Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELKIBOLANG
Sutradara: Edwin, Wisnu Surya Pratama, Tumpal Tampubolon, Anggun Priambodo, Agung Sentausa, Ifa Isfansyah, Sidi Saleh, Azhar Lubis, Rico Marpaung
Skenario: Titien Wattimena
Produksi: Timecode Pictures, Dermaga Films, Zuura Pictures, babibutafilm, 2010
KETIKA Jakarta diselimuti malam, terbitlah para sihir cerita. Sembilan sutradara itu adalah para penyihir cerita yang menyulap kota besar ini dengan berbagai tafsir tentang gelap malam yang mengungkap kejutan.
Sutradara Tumpal Tampubolon menggebrak malam dengan sebuah adegan kejutan. Seorang perempuan yang dadanya tengah diisap oleh seorang lelaki. Di pinggir jalan. Sang lelaki lantas pingsan. Sang perempuan merogoh dompet lelaki dan menyambar motor bebek milik si lelaki. Adegan kemudian berbalik pada saat sang perempuan berdandan dan sengaja akan menjebak sang lelaki yang ternyata seorang sopir ojek. Bagaimana dia minta diantarkan ke alamat yang dia sudah lupa, lalu berhenti di pinggir jalan dan mempersilakan sang lelaki mengisap dadanya. Adegan melompat lagi ke awal peristiwa, memperlihatkan sang perempuan yang menggosok-gosokkan sesuatu ke payudaranya sebelum dia berdandan. Di saat itu kita mendengar nyanyian gembira sang perempuan dengan putrinya mengendarai sepeda motor curian itu.
Film pendek ini memperlihatkan satu pojok Jakarta; sebuah kota dengan jutaan sudut yang menyajikan begitu banyak misteri dan keganjilan. Di sini terjadi sebuah penipuan. Tapi kita tetap bersimpati pada sang perempuan, karena kita tahu Jakarta bisa saja menggerus kita untuk melakukan apa saja demi hidup. Tumpal menyajikannya dengan humor.
Seperti juga Edwin (sutradara yang kita kenal dengan film Babi Buta yang Ingin Terbang) yang melihat sebuah permainan dalam hubungan anak-anak muda di Jakarta. Sementara Tumpal berkisah dari pinggiran Jakarta, kamera Edwin justru menyorot ke ruang motel yang berisi dua orang sahabat remaja: lelaki dan perempuan. Dimulai dengan keduanya yang mengisi kebosanan dengan berlomba mengukur ludah masing-masing (sungguh khas anak urban Jakarta yang kurang kerjaan). Bosan mengoyak ludah, sang gadis (Heidy Trisnawan) menantang kawan lelakinya. Mereka sama-sama menutup mata, lalu saling menelanjangi. Setelah mereka bugil, barulah penutup mata dibuka. Tantangan tentu diterima dengan serta-merta oleh sang pemuda. Proses saling memereteli itulah malah yang menjadi perkawinan ketegangan dan humor. Si lelaki (diperankan Anggun Priambodo, yang menyutradarai segmen Tokek dalam film ini) dengan perut mekar dan wajah polos tampak patuh saja pada semua komando sang gadis. Tapi justru pada akhir acara memereteli itu, kita melihat salah satu dari mereka takut untuk membuka tutupan matanya.
Edwin banyak menyajikan simbol dalam film Babi Buta yang Ingin Terbang. Dan dalam sembilan menit segmen Roller Coaster, Edwin memperlihatkan—cukup melalui dialog kedua remaja ini—bagaimana kita sering tak ingin (atau bahkan menolak) ketelanjangan (baca: kebenaran).
Wisnu Surya Pratama dalam segmen 3ll4 (atau dibaca Ella) menggambarkan malam-malam terakhir bulan Ramadan ketika seorang pelacur, Ella (Ella Hamid), yang akan pulang kampung menitipkan barang-barangnya di warung bebek panggang milik kawannya. Di sela obrolan dan guyonan dengan pemilik warung, seraya sesekali menerima telepon ibunya yang cemas, Ella meladeni beberapa pelanggannya dengan santai untuk ongkos pulang. Ella, sebagai bagian dari wajah marginal tersebut, menjalani malam itu dengan santai. Tapi kita tetap melihatnya dengan kepedihan. Saat dia sudah melalui beberapa lelaki, malam sudah hampir selesai. Pemilik warung membakar potongan bebeknya yang terakhir untuk sahur, dan Ella ingin ikut makan sahur. Sang kawan mempersilakannya dan menolak bayaran. ”Ndak usah. Tapi besok puasa, ya….”
Ella mengangguk dan mengangkut semua kardus dan kopernya menuju stasiun; seperti ia tengah menyangga seluruh beban keluarganya di atas sepotong tubuh yang letih.
Untuk saya, ketiga segmen dari Belkibolang (yang merupakan singkatan dari Belok Kiri Boleh Langsung, sesuatu yang biasa tertulis di jalan-jalan Jakarta), di samping Full Moon (Sidi Saleh) dan Tokek (Anggun Priambodo), adalah segmen-segmen yang berhasil tampil sebagai karya yang utuh dan berbicara. Melihat karya mereka, kita kemudian penuh optimisme terhadap gelombang baru sutradara Indonesia ini.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo