Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENARIKAN jaksa Yudi Kristiana dari tugasnya di Komisi Pemberantasan Korupsi kian menegaskan ada yang tak beres dengan keputusan Kejaksaan Agung. Yudi adalah jaksa penyidik KPK dalam kasus suap Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Ia menjadi ketua penyidik kasus dugaan suap oleh Evy Susanti, istri Gatot, kepada Sekjen Partai NasDem Patrice Rio Capella.
Partai yang dipimpin taipan media Surya Paloh itu merupakan penyokong Muhammad Prasetyo untuk menjadi Jaksa Agung di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Kaitan ini patut dicurigai sebagai faktor penentu penarikan jaksa Yudi. Apalagi, sebetulnya, tak ada alasan kuat bagi Kejaksaan Agung untuk memulangkan Yudi.
Yudi baru bekerja empat tahun di KPK. Dia masih punya waktu setahun lebih, sampai masa penugasannya usai. Memang, menurut ketentuan, lembaga asal penyidik dan penuntut itu bisa menarik mereka sewaktu-waktu. Alasan pemulangan demi promosi ke Badan Pendidikan dan Pelatihan kian menegaskan bahwa Yudi hanya diparkir karena di pos baru ini ia tak lagi mengurus kasus.
Lemahnya alasan penarikan itu memunculkan dugaan ada sesuatu di belakangnya. Dalam kasus korupsi ini, nama Jaksa Agung Prasetyo ikut terbawa. Suap Rp 200 juta adalah imbalan bagi Rio untuk melobi Prasetyo. Tujuannya agar Jaksa Agung memerintahkan anak buahnya tak mengusut korupsi bantuan sosial yang tengah diusut Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara itu.
Dalam pernyataannya di persidangan, Gubernur Gatot mengaku tak punya koneksi langsung dengan Prasetyo untuk menghentikan pengusutan korupsi yang mengancamnya. Ia lalu mengontak Rio, yang tentu kenal dekat dengan Prasetyo sebagai sesama kader NasDem. Apalagi, sebelum suap itu terjadi, Gatot bertemu dengan Rio dan Surya Paloh untuk membicarakan tuduhan yang membelitnya.
Maka demikianlah kaitan-kaitan itu memunculkan dugaan bahwa Jaksa Agung Prasetyo tengah memakai kekuasaannya untuk melindungi kejahatan yang tengah diusut Yudi. Ada konflik kepentingan antara menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dan melindungi kolega separtai.
Di KPK, Yudi menjalankan tanggung jawabnya dengan tegas. Ia tak segan menuntut pengacara Otto Cornelis Kaligis sepuluh tahun penjara. Kaligis adalah cabang lain korupsi Gatot. Ia menyuap hakim Pengadilan Niaga agar memenangkan gugatan anak buah Gatot terhadap penetapan tersangka korupsi bantuan sosial. Dengan bisa membuktikan suap itu, Yudi telah menjadi ancaman bagi penyembunyian kejahatan komplotan ini. Di sini pun, konflik kepentingan terjadi karena Kaligis juga adalah anggota Majelis Kehormatan Partai NasDem.
Kasus suap Kaligis dan pengusutan suap kepada Rio bisa menjadi bola liar yang menyeret Prasetyo ke pusaran korupsi Gatot. Daripada menarik Yudi, jaksa terbaik KPK—disertasinya di Universitas Diponegoro mengkritik Kejaksaan Agung yang tak bebas intervensi dalam menangani perkara—semestinya Prasetyo mundur dari jabatannya sampai pengusutan korupsi ini terang benar. Sulit mengharapkan penegakan hukum yang benar bila Prasetyo dibelit konflik kepentingan.
Penarikan jaksa Yudi semestinya dibatalkan karena melemahkan KPK. Lembaga ini dihuni para penyelidik dan penyidik yang berasal dari lembaga-lembaga hukum yang terkenal korup. Sepanjang KPK belum bisa merekrut penyidik sendiri, modus menarik pulang penyidik jika ada kasus yang mengancam lembaga asalnya sangat mungkin terjadi lagi. Karena itu, sebelum kewenangan merekrut penyidik sendiri diatur, KPK semestinya punya cara menolak penarikan penyidik ketika sedang menangani kasus besar dan penting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo