertumbuhan. Sampai pada usia enam bulan, bayi memang sudah cukup diberi susu. Makanan padat baru boleh diperkenalkan setelah usia enam bulan. Kecuali bila susu tak mencukupi lagi, pada bulan keempat makanan semipadat bisa diperkenalkan setahap demi setahap. "Di situlah letak kesalahan saya," Mochtar mengakui. "Pedagang-pedagang yang saya beri kredit itu sebenarnya bayi yang belum boleh makan nasi goreng. Tetapi, karena saya beri nasi goreng, malah pada sakit perut semua." Kiat yang disampaikan Mochtar itu jelas: bila ia belum cukup dewasa untuk menerima kredit dalam jumlah besar, ia harus dicoba dulu dengan kredit yang sepantasnya. "Jangan sembarangan memberi kredit. Beri kredit terlalu longgar justru akan menjerumuskan nasabah. Kalau sayang bayi, jangan beri nasi goreng dulu!" Bank Central Asia yang dipimpin Mochtar memang hingga kini termasuk yang "pelit" memberikan kredit kepada nasabah. Jadi, apa rahasianya maka ia bertumbuh menjadi bank swasta nasional yang terbesar? "Kami memang tidak dibesarkan oleh kredit. Kami besar karena kami memberikan layanan. Dan ini bukan basa-basi. Justru hanya tentang satu hal ini sajalah saya berani menyatakan bahwa kami yang terbesar: kami memberikan 56 jenis layanan. Ini memang supermarket," kata Mochtar. Setelah terempas dan nyaris kandas karena terlalu royal memberikan kredit, Mochtar banting setir dan menekankan unsur pelayanan. "Nasabah harus diberi jenis layanan yang paling dibutuhkannya," katanya. Contohnya? Ketika ia masih memimpin Bank Buana dulu ia menyelenggarakan layanan kurir. Maklum, pada waktu itu hubungan telepon luar biasa sulitnya. Pedagang-pedagang Pasar Pagi tiap malam antre di kantor telepon untuk melakukan pembicaraan interlokal dengan mitra bisnisnya di berbagai kota. Mutu hubungan pun luar biasa buruknya. Sesudah berteriak-teriak karena tidak bisa saling mendengar, tiba-tiba hubungan terputus karena waktu tiga menit sudah habis. Suasana untuk menyelenggarakan bisnis dengan lancar memang masih penuh hambatan. Kiriman uang dari bank ke bank pun bisa makan waktu dua minggu lebih karena komunikasi yang buruk. Padahal, waktu dua minggu ketika itu sudah cukup untuk membuat sebuah usaha gulung tikar. Apa yang dilakukan Mochtar? Setiap hari ia mengirim orang dari Jakarta ke Surabaya, dan juga dari Surabaya ke Jakarta. Kurir-kurir ini hanya membawa surat-surat transfer sehingga nasabah bisa menerima pembayaran keesokan harinya. Bukan itu saja. Para kurir itu juga membawa surat-surat dari para nasabah untuk mitra bisnisnya di kota lain. Semuanya itu tanpa bayar. Demikianlah, tiada telepon, surat pun jadi. Layanan yang dilakukan Bank Buana ketika itu sungguh telah menjawab kebutuhan yang paling akut dari para nasabahnya. Mochtar pun pernah menyelenggarakan terobosan ketika jasa teleks masih belum sebaik sekarang. Hubungan teleks antarkota ketika itu tidak lancar, kecuali dari dan ke Bandung. Maka, Mochtar segera membuat pusat layanan di Bandung. Semua teleks dikirim dari dan ke Bandung. Lalu dibentuklah jaringan kurir yang mondar-mandir Jakarta-Bandung untuk meneruskan pesan-pesan teleks itu. Mengeluh saja memang tak akan ada akhirnya. Hanya perbuatanlah yang pada akhirnya akan mengangkat kita dari satu masalah. Dan untuk berbuat, kita memang tak boleh malas. Malas berpikir. Malas merenung. Malas melayani. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus