Menentang Tirani: Aksi Mahasiswa '77/'78
Penulis : Edy Budiyarso
Penerbit : Grasindo, Jakarta, 2000
DALAM sejarah, sering terjadi sebuah pembesaran makna. Yang kemudian lazim terjadi adalah: legenda. Pada akhirnya, bukan proses dan liku-liku peristiwa sejarah itu yang terasa penting, tetapi kecenderungan yang terjadi dalam sejarah modern negara ini adalah betapa pentingnya pesan yang ingin disampaikan melalui kenangan terhadap peristiwa tersebut.
Kecenderungan seperti ini sering kita temukan pada saat kita mendiskusikan tentang gerakan mahasiswa di Indonesia, yang diberi berbagai label heroik, antara lain "penyuara hati nurani", "pendobrak kezaliman", "pembawa perubahan".
Kenangan ini kemudian berubah menjadi sebuah mitos. Dan lazimnya, mitos akan mengembalikan sebuah suasana tertentu seperti krisis politik, pergantian rezim, atau perubahan sosial.
Buku karya Edy Budiyarso yang berkisah tentang gerakan mahasiswa 1977/1978 ini bisa dikatakan terjebak dalam arus pembesaran makna itu. Pertanyaan yang patut diajukan adalah: "Di mana tepatnya posisi dan peran gerakan mahasiswa '77/'78 dalam perjalanan politik Indonesia? Apakah ia memberikan kontribusi terhadap gerakan mahasiswa setelah itu, atau sebaliknya, gerakan mahasiswa '77/'78 dilihat sebagai kasus gagal dari sebuah gerakan yang membawa perubahan?"
Pertama, gerakan mahasiswa '77/'78 lebih bersifat nasional. Gerakan ini tidak hanya terbatas di Jakarta dan Bandung seperti gerakan yang terdahulu. Penulis menunjukkan, gerakan mahasiswa itu dan pemberangusannya juga terjadi di Surabaya, Medan, Bogor, Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang. Meskipun demikian, kita juga tahu bahwa pola Jakarta-Bandung (baca: UI-ITB), baik dalam bentuk kerja sama maupun rivalitas, masih sangat terasa. Kedua, berbeda dengan gerakan mahasiswa '74, yang "hanya" menuntut perubahan strategi pembangunan ekonomi dan pembubaran Aspri (Opsus), gerakan mahasiswa '77/'78 melakukan tuntutan maksimal, yakni tidak memercayai Soeharto untuk menjadi presiden kembali. Di satu sisi, tuntutan ini memang luar biasa jika memang taruhannya adalah kepemimpinan nasional yang baik dan memiliki teladan. Namun, di sisi lain, tuntutan maksimal ini menjadi terasa naif dan absurd, mengingat akibatnya kemudian hanya merupakan genderang perang terhadap Soeharto, dan pada gilirannya merupakan genderang kematian bagi gerakan itu.
Ketiga, gerakan mahasiswa '77/'78 berada dalam situasi ambigu dalam pilihan aksinya. Di satu sisi, tidak ingin mengulang gerakan mahasiswa '74, yang sarat dengan gesekan politik, gerakan mahasiswa '77/'78 berupaya untuk independen dari pengaruh aktor-aktor eksternal. Namun, di sisi lain, akibatnya sebagai suatu gerakan mahasiswa ia menjadi terisolasi, sendirian, dan bahkan cenderung elitis. Pada puncaknya, gerakan mahasiswa '77/'78 mengalami antiklimaks: ia bak bunga yang layu sebelum berkembang. Ia dipukul habis tanpa perlawanan berarti. Sebagai gerakan moral, misinya tidak maksimal; sementara sebagai gerakan politik, ia pemain tunggal yang penuh kecurigaan terhadap pemain-pemain lainnya.
Karakter gerakan ini yang lain, yang sering dilupakan orang, adalah bahwa setelah penahanan mereka, para pelaku gerakan ini tidak pernah meminta grasi kepada Presiden sebagaimana yang dilakukan para seniornya yang termasuk dalam generasi Malari. Apa pun alasannya, untuk karakter yang satu ini, gerakan mahasiswa '77/'78 memang harus diberi kredit poin tersendiri.
Hal yang menarik dari buku ini adalah kata pengantar Himawan Soetanto, mantan Pangdam Siliwangi, yang mengaku bahwa apa yang dikhawatirkan 20 tahun silam kini terbukti: TNI dibenci oleh mahasiswa, dan bahkan oleh kebanyakan masyarakat pada umumnya. Sementara itu, tulisan Indro Tjahjono, mantan aktivis '77/'78, seperti sudah diduga, tentu saja sukar menarik jarak dengan peristiwa itu sendiri, mengingat ia berada di dalamnya. Di satu sisi, Indro secara elegan melakukan otokritik atas gerakan mahasiswa '77/'78, yang pada saat-saat akhirnya hanya "berjalan di tempat". Di sisi yang lain, dengan analisis post-factum, ada kesan Indro tengah mencari pembenaran dengan kutipan adanya dua konsep hero "Barat" dan "Timur". Konsep ini sebagai gerakan moral, tanpa pamrih, tidak mengejar kekuasaan, dan bertindak sebagai seorang resi yang hanya datang untuk mengingatkan raja yang lalim. Kalau, toh, memang demikian, tentu menarik juga kiprah alumni gerakan mahasiswa '77/'78 yang sekarang duduk di berbagai lembaga pemerintahan, termasuk Indro, yang saat ini duduk sebagai Asmen Transmigrasi.
Yang patut dipuji di sini adalah penulis buku ini, yang dengan rajin dan tekun mengumpulkan data, melakukan wawancara, dan menuangkannya secara sistematis. Meskipun demikian, sudah pasti ini semua tidak akan memuaskan mereka yang terlibat di dalamnya karena pasti banyak hal yang terlewatkan, dan bahkan mungkin disalah-artikan. Namun, dalam pengantarnya, sang Penulis mengakui kemungkinan-kemungkinan itu dengan elegan dan jujur.
Nur Iman Subono, Pengajar FISIP UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini