Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERLETAK di Pulau Haruku, Maluku Tengah, Desa Aboru, pernah terkenal sebagai basis gerakan Republik Maluku Selatan (RMS). Menuju ke kampung ini, dari Ambon bagian utara pendatang mesti menumpang speedboat.
Nah, sebagian penari cakalele yang masuk ke arena upacara Hari Keluarga Nasional ke-14 di Lapangan Merdeka, Ambon, pada Jumat, 29 Juni lalu, berasal dari Aboru. “Tapi tidak semuanya warga Aboru anggota RMS,” kata Matruty, salah seorang Kepala SD Negeri di Aboru.
Cerita RMS di Maluku memiliki riwayat panjang. Awalnya adalah penolakan tentara KNIL (serdadu Hindia Belanda yang anggotanya sebagian besar adalah warga Indonesia) asal Ambon untuk bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia. Pada 25 April 1950, tokoh-tokoh KNIL seperti Christiaan Robbert Soumokil, Ir. J.A. Manusama, dan J.H. Manuhutu memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS). Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, mengangkat dirinya menjadi presiden.
Tiga bulan kemudian, pemerintah pusat mengirim utusan untuk membujuk mereka, namun gagal. Lalu dikirimlah pasukan bersenjata di bawah pimpinan Kolonel A.A. Kawilarang. Digempur selama empat bulan, RMS kocar-kacir. Soumokil lari ke gunung.
Kerajaan Belanda mengangkut sebagian anggota RMS ke Rotterdam, sedangkan pimpinan RMS masih di Maluku. Adapun Soumokil ditangkap pada 1963. Setahun kemudian dia dihukum mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa. Dia dieksekusi dua tahun kemudian. Sejak itu kepemimpinan beralih ke tangan Manusama.
Di Belanda, RMS bermarkas di gedung berlantai tiga di Bazaarstraat, pusat Kota Den Haag. Di Negeri Kincir Angin, pada 1970, mereka pernah menyerang Kedutaan Besar RI di Wassenaar dan menghancurkan rumah Duta Besar RI di kota itu.
Akhirnya Belanda sepakat dengan pemerintah RI untuk memulangkan mereka. Tapi, pada 1975 mereka membajak kereta api di Wijster dan di De Punt. RMS pernah pula menyandera anak sekolah di Bovensmilde pada 1977. Setahun kemudian, polisi Belanda berhasil sepenuhnya memadamkan aksi teror RMS.
Aktivitas RMS di Indonesia timbul tenggelam. Pada 1993, Manusama menyerahkan kepemimpinan RMS kepada F. Tutuhantunewa. Tiga tahun kemudian Manusama meninggal. Gerakan RMS pun senyap, dan baru muncul lagi setelah Alex Manuputy yang memelopori pengibaran bendera RMS (disebut juga Benang Raja) di rumahnya di kawasan Kudamati, Ambon, 25 April 2001.
Sejak itu, Alex ditabalkan sebagai pimpinan RMS yang baru. Setahun kemudian, muncul lagi pengibaran bendera RMS di Maluku. Puluhan anggota gerakan ini dibekuk dan dihukum dua sampai lima tahun penjara. Alex dibekuk pada 17 Maret 2003.
Setahun kemudian, ratusan bendera RMS terpancang lagi di Kudamati. Sejak itu pentolan RMS diangkut ke Jakarta. Belakangan Alex malah kabur ke Amerika.
Keterlibatan Alex inilah yang membuat Kudamati, selain Aboru, menjadi basis RMS. Pekan lalu, wartawan Tempo yang berkunjung ke sana menemukan petani dan nelayan yang ramah. Desa berpenduduk sekitar 8.000 jiwa ini hanya memiliki satu Sekolah Menengah Pertama dan baru tahun lalu memiliki Sekolah Menengah Atas.
Anggota Fraksi Golkar DPRD Maluku, Abdul Rahman Marasabessy, menilai RMS di Aboru muncul karena desa ini tidak terjamah pembangunan. “Hingga kini Aboru masih terisolasi, karena itu masyarakat memilih ikut RMS,” katanya. Kapolda Maluku Brigjen Guntur Gatot Setiawan mengatakan kekuatan RMS di Maluku tak besar. “Hanya segelintir orang yang menaikkan bendera untuk menarik perhatian saja,” katanya.
Dosen Sejarah Universitas Pattimura Ambon, H. Usman Thalib, melihat keberadaan RMS di Maluku seperti gunung es. “Di permukaan sedikit, tapi di bawah banyak,” katanya. Sedangkan Muhammad Nur Tawainella, tokoh masyarakat Ambon, mengatakan, RMS secara fisik sudah musnah sejak 1951. “Tapi secara ideologi, RMS tidak pernah mati.”
Nurlis E. Meuko, dan Mochtar Touwe (Ambon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo