Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Superhero itu belum selesai mengenakan kostumnya ketika dering telepon datang memanggil. Sepatu bagian kanan sudah terpasang, sementara kaki kirinya masih telanjang. "Halo!" kata Gundala.
Di ujung telepon, Aquanus, sohib lamanya, mengabarkan Harya Suryaminata alias Hasmi, pencipta Gundala, mengajak ketemu. Komikus 67 tahun itu memanggil superhero karangannya berkumpul di rumahnya. Selain Gundala, Jin Kartubi dan Pangeran Melar diundang. Sejenak, obrolan di telepon menjadi nostalgia.
"Jin Kartubi sekarang kerja di BagÂdad, jadi JTKI alias Jin Tenaga KerjaIndonesia," ujar Gundala mengabarkan kepada Aquanus. "Pangeran Melar lagaknya seperti pangeran beneran sekarang. Dia jadi pangeran di keraton."
Setelah bertahun-tahun menghilang dari peredaran, para superhero Indonesia ciptaan Hasmi itu dihidupkan oleh teater Gandrik di Taman Budaya Yogyakarta pekan lalu, dan akhir pekan ini (26 dan 27 April) di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dengan format pementasan sampaan khas Gandrik, tontonan ini menjadi penuh banyolan. Apalagi Susilo Nugroho, yang memerankan Gundala, acap melontarkan celetukan yang bernas tapi menggelikan.
"Hebat, wong ujian nasional saja tak bisa bareng," katanya saat menghadapi protes serombongan warga Klaten yang datang ke rumahnya. Mereka geram setelah seorang warga mati tersambar petir. Tak hanya menewaskan seorang warga, petir juga menyebabkan empat desa terbakar bersamaan.
Ya, di pementasan lakon ini, penonton diajak keluar-masuk pada pembabakan yang serasa aneh. Antara jagat komik, realitas, dan ruang imajinatif.
Setelah menerima telepon dari sahabatnya Aquanus, babak pementasan beralih pada kedatangan rombongan warga di rumah Gundala. Gelar Putera Petir, di belakang namanya, dinilai mewakili tanggung jawab bapaknya, Pak Petir. Tak ayal, nama Gundala Putera Petir pun berganti, Gundala bin Petir.
Penata latar Djaduk Ferianto mengatakan pemain dalam pementasan kaliini didominasi aktor muda Gandrik. Hanya empat orang yang terbilang senior: Susilo Nugroho (Gundala), Butet KartareÂdjasa (Pak Petir), Jujuk Prabowo (Sun BoKong), dan Djaduk sendiri yang berperan sebagai sutradara. "Saya yakin yang muda kini lebih baik," ujarnya.
M. Arif Wijayanto, misalnya, disebut salah satu yang terbaik dari sejumlahnama aktor Gandrik muda. Aktor yang akrab disapa Broto ini memerankan Jin Kartubi. Posturnya yang besar dan tinggi dengan perut menyembul terlihat pas dengan peran yang dimainkan. Dialog yangdimainkannya tak kalah lucu dengan Gundala.
Dengan replika tablet di tangan, Jin KartuÂbi adalah superhero yang datang pertama kali di rumah Hasmi (benarÂ-benar diperankan oleh Hasmi) untuk memenuhi undangan. Setelah sekian lama menunggu, Hasmi terlihat gusar dengan belum datangnya superhero yang lain. "Tenang, sudah saya SMS," kataJin Kartubi.
Dan benar, beberapa saat kemudian datanglah Aquanus dan Sun Bo Kong.Aquanus diperankan oleh Jamaluddin Latif, mantan pemain Teater Garasi, danSun Bo Kong, yang merupakan pelesetan dari karakter raja kera Sun Go Kong.
"Aquanus itu asal katanya aqua yang berarti air dan anus yang berartidubur," ujar Jin Kartubi. "Jadinya dubur berair," dia menambahkan, dengan tawa beratnya yang khas. Tak puas mengolok Aquanus, kini ia mengolok Sun Bo Kong. "Sun itu cium, bo kong itu dubur."
Ia sendiri mengklaim dirinya berasal dari Spanyol. Nama Kartubi berasaldari kata Cordoba. Tapi Hasmi langsung nyeletuk. "Salah. Nama itu saya ambil dari nama tokoh ketoprak yang sakit ayan."
Pergantian pembabakan dalam lakon kerap tak terduga. Dan ini mengundang suasana segar. Misalnya saat kedatangan Gundala dalam pertemuan itu. Tiba-tiba Gundala datang dengan gaya mirip wayang orang lengkap dengan iringan musik keraton. Adapun para superhero lain, yang telah lama menunggu, langsung duduk bersila menghadap Hasmi, kreatormereka.
"Saya bertemu dengan Butet dan dia minta saya menulis lakon untuk Gandrik, " kata Goenawan Mohamad, sang penulis naskah. Butet yakin Goenawan, yang esai-esainya selalu serius itu, sesungguhnya bisa mencipta naskah yang lucu. Goenawan pernah membuat lakon komedi berjudul Visa. Ketika naskah itu dimainkan Teater Lungit Solo di Salihara, Jakarta Selatan, Sapardi Djoko Damono, penyair tulen dan bukan pelawak, saat menonton, menurut Goenawan, tertawa terus. "Itu meyakinkan saya untuk membuat naskah komedi," ujar Goenawan.
Gundala Gawat berkisah tentang perjuangan para superhero menyelesaikan persoalan negeri ini. Syahdan, sebuah geng bernama Kelompok Harimau Lapar berusaha merampok harta negeri ini untuk membiayai migrasi mereka ke luar angkasa dan menciptakan negeri baru tanpa masalah, Negara Kesatuan Rampok Indonesia.
"Superhero bersatu tak bisa dikalahkan," kata Hasmi, mengobarkan semangat superheronya. Tapi Djaduk sang sutradara pun menyindir: "Bagaimana superhero mau ikut menyelamatkan? Lihat saja perut mereka yang sudah gendut." Yang terjadi, bukannya berhasil, para superhero itu justru larut dalam sistem yang telanjur bobrok.
Dialog banyak memakai bahasa Jawa. Situasi lokal Yogya yang kental dalam komik Gundala amat mewarnai adegan demi adegan. Lucu atau tidaknya dialog lakon ini karena itu, menurut Butet, punya standar berbeda. "Penonton Jakarta dan Yogyakarta bisa berbeda. Lucu di Yogyakarta bisa tidak lucu di Jakarta. Sebaliknya begitu."
Anang Zakaria, Evieta Fadjar
Regenerasi Gundolo Sosro
Gundala harus digeliatkan lagi. Saya sudah uzur, produktivitas menurun. Seharusnya ada anak muda yang menggambarnya lagi," kata Harya Suryaminata alias Hasmi, 68 tahun. Ia telah membuat Gundala 23 seri pada 1969-1982.
Tokoh Gundala diciptakan setelah ia memunculkan cerita silat, seperti Meratapi Telaga Hitam dan Keringnya Janur Kuning pada 1968. Petualangan Gundala berakhir pada 1982, Surat dari Akherat. Sempat muncul kembali sebagai komik strip di surat kabar Jawa Pos pada 1998, tapi tidak bertahan lama.
Ironisnya, semua naskah asli komik Gundala Putera Petir hilang setelah diserahkan kepada penerbit, sehingga sulit diterbitkan lagi.
"Saya dan penerbit sama-sama tidak menyimpan master atau artwork-nya. Ada yang dibakar begitu selesai terbit," kata Hasmi. Ada beberapa judul sempat didapat dengan cara memindai setiap halaman komik lama yang bisa ditemukannya. "Baru sekarang saya menyesal mengapa saat itu tidak meminta lagi naskah aslinya kepada penerbit," kata Hasmi.
Dia terbiasa menggambar sejak masih duduk di bangku SMP Bopkri 1 Yogyakarta. Setelah lulus SMA, Hasmi awalnya bercita-cita menjadi insinyur, tapi gagal tes masuk teknik Universitas Gadjah Mada. Pada 1967, Hasmi hanya bertahan kuliah dua tahun di Akademi Seni Rupa Indonesia. Ia asyik berkonsentrasi pada serial Gundala, yang mulai digemari.
Pada 1971, Hasmi kuliah lagi di Akademi Bahasa Asing jurusan bahasa Inggris. Ia lulus pada 1974. Gundala diambil dari kata gundolo sosro, yang artinya gelap dan menggelegar. "Masa itu sedang terkenal karakter Aquanus, Flash, Godam, jadi saya buat genre superhero Indonesia," ujarnya.
Tokoh komik Hasmi diangkat dari nilai lokal. Gundala Putera Petir terinspirasi tokoh Jawa, Ki Ageng Selo, yang punya kesaktian menangkap petir. Kostum Gundala dari tokoh komik Flash. Hasmi merasakan kejayaan komiknya berbanding lurus dengan kesejahteraan hidupnya. "Honor saya Rp 40 ribu seminggu, sebulan Rp 80 ribu, untuk makan mewah sehari cukup seribu perak. Saya bisa beli motor Suzuki, yang pada 1971 harganya cuma seratus ribu rupiah," katanya.
Pada 1970-an, komiknya bisa terjual 3.000-5.000 eksemplar. Pada 1969, Hasmi pernah juga "nakal", memasukkan karakter impor Batman dan Robin dari Marvel Comics, bertemu dengan Gundala di Yogyakarta. "Kalau ketahuan, berapa saya harus bayar royaltinya."
Ia juga pernah dicerca dan dikritik karena menampilkan horor, sadisme, klenik, serta kekerasan dalam kisah Dr Jaka dan Ki Wilawuk pada 1975. "Tapi Goenawan Mohamad pernah membela saya lewat tulisannya di majalah Prisma pada 1977," ujar Hasmi.
Hasmi mengakui lama-kelamaan komik Gundalanya redup. Minat beli komik Indonesia sangat minim. Ia juga mengakui, pada saat komiknya terkenal, sempat merasa arogan dan berpikir bahwa anak-anak pasti suka komik. Lalu hadir komik Jepang, yang menggusur selera dan keberadaan komik Indonesia. "Sentilan dari Tuhan buat saya," kata ayah dua anak, Sekar Dewangga dan Ainun Anggita Mukti, ini.
Pada saat komik lesu, Hasmi menulis skenario, antara lain Kelabang Sewu (disutradarai Imam Tantowi), Lorong Sesat, dan Harta Karun Rawa Jagitan, selain aktif menulis skenario acara ketoprak di TVRI Yogyakarta.
Hasmi ingin Gundala mengalami regenerasi. "Gundala yang saya buat kan gaya lama. Sekarang harus ada yang masa kini," ujarnya. Pada 1999-2009 beberapa komik Gundala diciptakan oleh penggemarnya, antara lain Gundala The Reborn karya Adurahman Saleh dan Gundala Putera Petir Bangkit dari Kematian karya Jink, Arie, dan Berny pada 2009. Hasmi juga berharap Gundala bisa meloncat lagi ke layar perak. Empat tahun lalu ada rencana membuat film Gundala, tapi sampai kini belum terlaksana.
Evieta Fadjar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo