Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ono cicak nguntal boyo
Boyo coklat nyekel godo
Ojo seneng nguntal negoro
Mundak rakyatmu dadi sengsoro
DATANGLAH ke kampung-kampung di Yogya. Di sepanjang bantaran Kali Code atau Nitiprayan, tanyakan kepada anak-anak tentang lagu hip- hop yang menyumpah-serapahi Anggodo ini. Pasti mereka hafal.
”Bahasa Jawa punya potensi hip- hop. Suluk Jawa, yang penuh aliterasi, persamaan bunyi di akhir kalimat, cocok untuk rap.” Pendapat Elizabeth Nandiak, seorang perempuan Prancis peneliti Serat Centhini yang dahulu peneliti hip- hop dalam film dokumenter Hiphopdiningrat, dapat sedikit-banyak menjelaskan fenomena ini.
Inilah salah satu film paling bagus yang disajikan Jiffest 2010. Film ini bercerita tentang pengalaman Marzuki, pendiri Jogja Hip Hop Foundation, bersama teman-temannya memelopori rap berbahasa Jawa. Film ini bisa mengingatkan kita akan film Wim Wender: Buena Vista, yang mereportasekan jazz Kuba.
Sementara Wender memperlihatkan bagaimana jazz Kuba sesungguhnya mencerminkan penderitaan sosial Kuba, Marzuki, yang tersohor dengan nama samaran Kill The DJ atau The Cebolang, juga bisa memperlihatkan bagaimana gerakan hip-hop-nya memiliki akar kultural Yogya.
”Awal hip-hop Jawa adalah kelompok G Tribe. Hitnya adalah: Jelangkung dan Menek Jambe,” kata Marzuki. ”Kemudian kelompok Jahanam pada 2003 yang melahirkan Tumini. Laku 20 ribu kopi di Yogya.”
Selama 65 menit, kita disuguhi perjalanan kelompok-kelompok hip-hop Jawa antara 2003 dan 2009, dari manggung di ajang lokal Angkringan Hip Hop sampai Poetry Battle di Taman Ismail Marzuki. Dan kemudian di Esplanade, Singapura. Marzuki menekankan lahirnya hip-hop Jawa bukan semacam eksperimen kontemporer yang disengaja tapi apa adanya, alamiah.
”Sederhana saja. Kami merasa lebih bebas bila nge-rap dalam bahasa Jawa,” ujar Marzuki. Ia mengaku tidak belajar gaya atau teknik rap ala Amerika. ”Tidak pas di mulut.” Bahkan sering bahasa Indonesia, menurut Marzuki, kurang nyaman di-hip-hop-kan. Ia berpendapat ada bunyi-bunyi dalam bahasa Jawa yang tidak ada dalam bahasa Indonesia. Bahasa Jawa, misalnya, sering membuat bunyi sehari-hari menjadi kata. Bunyi orang membuka pintu mak regedeg..., misalnya, bisa jadi kata. Dalam bahasa Jawa juga sering sebuah kata tidak bermakna satu.
Apalagi tradisi suluk Jawa menyediakan irama-irama yang luar biasa. Marzuki rajin mengumpulkan kitab atau serat Jawa seperti Centhini, Gatholoco, Darmogandul, dan Babad Tanah Jawi. Dari situ ia belajar bunyi. Di rumahnya ia mengoleksi ”serat aneh-aneh”. Dia pernah berkeliling Jawa. Di setiap kota ia menyambangi masjid, gereja, dan kelenteng untuk mencari babad setempat. ”Di Ponorogo, misalnya, di sebuah kelenteng saya menemukan babad Ponorogo versi Cina,” katanya. Berbagai babad itu menginformasikan bahwa pembentukan Jawa itu sesungguhnya sangat pluralis.
Adapun bagian Centhini yang kerap di-hip-hop-kan adalah ketika tokoh-tokoh secara khusus menembang. Tatkala Among Raga bersanggama, agar Gusti Allah hadir dalam persetubuhan, ia menembang. Sewaktu Cebolang mengembara, setiap diundang siapa saja ia menembang. ”Semua tembang di Centhini, baik yang religi maupun yang erotik, saya kumpulkan,” kata Marzuki.
Menurut Marzuki, khazanah Jawa juga banyak memiliki mantra, dari mantra menidurkan orang, mantra memelet perempuan, sampai mantra anak hilang yang dicuri wewe gombel. ”Semua itu, menurut saya, mengandung unsur rap,” katanya.
Yang membuat film ini tak membosankan adalah banyaknya footage pertunjukan yang disajikan. Para penyanyi rap Jawa yang diwawancarai juga lucu. Obrolan mereka jujur dan tak dibuat-buat. Kita bisa tersenyum, misalnya, manakala menyaksikan adegan bagaimana awak komunitas rap Jahanam dan anggota kelompok Hip Hop Rotra membeli pakaian bekas dan batik yang murah meriah di Pasar Beringharjo untuk keperluan pentas.
Elizabeth bahkan melihat gerakan Marzuki bersama Jogja Hip-Hop Foundation persis seperti yang dilakukan orang-orang Bronx. Hip hop Yogya berjuang untuk bahasa Jawa yang dimarginalkan negara karena diganti bahasa Indonesia. Kesamaan lainnya dengan Bronx, seiring dengan tumbuhnya hip-hop Jawa, subur pula seni mural di Yogya.
Mengamati gerakan Marzuki, ingatan Elizabeth melayang ke tahun 1981, ketika dirinya berusia 19 tahun dikirim Actuel—majalah musik terkemuka di Prancis—ke New York. Ia ditugasi melihat perkembangan musik dan sosial setelah gerakan antirasial yang dipimpin muslim Afro-Amerika, Malcolm X., dan gerakan Black Panther.
Elizabeth ingat ia berjumpa dengan Fab 5 Freddy, lelaki kulit hitam yang menciptakan lagu buat Blondie, penyanyi cewek kulit putih yang populer saat itu. Keduanya menciptakan klip video Rapture, yang merupakan karya kolaborasi kulit hitam dan kulit putih pertama di Amerika. Karya itu merupakan hit paling melegenda dalam sejarah musik hip-hop, menjadi tonggak rekonsiliasi masyarakat yang terbelah. ”Rapture adalah jembatan kulit putih dan hitam,” tutur Elizabeth kepada Tempo.
Masih segar dalam kenangan Elizabeth bagaimana Freddy mengajaknya ke jantung Bronx. Dinding Kota Bronx tak ada yang luput dari goresan kuas dan cat semprot warna-warni. Mereka menyeberang sungai, menuju bangunan kumuh penuh orang menceracau: menyanyi seperti membaca mantra. Tak ada alat musik apa pun. Mereka menabuh kaleng dan senjata, mulut mereka komat-kamit, sumpah-serapah. ”Itulah cikal bakal hip-hop.”
Elizabeth juga bertemu Afrika Bambata, salah satu god father penyanyi rap di Bronx. Di kawasan kelam penuh kekerasan, perang antargeng, dan perang narkoba itu, Bambata disegani para jawara kriminal.
Menjelang 1990, Elizabeth berkunjung ke Indonesia. Ketika berjalan-jalan di Solo, ia melewati pergelaran wayang kulit: kakinya terpaku. Ia seperti terhipnotis, mendengar suluk sang dalang. ”Saya seperti terlempar ke sudut Kota Bronx. Itu benar-benar hip-hop,” kata Elizabeth kepada Tempo.
Sejak saat itu Elizabeth seolah tak berdaya untuk meninggalkan tanah Jawa. Ia kemudian memilih Yogyakarta sebagai tempat bermukim, tempat dia berkenalan dengan Serat Centhini dan membuat adaptasi dalam buku berjudul Centhini—Les chants de l’île à dormir debout. Ia banyak membantu Marzuki memilih bagian mana dari tembang Centhini yang enak di-hip-hop-kan.
Adanya akar kultural dan sosial itulah yang agaknya juga menggerakkan hati rohaniwan Sindhunata,SJ, secara khusus menciptakan lirik-lirik Jawa untuk di-rap-kan Marzuki dan kawan-kawan. Lirik-lirik Romo berupa karangan sendiri dan syair-syair tradisional Jawa yang dihadirkan kembali oleh Romo.
Bagian yang paling mengesankan dari film adalah saat menyaksikan bagaimana saat para rapper Jawa ini manggung di kampung-kampung dan pesta perkawinan, para penonton tua- muda berebutan menyanyikan salah satu puisi garapan Romo Sindhu, Suro Gambleh. Pring-pring petung, Anjang-anjang peli buntung, Ojo menggok ojo noleh, Ono turuk gomblah-gambleh.
”Itu sesungguhnya tembang tolak bala, meredam berahi,” kata Marzuki. Menurut Marzuki,—sampai sekarang lagu ini ditolak di radio-radio karena agak erotis. Namun lagu ini dikampung-kampung Yogya sangat terkenal dan banyak yang hafal.
Tembang ciptaan Romo Sindhu lain yang berbau sosial seperti Ngelmu Pring, Ora Cucul Ora Ngebul juga sekarang dikenal luas. Ada lirik Romo Sindhu yang isinya menyindir kehidupan perupa Yogya yang kini demikian kaya raya. Judulnya Jula-juli Lolipop. Jula-juli adalah tembang dari tradisi ludruk Jawa Timur. Tembang ini kini juga sangat dikenal luas di kampung-kampung Yogya.
Ngemut permen, permen Lolipop, bunder tur gepheng, kepengin beken, kepengin dadi ngetop, karyane laris, senine mati.
Sementara di kota lain rap sepenuhnya urban, di Yogyakarta rap menjadi senyawa antara global dan lokal. ”Hip- hop Jawa menyajikan bagaimana Jawa yang membuka diri terhadap pergaulan dunia, tapi juga Jawa yang memberi.” Kalimat budayawan Landung Simatupang dalam film itu terasa tepat.
Jawa dalam sejarah ibarat spons besar. Ia menyerap tradisi-tradisi agama besar dunia dan menjadikan tradisi itu berbeda dengan tanah asalnya. Demikian juga hip-hop di Yogyakarta. Keunikan hip-hop Jawa itu diakui misalnya oleh pionir hip-hop di Indonesia: Iwa K. ”Di Yogya, hip-hop tumbuh dengan benih sendiri,” katanya.
Undangan ke Esplanade, Singapura, adalah bentuk apresiasi orang luar atas keunikan itu. Pada Januari 2011 Jogja Hip Hop Foundation mendapat kesempatan manggung di New York dan San Francisco, Amerika Serikat. ”Di New York kami akan pentas di Asia Society dan di San Francisco di kompleks seni Yerba Buena,” kata Marzuki.
Seno Joko Suyono, Dwidjo Maksum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo