Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANNIBAL
Pemain: Mads Mikkelsen, Hugh Dancy, Laurence Fishburne, Gina TorresProduser Eksekutif.
Kreator dan Skenario: Bryan Fuller Berdasarkan novel Red Dragon karya Thomas HarrisThomas Harris (Red Dragon, Silence of the Lambs, Hannibal, Hannibal Rising).
Serial ini dibuka oleh bunyi sirene dan muncratan darah ke segala arah di sebuah rumah. Seorang perempuan yang tewas tergeletak bermandikan darah. Seorang lelaki dihantam peluru di atas tangga rumahnya.
Kamera menyorot seorang lelaki lain berambut kusut dan berwajah kumuh semrawut. Dari sepasang mata biru-hijau yang menatap mayat-mayat yang bermandikan darah itu, kita lantas menyaksikan sebuah bayang-bayang yang tidak biasa. Dari mata biru-hijau milik seorang profiler FBI, Will Graham (Hugh Dancy), itulah kita memasuki dunianya, dunia fantasi seseorang yang jenius yang berhasil membayangkan detik-detik sebelum sang pembunuh menghajar korban.
Ini cara pandang yang tidak biasa karena, melalui Graham, kita menyelinap dan seolah-olah mencuri tubuh sang pembunuh agar mampu merekonstruksi adegan pembunuhan itu. Gelap dan keji. Tapi itu adalah "anugerah" langka. Sebuah "anugerah" yang dianggap kutukan bagi pemiliknya.
Will Graham dalam novel serial Hannibal—prekuel dari The Silence of the Lambs—adalah seorang profiler, seorang kriminolog yang melakukan studi dan membangun teori profil seorang pembunuh tak hanya berdasarkan analisis psikologi dengan meneliti tempat kejadian perkara dan hasil forensik, tapi juga berdasarkan deviasi tingkah laku sang pembunuh.
Dalam serial televisi yang ditayangkan AXN di Indonesia ini, Will Graham diminta oleh Jack Crawford (Laurence Fishburne), Kepala Divisi Ilmu Perilaku FBI, membantu membangun profil seorang pembunuh berantai.
Crawford mempertemukan Graham dengan seorang psikiater brilian, Dr Hannibal Lecter (Mads Mikkelsen). Pertemuan di kantor Crawford itu berlangsung tak mulus karena Graham merasa Lecter dengan lancang melabrak masuk ke dalam jiwa dan fantasinya.
Hannibal Lecter bukan psikiater biasa. Penolakan brutal Graham diatasi dengan kunjungan uluran damai. Dia mendadak ke rumah Graham sembari membawa dua porsi sarapan di dalam kotak plastik– orak-arik telur dan irisan daging—yang lantas saja melumerkan kejengkelan Graham. "Ini enak sekali," kata Graham memuji potongan daging yang ditumis dengan kematangan dan bumbu yang pas.
Dan hanya kita, penonton dan pembaca novel-novel Thomas Harris, yang mengetahui daging apa yang tengah disajikan Hannibal kepada Will Graham dan tamu-tamunya yang dia undang makan malam ke rumahnya. Jijik? Geli? Belum tentu. Hannibal tampil seperti seorang psikiater yang menggenggam hati kita.
Serial baru yang ditayangkan AXN setiap Selasa malam ini mengambil sebuah risiko besar sekaligus tantangan yang menggairahkan. Novel Red Dragon, yang menjadi basis serial ini, terbit pada 1981 sebagai novel pertama dari trilogi Hannibal Lecter. Adalah sutradara Michael Mann (The Insider, Collateral, The Aviator, Miami Vice) yang pertama kali mengangkatnya ke layar lebar dengan judul Manhunter (1986), yang menampilkan Brian Cox sebagai Dr Hannibal Lecter dan William Petersen sebagai Will Graham.
Tapi karakter Hannibal Lecter baru menggebrak dunia ketika film The Silence of the Lambs (Jonathan Demme, 1991) diangkat dari novel kedua Thomas Harris yang terbit pada 1988. Anthony Hopkins memerankan Lecter dengan gemilang, berpasangan dengan Jodie Foster sebagai agen FBI, Clarice Starling. Karena sukses dalam festival kompetisi—film ini meraih lima piala Academy Awards, termasuk film terbaik, aktor dan aktris terbaik—barulah novel Red Dragon diangkat kembali oleh sutradara Brett Ratner dengan judul yang sama dengan Anthony Hopkins kembali menjadi Hannibal Lecter dan Edward Norton sebagai Graham.
Inilah tantangan utama Bryan Fuller sebagai kreator serial ini. Juga menjadi tantangan Mads Mikkelsen sebagai aktor Denmark yang harus mengisi tubuh Hannibal Lecter yang sudah telanjur digenggam Anthony Hopkins.
"Saya tak khawatir karena skenario ini berbeda," kata Mikkelsen kepada Tempo dalam sebuah wawancara melalui telepon internasional. "Sebelum Anthony Hopkins, sudah ada versi Brian Cox, jadi ini persoalan interpretasi dari skenario," ujar aktor terbaik Festival Film Cannes tahun lalu itu.
Tokoh Hannibal Lecter dalam serial ini masih terlihat sebagai lelaki jenius berpenampilan necis yang gemar memasak hidangan eksotik. Dia belum mengenakan seragam narapidana seperti Anthony Hopkins. Adegan berganti-ganti setiap kali Graham menyatakan teorinya tentang kanibalisme ("Dia memakannya," kata Graham, yang lantas membuat agen FBI lainnya mual), kamera lantas berpindah pada kuali yang berisi hati manusia yang sudah diiris tipis dan simetris.
"Dia mencintai korban-korban yang dibunuhnya, dia mencintai perempuan. Tapi cara dia mencintai adalah dengan mengkonsumsinya," demikian analisis Will Graham dengan intens.
"Tantangan memerankan Hannibal adalah saya harus memanusiakan dia, seorang kanibal," kata Mads Mikkelsen—yang tahun ini memegang peran utama dalam film Denmark A Royal Affair, yang masuk sebagai nominasi film asing terbaik Academy Awards—kepada Tempo.
Kanibal yang penuh kasih itu disajikan Mikkelsen tanpa banyak bicara. Kita bertemu dengan Hannibal Lecter yang bermata biru memancar dan menusuk menembus hati lawan bicaranya. Dia berperilaku halus, penuh cinta, gairah, dan segala yang menunjukkan peradaban tinggi. Dengarkan musik klasik yang mengiringi makan malamnya; lihat pula perabotnya, piring-piringnya, lukisannya.
Karena itu, bagian terbaik dari serial ini justru bukan kasus-kasusnya, melainkan pertemuan Hannibal Lecter dengan lawannya yang sepadan: Will Graham, lelaki yang juga jenius, yang unik, yang begitu antisosial hingga dia jauh lebih mudah berkomunikasi dengan segerombolan anjing jalanan yang dipungut dan dipeliharanya daripada dengan manusia.
Hugh Dancy tampil bersinar sebagai Will Graham. Dancy menerjemahkan sosok Will Graham ke tingkat yang lebih jauh daripada yang tertera pada novel atau film-film sebelumnya. Setiap kali Dancy mengucapkan dialog Graham, ada sesuatu yang intens, serius, sekaligus pedih dalam ucapannya dan ekspresinya.
Dancy mengatakan perannya dalam film Adam sebagai orang yang memiliki sindrom Asperger membantu pemahaman tokoh Will Graham yang antisosial. "Bedanya, Graham memilih untuk antisosial. Dia hanya ingin menjelaskan kepada Crawford keengganannya untuk tidak bersosialisasi," kata Dancy melalui telepon internasional dengan Tempo.
Dancy menyadari bahwa Graham sudah pernah diperankan oleh William Petersen dan Edward Norton. Tapi, "Saya berkonsentrasi pada hal-hal yang positif dari karakter Graham," kata Dancy kepada Tempo. Dia mengaku riset yang dilakukan terutama adalah untuk menjadi profiler FBI.
Untuk beberapa episode awal, kita akan menyaksikan kasus demi kasus kriminal ekstrem yang dipecahkan Will Graham didampingi Hannibal Lecter. Inilah yang kemudian menjadi tantangan Bryan Fuller berikutnya, karena serial Hannibal dilahirkan setelah meledaknya serial televisi terkemuka, seperti Criminal Minds, yang juga menampilkan kesigapan para agen FBI profiler menjerat pembunuh berantai.
Mads Mikkelsen dan Hugh Dancy akan menjadi modal utama kelangsungan serial ini. Hubungan kedua tokoh yang semula saling membutuhkan dan berubah menjadi musuh akan menjadi plot yang menarik. "Masalahnya, lama-kelamaan Lecter yang berhasil menang merebut jiwa Graham," kata Dancy. Itulah satu titik balik yang akan menjadi episode yang dramatis.
Selasa akan menjadi malam keramat bagi pencinta kisah kriminal.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo