Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Tari itu Dimainkan...

Insiden itu terjadi juga meski ribuan tentara dan polisi dikerahkan untuk menjaga Presiden Yudhoyono: 28 penari cakalele liar mendekati Presiden dan hampir saja membentangkan bendera Republik Maluku Selatan. Aparat keamanan saling tuding.

Di Los Angeles, Amerika Serikat, Presiden RMS Alexander H. Manuputty mengklaim aksi anggotanya itu telah lama direncanakan. Katanya, “Itu hak politik rakyat Maluku.”

9 Juli 2007 | 00.00 WIB

Setelah Tari itu  Dimainkan...
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DARI Los Angeles, Amerika Serikat, sesumbar itu dikumandangkan. ”Sudah saatnya Indonesia mengembalikan negara kami,” kata Alexander H. Manuputty, Presiden Republik Maluku Selatan. Empat tahun sudah ia bermukim di Amerika, setelah melarikan diri karena dituding aparat mengibarkan bendera disintegrasi.

Alex, kini 60 tahun, meminta pemerintah Indonesia membebaskan mereka yang ditahan akibat insiden cakalele. Ia pun meminta mereka yang luka diobati. Yang lain, ”Tidak perlu mereka dikejar-kejar.”

Katanya, tarian cakalele telah lama disiapkan RMS—organisasi yang diklaim Alex beranggota 1,5 juta orang. Tujuannya, ”Mengumumkan kepada dunia internasional tentang keadaan Maluku yang sebenarnya.” Alex pun mengajak pemerintah Indonesia berunding.

Insiden cakalele yang disebut Alex adalah penari liar yang berhasil mendekati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat dua pekan lalu. Ketika itu Presiden hadir di Ambon untuk menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional.

Hujan mengguyur Ambon ketika 28 penari cakalele itu datang membawa parang dan tombak kayu. ”Mau apa?” kata Kepala Satuan Brigadir Mobil Kepolisian Daerah Maluku, Komisaris Besar Rahmat Hudail, yang sedang berpatroli, kepada salah seorang dari mereka. ”Mau menari, Pak,” kata mereka. Polisi itu berlalu.

Presiden tiba pukul 09.30 waktu setempat. Ambon dijaga sangat ketat sejak pagi. Lebih dari 2.500 polisi dan tentara diturunkan, 355 orang di antaranya berjaga di sekitar Kepala Negara. Mereka yang keluar-masuk mesti menunjukkan identitas khusus, yang ditandatangani pejabat provinsi dan Komando Daerah Militer Maluku.

Rombongan ”pria penari” itu terus bergerak. Karena dianggap mengganggu lalu lintas, mereka hendak dibubarkan seorang tamtama polisi. Mereka lalu dibawa ke area parkir Lapangan Merdeka. Tapi mereka terus mencari peluang masuk ke lapangan.

Lalu kesempatan itu datang: para penari katreji, tarian penyambut Presiden, selesai beraksi. Mereka hilir-mudik di pintu lapangan. Penari tak diundang itu memanfaatkan kesempatan tersebut. ”Mereka mengikuti penari katreji melalui pintu di dekat kantor gubernur,” kata Kepala Polda Maluku, Brigadir Jenderal Guntur Gatot Setiawan.

Maka, terjadilah insiden itu. Dua puluh delapan pria melepas baju di kantor Sinode untuk menarikan cakalele di depan Presiden. Mereka melompat-lompat dan mengacungkan senjata kayu. Baru 10 menit kemudian, Presiden, para menteri, undangan, dan aparat keamanan menyadari ada yang tak beres. Tarian itu ternyata tak masuk daftar acara. Apalagi para penari mencoba membentangkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS)—kain biru, putih, hijau, merah yang kerap disebut Benang Raja.

Guntur Gatot dan anak buahnya plus Pasukan Pengamanan Presiden menggiring mereka ke luar lapangan. Detasemen Khusus 88 Antiteror kemudian menangkap para penari itu di luar lapangan. Polisi menyita bendera RMS dan selebaran berisi tuntutan penarikan TNI dan Polri dari Maluku.

l l l

TARIAN cakalele di Ambon itu membuat pejabat keamanan di Jakarta saling tuding. Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menurunkan tim investigasi ke Ambon, Senin pekan lalu. Mereka terdiri dari sekretaris kementerian Letnan Jenderal Agustadi Sasongko; Asisten Operasional Kepala Staf Umum TNI Mayor Jenderal Bambang Darmono, dan Deputi Kementerian Bidang Pertahanan Negara Brigjen R. Simbolon.

Tim investigasi, menurut Agustadi, menyimpulkan adanya koordinasi yang buruk antara bagian acara dan bagian pengamanan. Pasalnya, ”Tarian cakalele tidak ada dalam daftar acara tapi bisa masuk,” kata mantan Panglima Kodam Jaya itu. Menurut dia, aparat terkecoh karena pemimpin penari itu mengenakan tanda pengenal resmi dari panitia.

Namun kurangnya koordinasi itu agak aneh. Kunjungan Presiden ke suatu daerah—apalagi di wilayah yang dianggap rawan seperti Ambon—pasti disiapkan jauh-jauh hari. Sebelum Presiden tiba, paling tidak ada dua tim pendahulu yang dikirim untuk menyiapkan berbagai hal, terutama masalah pengamanan.

Abdullah Mahmud Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara, menuturkan tim pendahulu pertama biasanya terdiri atas sekretaris militer, kepala protokoler istana, dan komandan pasukan pengamanan presiden. ”Sekretaris militer menjadi koordinatornya,” katanya.

Tim pendahulu itu membawa skenario yang telah disusun di Jakarta. Skenario itu lalu diperbaiki berdasarkan hasil peninjauan pertama. Tim pendahulu kedua tiba beberapa hari sebelum kedatangan Presiden. Selain tim pendahulu itu, menurut Hendropriyono, petugas dari Badan Intelijen Negara juga dikirim secara terpisah.

Seorang perwira yang pernah berpengalaman mengamankan presiden menuturkan, menjelang kedatangan kepala negara, panitia menggelar gladi kotor dan gladi bersih. Dua gladi itu melibatkan semua pengisi acara dan petugas keamanan.

Di situlah mereka mengetahui detail acara demi acara, rute yang akan dilalui presiden, tempat para pengisi acara berganti pakaian, juga petugas di setiap pos penjagaan. ”Pada hari H, para petugas itu harus berada di tempat sesuai dengan saat gladi bersih,” katanya. ”Tidak boleh ada yang berpindah.”

Pada hari H, penjagaan lebih diketatkan. Semua barang yang hendak dibawa masuk lokasi acara harus diperiksa. Untuk mencegah kemungkinan buruk, anggota Komando Wanita Angkatan Darat (Kowad) atau polisi wanita (polwan) bahkan ditugasi menjaga tempat perempuan berganti pakaian.

Sebagian dari tentara menanggalkan baju seragamnya. Mereka bersalin rupa menjadi warga biasa. Ada yang disiapkan untuk ikut mengelu-elukan presiden. ”Kadang-kadang, petugas ikut merekayasa agar lalu lintas menuju lokasi acara presiden menjadi macet. Tujuannya agar gerak rombongan demonstran terhambat sehingga tidak bisa mendekati presiden,” katanya.

Persiapan semacam itu bukannya tak dilakukan saat Presiden Yudhoyono berkunjung ke Ambon. Menurut Panglima Kodam XVI/Pattimura, Mayor Jenderal Sudaimady Subandi, persiapan sudah dilakukan sejak awal Mei lalu. Bersama Kepala Polda, ia pun berkoordinasi dengan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa di Jakarta, sepekan sebelum kunjungan Presiden (lihat Parang Kayu dari Pintu yang Lain).

Dalam rapat itu, menurut Janzi Sofyan, staf khusus Kepala Badan Intelijen Negara, lembaganya memberi sinyal adanya tiga hal yang harus diwaspadai selama kunjungan Yudhoyono. ”Yaitu aksi pengibaran bendera RMS, demonstrasi pengungsi korban konflik, dan aksi aktivis lingkungan hidup,” katanya.

Presiden pun mengakui adanya peringatan dari para pembantunya beberapa hari sebelum berkunjung ke Ambon. ”Atas informasi itu, saya meminta acara ini dipersiapkan baik-baik agar jangan ada yang mengganggu,” katanya, beberapa saat setelah para penari cakalele digiring ke luar lapangan.

Dengan persiapan yang gegap-gempita itu, kemungkinan buruknya koordinasi sebenarnya bisa dikecilkan. Usman Hamid, Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), mengungkapkan kemungkinan lain: potensi kekacauan itu sudah diketahui sebelumnya tapi dibiarkan dengan maksud tertentu. Ada kabar, seorang perwira dari korps polisi militer sengaja membiarkan para penari masuk. Tapi informasi itu dibantah Letjen Agustadi. ”Jangan berburuk sangka,” katanya.

l l l

MASA jaya RMS terjadi pada pertengahan 1970-an. Di Belanda, mereka melakukan beberapa aksi. Di antaranya pada 4 Desember, ketika sejumlah anggota kelompok itu menyerbu kedutaan Indonesia di Den Haag. Seorang pegawai konsulat tewas dalam insiden itu (lihat Naik-Turun Benang Raja).

Sejak penyerangan itu, pemerintah Belanda mengizinkan kantor diplomatik Indonesia dijaga prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Padahal, lazimnya aparat lokallah yang bertanggung jawab atas keamanan misi diplomatik negara asing. ”Dulu anggota Kopassus di sini sampai 15 orang, tapi kini tinggal empat,” kata Mulya Wirana, konsuler masalah politik kedutaan RI di Belanda.

Kini aktivitas RMS di Belanda tak lagi terdengar meski di sana bermukim sekitar 45 ribu orang Maluku. Baru setelah aksi penari cakalele, mereka muncul lagi. Pada Rabu pekan lalu, sebagian dari mereka mendatangi kedutaan RI di Tobias Asserlaan, wilayah perkantoran diplomatik di Den Haag.

Para aktivis RMS itu membentangkan poster di luar pagar kantor kedutaan yang rimbun. Di antaranya bertulisan tuduhan bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Spanduk lain berbunyi: ”Kemerdekaan adalah hak asasi manusia yang paling fundamental”.

Di luar itu, simpatisan RMS di Belanda tak banyak lagi: jumlahnya bisa dihitung dengan jari, beberapa di antaranya bahkan sudah lanjut usia.

Budi Setyarso, Faisal Asegaaf, Mochtar Touwe (Ambon), Kusmayani Rini (Brussel)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus