Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAMBAR berukuran sekitar satu meter persegi itu seperti pagar bambu dengan banyak retakan. Warnanya kecokelatan mirip sisa kertas yang nyaris terbakar habis. Jejeran garis vertikal utamanya, dengan variasi horizontal dan acak, menjadi kekuatan karya foto berjudul Line Meditation #8 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada banyak karya foto Iswanto Soerjanto, 51 tahun, yang menonjolkan garis pada seri judul tersebut. Seri pertama dan ketiga, masing-masing berjumlah empat dan tiga karya, bercorak deretan garis vertikal dengan ketebalan dan warna beragam. Pada seri keempat, variasi gambarnya berupa garis putus-putus. Adapun pada seri keenam, garis-garis tegaknya meleleh dan melebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iswanto menyuguhkan 42 lembar karya fotografinya dalam pameran tunggal perdananya di Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, pada 20-30 April 2018. Dalam pameran berjudul "Re-Definition" itu, dia juga banyak menampilkan seri karya foto bertajuk Transformation. Selain bergambar rumbai pita, ada yang berupa kumpulan titik, guratan atau bekas cakaran, serta tumpukan dan irisan bidang. Bentuknya seperti bebatuan dengan warna transparan.
Yang menarik, semua karya fotografinya itu dia buat tanpa kamera alias cameraless photography. Kurator pameran Argus Firmansyah mengatakan Iswanto memakai tiga metode untuk membuat karya-karya foto abstraknya itu, yakni teknik cyanotype, yang menggunakan emulsi atau campuran partikel zat dari bahan kimia pada fotografi kuno; teknik chemigram; dan teknik photogram. Iswanto mengerjakannya di studio di rumahnya di Kemang, Jakarta Selatan.
Yang juga tak biasa adalah warna dan bentuk gambar dalam semua karya fotonya itu masih "hidup". Foto-foto tersebut terus berubah secara perlahan di ruang pameran karena faktor sinar matahari, suhu, kelembapan, dan reaksi bahan kimia yang dipakai. Iswanto pun secara berkala memotret karya-karyanya itu dengan kamera telepon seluler. "Warna sebelumnya terang, sekarang mulai gelap," ujarnya sambil menunjukkan foto dokumentasinya pada Ahad pekan lalu.
Di ruang pameran, Iswanto membuat karya instalasi berjudul Transformative Moments yang menggambarkan teknik chemigram, yaitu melukis dengan alkalin dan asam. Kedua bahan kimia itu biasa digunakan sebagai developer dan fixer pada proses mencuci film di kamar gelap.
Sebanyak 11 botol kaca berisi cairan asam dan alkalin yang bersifat basa menggantung pada sepasang tiang besi yang membentuk huruf T. Tiap botol dipasangi slang dan tombol pengatur volume tetesan cairan seperti pada alat infus. Cairan yang keluar menetes di ujung slang kemudian dijatuhkan pada tiga helai kertas foto (gelatin paper) berlapis cairan sirop beras asal Korea. Setiap helai kertas fotonya berada di dalam bak hitam segi empat.
Sirop itu seperti madu asli yang berfungsi mirip malam pada pembuatan kain batik, menutupi bagian tertentu saat pencelupan warna. Iswanto melumurinya asal saja pada kertas. Selang beberapa saat kemudian, dia menggoyang-goyangkannya sehingga cairan asam dan alkalin yang bercampur memunculkan pola abstrak seperti corak batu marmer. Di sela warna dominan merah bata atau tembaga, sifat asam menampilkan warna biru yang lambat-laun menjadi perak.
Proses perubahan itu berlangsung setiap hari. Kalau semua lampu ruangan dimatikan, perubahannya melambat. "Sampai kapan berhentinya, saya enggak tahu," kata fotografer yang belajar di Brooks Institute of Photography, Santa Barbara, California, Amerika Serikat, pada 1988 itu.
Di tengah ruang pameran, Iswanto menempatkan kamera obscura kreasinya. Karya berjudul I Can See the World itu seperti bola ranjau laut berduri. Ukurannya sekitar dua meter persegi dan tingginya tiga meter dengan empat tiang kaki. Pengunjung bisa memasuki karya itu dan menyaksikan suasana di luar lewat 25 kamera dengan hasil gambar terbalik 90 derajat.
Iswanto menggeluti cameraless photography sejak 2015. Beberapa kali ia menyertakan karyanya dalam pameran bersama di Singapura. Tiga tahun lalu, ia memutuskan pensiun dari profesinya sebagai fotografer iklan yang dia geluti sejak 1990. Gara-garanya, dia merasakan fotografi kian menjurus ke hal yang tidak menarik dalam bisnis. "Pemain makin banyak, harga tidak sehat dengan perang tarif," ujarnya.
Iswanto lalu memutuskan terjun ke dunia seni kontemporer. Di dunia barunya, mantan pengajar fotografi di Akademi Desain Visi Yogyakarta itu kebingungan lantaran kekaryaan seni di Indonesia cenderung naratif. Pun praktik fotografi yang mengarah ke peniruan. Hal-hal itulah yang akhirnya membuatnya memutuskan mencari lagi akar sejarah fotografi. "Saya memilih tidak mengikuti arus zaman dengan trending digital photography yang tergelincir pada praktik dokumentasi," tuturnya.
Perenungan membawanya ke dua nama besar dalam dunia fotografi, yakni Man Ray dan Lazlo Moholy Nagy. Keduanya seniman Bauhaus yang berkelana ke New York, Amerika Serikat, menjelang Perang Dunia II. Man Ray dan Moholy Nagy mempraktikkan photogram, teknik cetak kamar gelap dengan cara meletakkan benda-benda di atas kertas foto kemudian menyinarinya. Hasil prosesnya berupa citra putih pada area yang tidak terekspos oleh sinar dan gambar hitam pada area yang terkena cahaya lampu kamar gelap.
Tokoh fotografi ketiga yang menjadi rujukannya adalah Pierre Cordier, penemu teknik chemigram pada 1956. Metode cetak kamar gelap itu menafikan porsi cahaya dan lebih banyak mengeksplorasi reaksi kimia di kamar gelap sebelum dan sesudah kertas foto terkena cahaya. Ketiga tokoh tersebut, menurut Iswanto, merekam realitas secara langsung di atas kertas foto tanpa alat kamera.
Kunjungannya ke Museum of Modern Art dan beberapa galeri seni di New York pada 2017 untuk melihat karya-karya abstrak ekspresionis yang berkembang pada 1950-an di kota itu menguatkan niatnya untuk mendefinisi ulang fotografi di era mutakhir. "Saya menggunakan teknik fotografi lama untuk mengedepankan fotografi di zaman modern," ujar Iswanto.
Anwar Siswadi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo