Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pekalongan suatu malam

Mencari kerja kian susah, mekanisasi pertanian dilakukan besar-besaran di indonesia. sektor perdagangan & jasa diperkirakan menyerap kelebihan tenaga kerja. indonesia perlu menyuburkan sektor ini.

8 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SERIBU lima ratus perak?" teriakku, mengulang tawaran si abang becak. "Biasa, Pak, segitu," katanya. Jam di stasiun kereta api Pekalongan menunjukkan pukul 12 malam. Badanku capek sekali, setelah tujuh jam berada di kereta api Mutiara. Dan aku masih harus naik becak ke kampungku, 8 km ke selatan, yang bisa makan waktu setengah jam. Tiba-tiba saya ingat: di Jakarta saya membayar Rp 500 untuk naik becak ke rumah adik saya yang jaraknya 1 km. Untuk standar Jakarta, mestinya malam ini saya harus membayar Rp 4.000. Langsung saya angkat kopor dan loncat ke becaknya. "Biasanya ke kampung Bapak Rp 2.000," kata si abang. Dengus napasnya mulai kedengaran. "Sekarang banyak tukang becak dari Jakarta lari kemari." "Oh?" Dia (sempat menyebut namanya-Raidi-dan berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa kromo) banyak bicara juga. "Bapak 'kan lihat tadi. Yang turun dari kereta api cuma lima orang. Tapi becak yang mengerumuni ada puluhan." Raidi rupanya sudah tersengat oleh para saingan dari Jakarta. Dia mungkin tak tahu bahwa perang antara pemerintah DKI dan tukang becak di sana sudah berlangsung 15 tahun. Kemenangan sudah pasti di pihak DKI. Tekad DKI bahwa tahun ini Jakarta harus benar-benar bebas becak tak bisa ditawar lagi. Jumlah becak di Jakarta, yang pada 1970-an diperkirakan 200.000, kini tinggal 50.000. Dan 400.000 tukang becak (satu becak tidak hanya dipegang satu orang) harus mencari kerja lain, di saat mencari kerja makin susah. Sebagai tukang becak, tadinya mereka bisa menghasilkan Rp 1.000 sehari sesudah dipotong setoran, menurut sebuah survei. Sebagian uang ini digunakan untuk menyekolahkan anak-anak, membeli pupuk di desa, dan membayar rentenir. Alasan pemerintah DKI mengusir becak adalah karena becak makin mengganggu lalu lintas Jakarta yang makin padat mobil. Alasan lain -- seperti pernah dikemukakan salah satu wakil gubernurnya -- becak merupakan pemerasan manusia atas manusia. Tak ada yang menanggapi alasan ini dengan serius. Yang lebih serius adalah menghapuskan angkutan becak. Di seluruh Indonesia, enam juta jiwa menggantungkan hidupnya dari becak, kata sebuah survei Depnaker. Badanku mulai menggigil kedinginan. Jalanan sepi. Napas Raidi masih mendengus, dan sesekali dia batuk. Kami melewati pabrik tekstil milik Koperasi Batik Pekajangan. Halamannya gelap dan sepi. Sebelumnya, setiap kali saya lewat di sini di waktu malam, cahaya lampunya yang gemerlapan menyorot ke mana-mana dan suara mesinnya riuh rendah. "Sudah lama pabrik ini ditutup," kata Raidi. "Buruhnya banyak yang dikeluarkan. Katanya banyak juga yang narik becak sekarang." Raidi berasal dari Tirto, desa 6 km sebelah barat Pekalongan. Kalau lagi panen, dia berhenti narik, dan kerja di sawah. "Sekarang cari kerja di sawah juga susah," katanya. "Kenapa?" "Semuanya sekarang pakai mesin." Raidi tak menjelaskan mesin apa. Dia tak tahu bahwa mekanisasi pertanian sudah dilakukan besar-besaran di negerinya selama 10 tahun terakhir ini. Dia tak tahu bahwa negerinya sudah kebanjiran beras, produksinya mencapai rekor, dan tak perlu mengimpor beras lagi. Dia juga mungkin tak tahu bahwa akibat mekanisasi itu jutaan buruh tani -- mereka yang tak punya tanah, yang hanya punya otot dan napas -- makin tersingkir dari sawah. Sekarang ini, dari setiap 10 orang tenaga kerja yang muncul di pasaran, hanya satu orang bisa diserap sektor pertanian. Mekanisasi pertanian jelas musuh mereka. Untung, mereka punya pendukung di Bank Dunia. Dalam laporannya tentang Indonesia tahun lalu, para ekonom Bank Dunia minta agar pemerintah Indonesia tidak memberi KIK dan KMKP untuk pembelian huller, traktor tangan, dan mesin lainnya yang digunakan di sawah. Mereka juga minta agar industri mesin ini tidak disubsidi -- biar yang membeli membayar dengan harga pasar. Bank Dunia rupanya prihatin terhadap menghilangnya dengan cepat alat-alat produksi tradisional seperti alu dan ani-ani. Terlalu banyak buruh tani yang menjadi korban. Selama Repelita IV diperkirakan 1,8 juta orang setiap tahun membanjiri pasaran tenaga kerja. Tapi sektor pertanian sudah jenuh. Industri menufaktur makin padat modal. Proyek Inpres, yang telah menciptakan lima juta lapangan kerja di pedesaan, kini dikurangi. Ke mana kelebihan tenaga ini bisa diserap? Jawabannya: mungkin sektor perdagangan dan jasa. Di masa lalu, kemampuan sektor ini dalam menyerap tenaga kerja cukup mengagumkan: sebanyak 60% tambahan tenaga di kota-kota dan 50% di pedesaan. Indonesia perlu sekali menyuburkan sektor ini di dalamnya termasuk, antara lain, pedagang kaki lima, penjual makanan, tukang becak, dan tukang-tukang kecil lainnya. Tapi sektor apa yang lebih tidak aman, lebih sering diusir dan dikejar-kejar, daripada sektor ini? "Setop sini," kataku di depan rumah. Aku merogoh kantung dan membayar Rp 1.500. "Matur nuwun, Pak," balas Raidi. Dan dia menggenjot becaknya kembali. Dia mungkin harus menggenjot sejauh 14 km, kembali ke desanya, Tirto, terpaksa tanpa penumpang, di malam yang sudah larut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus