Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAWANG putih tak hanya diburu ibu-ibu rumah tangga. Sudah lama komoditi itu menjadi incaran penyelundup karena harganya di Indonesia tinggi, dan risiko busuknya kecil. Iming-iming keuntungan besar itulah yang mendorong para penyelundup sehingga tak jemu-jemu memasukkan bawang putih secara ilegal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya, pada awal 1980-an, petani bawang di sini menjerit karena ribuan ton hasil panenannya sulit dipasarkan. Produksi lokal itu tak mampu bersaing dengan bawang impor, yang ketika itu dibuka bebas. Akibatnya banyak petani beralih ke tanaman pertanian lain. Dengan alasan untuk melindungi produksi lokal itulah, pada Agustus 1982, Departemen Perdagangan mengeluarkan kebijaksanaan baru: menertibkan importir. Radius Prawiro (saat itu Menperdag), menunjuk tiga importir: PT Cempaka Putih, PT Sinar Laris, dan PT Sarana Hidup Sejahtera, untuk menjamin pengadaan bawang putih di dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena satu sebab, PT Sinar Laris kemudian dicabut haknya. Jadi saat ini, hanya ada dua perusahaan yang berhak mengimpor bawang putih. Sistem monopoli itu ternyata melambungkan harga bawang putih di pasaran dalam negeri. Harga bawang putih saat ini bergerak dari Rp 6.000 sampai Rp 7.000 per kilogram. Padahal, di Singapura, harga per kilogram hanya Rp 1.000. Sedang di Batam berkisar Rp 2.000.
Data di Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, secara nasional, kita bisa menghasilkan rata-rata 107.00 ton per tahun. Namun, target sebesar itu terkadang tak bisa dipenuhi, akibat gangguan hama. Sementara itu, kebutuhan konsumsi diperkirakan sudah mencapai di atas 125 ribu ton. Kekurangan itu ditutup oleh dua importir tadi.
Lambaian harga bawang putih yang terus berkibar sejak diberlakukannya sistem monopoli menarik perhatian para spekulan. Mulailah sejak saat itu, bawang putih masuk pada jajaran komoditi yang layak dijadikan sasaran penyelundupan. "Penyelundupan bawang putih itu cerita klasik, yang terjadi sepanjang tahun," komentar seorang pejabat di Direktorat Pemberantasan Penyelundupan (P2) Bea Cukai.
Sumber TEMPO itu membeberkan pada periode 1990/1991, P2 Bea Cukal berhasil menggagalkan usaha penyelundupan bawang putih sebanyak 4l kasus. Sebanyak 100 ton bawang putih disita dari mereka, dan kemudian dibakar. "Yang lolos dari petugas bisa saja lebih dari itu," kata sumber itu. Hal itu dimungkinkan mengingat demikian luasnya perairan kita, sedangkan jumlah aparat sangat terbatas.
Dikisahkan, penyelundupan biasanya bermula dari Singapura. Di negara kepulauan itu, mirip terminal, ditampung seluruh panenan bawang putih dari negara surplus di Asia, seperti Cina, Taiwan, Muangthai, dan Vietnam. Bahkan, bawang dari Argentina pun masuk ke situ. Dari Singapura, para penyelundup memasukkannya ke Batam.
Dari tempat ini, pendistribusiannya, menurut analisa pejabat P2 Bea Cukai tadi, mulai lancar. Bawang putih itu diangkut menuju pantai timur Sumatera dan, lewat rimba sungai yang berbelit, barang selundupan ini dimasukkan ke Medan, Jambi, dan Lampung. Untuk pengiriman ke Jawa, jika sudah sampai di Sumatera, tidak ada problem lagi.
Tak kalah ramainya, penyelundupan lewat darat. Para penyelundup memanfaatkan pelintas batas di Nunukan (Kalimantan Timur) dan Entekong (Kalimantan Barat). Karena yang dibawa para pelintas batas itu jumlahnya relatif kecil, umumnya tak terjadi kesulitan. Tapi inilah lihainya penyelundup. Barang cangkingan tadi kemudian ditadah para cukong yang kemudian dibawa ke Pontianak.
Dari Pontianak lalu diperdagangkan ke Surabaya, dengan label perdagangan antarpulau. Penyelundupan yang langsung ke daerah sasaran seperti yang terjadi di Malang itu, menurut sumber TEMPO, "karena di jalur klasik seputar Kepulauan Riau, mereka sudah mati kutu." Benarkah ramainya penyelundupan bawang putih akibat sistem monopoli?
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, Kumhal Djamil, membantah. "Pengaturan itu persis seperti Bulog mengatur harga kedelai. Saya kira hal ini biasa saja. Tujuannya kan untuk merangsang produksi dalam negeri dan melindungi petani," katanya. Tentang adanya hak istimewa yang hanya diberikan kepada dua importir, menurut Kumhal, " semata-mata agar Pemerintah mudah mengontrolnya." Aries M., Dwi S. Irawanto (Jakarta)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini ditulis oleh Aries M. dan Dwi S. Irawanto (Jakarta). Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Penyelundup vs Monopoli"