Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REKAMAN adalah cara Tuhan mengingatkan bahwa permainanmu menjengkelkan.” Kata-kata Bob Brozman, profesor Jurusan Studi Musik Kontemporer Universitas Macquarie, Sydney, Australia itu mudah-mudahan sekadar sebuah kelakar.
Boleh jadi, pengelola ajang tahunan Seminar Gitar Internasional di California, New York, Amerika Serikat, yang menampung ratusan gitaris berbakat dari seluruh dunia, sedang cabar hatinya terhadap banyak rekaman pegitar yang meski terasa canggih secara polifonik tapi kerap sedingin lembaran partitur. Tak muncul kegembiraan alami yang lahir dari hal kecil semisal tafsir riang dari komposisi ”remeh-temeh” yang sudah menjadi common denominator di telinga publik: lagu kanak-kanak.
Ini yang membuat Becak Fantasy: Exploring Solo Acoustic Guitar Music, album debutan Jubing Kristianto, 41 tahun, yang diluncurkan pekan lalu itu, terasa berbeda dibandingkan, umpamanya, album 1st Edition yang dirilis pada Mei silam oleh Trisum, kolaborasi tiga gitaris I Dewa Gede Budjana, Tohpati, dan I Wayan Balawan.
Dalam album Trisum, semangat untuk mengolah lagu tradisional seperti Cublak-Cublak Suweng, Keroncong Kemayoran, atau Jali-jali, lebih terdengar seperti eksaminasi kelenturan jemari (fingering) para gitaris ketimbang upaya membongkar struktur lagu-lagu itu dan merancangnya kembali dalam sebuah stile brillante yang segar—dan syukur-syukur baru dalam konteks rekaman gitar lokal.
Jubing tidak. Ia membongkar lagu kita pada masa kecil, Burung Kakatua, menjadi menakjubkan. Lagu Hai Becak yang dikarang oleh Ibu Sud dan dihafal luar kepala oleh anak-anak TK (kecuali anak-anak di daerah bebas becak seperti Jakarta) dibangunnya kembali secara megah dengan menggunakan teknik fantasia, sebuah gaya komposisi yang berbasis pada upaya memerdekakan bunyi dari belenggu aturan musik formal.
Dengan menjadikannya sebagai sebuah fantasy (Jerman: fantasie), pemegang sertifikat Grade 8 gitar dari Associated Board of Royal Schools of Music (ABRSM), London, itu mempunyai keleluasaan untuk mempertontonkan pelbagai tekstur suara gitar, namun tetap dalam bingkai sebuah sonata. Semua itu direproduksi hanya melalui enam dawai nilon yang selama ini lebih sering digunakan sebagai pengiring musik pop.
Jubing, bekas wartawan tabloid Nova, merajut melodi, harmoni (akor), titinada bas (bassline), sampai dentam perkusif dari badan gitarnya, pada 10 lagu dalam album ini. Ini teknik yang acap dipertontonkan gitaris flamenco Paco de Lucia, atau bahkan Wayan Balawan. Namun, ketika diterapkan pada sebuah lagu kanak-kanak seperti dilakukan Jubing, efeknya terasa lebih mistikal dan berkelindan sempurna dengan tema sebuah fantasia.
Simak bagaimana Jubing mengaransemen ulang Ayam den Lapeh, lagu pop Minang ciptaan A. Hamid yang dipopulerkan orkes Gumarang pimpinan Asbon Madjid pada akhir 1950-an. Dalam lagu itu alumni jurusan kriminologi Universitas Indonesia ini mengelupas warna Latin pada aransemen aslinya dan menggantinya dengan ”oplosan” dangdut dan flamenco yang lebih populis. Sedangkan pada Sinaran, lagu pop tahun 1980-an yang meledak berkat vokal energetik penyanyi negeri jiran Sheila Madjid, Jubing mengaransemennya dalam warna fusion jazz.
Bagi para pengunjung setia konser-konser gitar Jubing, terutama para peselancar dunia maya yang bisa mengunduh cuma-cuma lebih dari 30 komposisi musik dalam format MP3 yang sudah diolah Jubing khusus untuk gitar tunggal (www.geocities/jubing) berikut partiturnya, album ini tentu saja jauh lebih menyenangkan karena kualitas audionya yang optimal.
Namun, yang lebih penting, ketimbang percaya terhadap gerundelan Brozman, rupanya Jubing lebih yakin pada Ludwig van Beethoven (1770-1827). ”Beethoven selalu memuji gitar sebagai miniatur orkestra. Itu yang ingin saya buktikan lewat album ini dan saya coba populerkan di Indonesia,” katanya kepada Tempo.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo