Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kaleidoskop belanda kebun di ...

Pengarang : m.h.szekely-lulofs. jakarta : grafiti pers, 1985 resensi oleh : subagio sastrowardoyo. (bk)

8 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERPACU NASIB DI KEBUN KARET Oleh: M.H. Szekely Lulofs Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1985, 267 halaman TERJEMAHAN Berpacu Nasib di Kebun Karet ini, karya M.H. Szekely Lulofs, rupanya lebih mengacu kepada tema romannya daripada judul aslinya, Rubber (Karet). Perkebunan karet di wilayah Deli memang menjadi ajang tempat semua kejadian berlaku, dan turun-naik harga karet menjadi pokok perhatian para pelakunya di zaman Hindia Belanda itu. Tetapi yang menonjol ke permukaan adalah berbagai perbuatan dan tingkah laku tuan-tuan kebun dan asisten-asisten Belanda dalam meningkatkan kariernya, dan tetap dapat selamat selama mengadu untung di daerah terpencil itu. Maka, suasana masyarakat Belanda di kebun karet itu diwarnai oleh keresahan orang-orang berpacu nasib. Masyarakat kecil orang Belanda, ditambah beberapa orang dan orang Amerika Eropa lainnya, merupakan dunia tersendiri, yang dalam kedudukannya sebagai pengusaha-pengusaha perkebunan hidup terpisah dari masyarakat pribumi Indonesia. Roman ini melukiskan lingkaran kehidupan karyawan-karyawan expatriate itu, yang dalam keterpencilannya mencuatkan berbagai masalah pribadi yang kerap kali menemukan pemecahan sedih dan memilukan. Pasangan suami-istri di tengah keramaian pergaulan dengan sesama bangsanya, selalu harus kembali terlibat dalam persoalan pribadi masing-masing. Sehingga roman ini menjadi sebuah kaleidoskop, yang menggambarkan pelbagai nasib orang di dalam kehidupan perkebunan pada zaman Hindia Belanda tersebut. Tetapi, bagaimanapun berbedanya liku-liku perjalanan hidup yang mereka tempuh, ada sesuatu yang mereka alami bersama. Yakni, perasaan jenuh, lesu, dan terasing, tinggal di daerah tropis Hindia Belanda dengan lingkungan alam dan masyarakat pribumi yang berbeda dari tanah asal mereka Eropa. Semua merka merasa menderita dan berkali-kali berkeluh-kesah tentang suasana hidup yang "primitif, sepi, tanpa hiburan, tanpa dansa, tanpa kencan, dan tak ada apa-apa". Kecuali itu, mereka pun setiap kali dapat terancam akan dibunuh kuli perkebunan yang mendadak mengamuk, hanya karena kena marah atau tempeleng. Selama bekerja lima sampai sepuluh tahun di kebun karet itu, orang-orang Belanda belum juga dapat mengerti jiwa penduduk pribumi, yang pada pandangan mereka mempunyai ukuran lain dan tidak dapat menghargai nyawa manusia. Hanya satu hal yang menjadi daya tarik mereka bekerja di perkebunan itu. Yakni, kesempatan menabung sebanyak-banyaknya dari tantieme yang mereka tenma, kemudian selekas mungkin kembali ke Negeri Belanda, dan menikmati hidup di sana. Itulah tujuan pokok mereka berada di Hindia Belanda. Untuk tujuan itu mereka hampir sia-sia berusaha menyesuaikan diri, tidak saja dengan unsur-unsur pribumi di sekitarnya, juga dengan masyarakat bangsa sendiri, yang bersaing mengamankan karier masing-masing. Dalam mengejar ambisi mereka dirundung kegelisahan, dan tidak enggan melakukan perselingkuhan, fitnah, serta pengkhianatan. Karya Lulofs ini khas bagi kebanyakan roman Hindia Belanda. Jenis sastra ini bagi pengarang Belanda bertugas menggambarkan masyarakat bangsanya sehdiri di dalam struktur kolonial Hindia Belanda. Masyarakat demikian membawa ciri-ciri khas yang disebut "Hindia" atau "Indisch" yang terungkap dalam perbuatan, tingkah laku, dan pola hidup yang lain daripada di Negeri Belanda. Kebiasaan, adat istiadat, cara berpikir dan bertindak "Indisch" itulah yang hendak ditonjolkan Lulofs di atas latar belakang iklim tropis, lingkungan alam, dan masyarakat pribumi pada zaman Hindia Belanda. Dan, latar belakang itu hanya dibayangkan secara kabur-kabur. karena tidak menjadi sasaran perhatian, dan jarang bisa dimengerti serta dihargai pengarang Belanda. Sekalipun demikian, latar belakang itu tidak urung mengenakan pengaruh dan menentukan sikap serta pandangan khas kolonial pada masyarakat Belanda yang berkuasa. Berpacu Nasib di Kebun Karet menggambarkan satu segi dari masyarakat Belanda dengan setting perkebunan karet di Deli. Seperti di dalam roman-roman Hindia Belanda yang lain, juga di sini manusia Belanda mengalami dekadensi fisik dan moral. Pada mereka "tidak ada lagi yang tersisa dari kesegaran Eropa". Mereka menjadi kurus, pucat, letih oleh iklim, jenuh, dan terasing. Tetapi justru ajang tempat berlaku semua kejadian di perkebunan itu memberikan warna yang agak lain kepada roman ini. Dekadensi itu tidak dapat dipersalahkan kepada latar belakang unsur-unsur pribumi belaka, tapi juga kepada gaya hidup mereka sendiri. Di tengah keuntungan usaha karet yang berlimpah, mereka cenderung kehilangan ukuran-ukuran moral dengan berkubang dalam kemewahan materi dan kenikmatan jasmani. Kaleidoskop berbagai kehidupan di kebun karet ini mengandung kritik terhadap masyarakat kolonial Belanda itu sendiri. Subagio Sastrowardoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus