Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia membayangkan sebuah kerusuhan mahahebat. Di stadion itu, para hooligan turun ke lapangan. Bendera telah dikibar-kibarkan, tanda victory diacungkan. Mereka tak peduli polisi-polisi antihuru-hara mengepung. Bila kesebelasan mereka kalah, kota akan hancur, stadion dibakar.
Lukisan-lukisan Nus Salomo, 41 tahun, mengingatkan kita akan suasana genting di adegan-adegan film kolosal Hollywood. Para perusuh itu telanjang dada, kontras dengan aparat, yang selain membungkus tubuhnya dari ujung rambut sampai kaki dengan rompi-rompi pelindung, mereka bertameng dan bersenjata. Para pengacau itu sama sekali tak terlihat ketakutan. Cara Nus menonjolkan dramatika, blocking, dan ekspresi dingin, ganas wajah mereka filmis, mengandaikan perhitungan angle kamera.
Pendekatan memakai unsur sinematografi itu membuat pameran bertema The Cybernaut ini mampu menculik perhatian. Nus dikenal berasal dari dunia animasi, film, dan game. Ia pernah kuliah arsitek di Institut Teknologi Bandung. Ia lulusan Arts Centre College of Design Pasadena, California. Selama 1996-2002 di Amerika Serikat ia bekerja sebagai perancang boneka di studio-studio film. Ia mendesain konsep, karakter-karakter boneka untuk keperluan model tokoh-tokoh film fiksi ilmiah, sebelum sebuah skenario diterima oleh studio besar.
Waktu pertama kali berpameran tunggal di Galeri Lontar, Jakarta—Oktober 2006—ia mendemonstrasikan ilmu yang diperolehnya itu. Ia menampilkan patung-patung bertajuk Post Human. Sosok-sosok patung itu unik, belum pernah digarap oleh pematung kita mana pun. Bentuknya mengingatkan kita pada makhluk-makhluk kloning atau alien di film-film, seperti Star Wars, Star Trek, atau komik-komik Marvel. Ia menyebut patungnya sebagai sebuah fantasi evolusi manusia di masa mendatang.
Dan kini ia menampilkan seri lukisan tentang kerusuhan. Ia tak lagi menyajikan sosok yang secara lahiriah ganjil, tapi suasana futuristik, saintifik, cyber tetap meresapinya. Melihat clash yang terjadi antara tentara dan gerombolan, imaji kita seolah dilemparkan bahwa keributan itu terjadi di suatu waktu, di masa depan.
”Saya suka sekali special effects dari film. Otomatis gambar-gambar saya ke arah seperti itu,” katanya. Menurut Nus, ia tidak mengambil citra-citra adegan film yang telah ada. Semua imaji dia karang sendiri. Seluruh lukisannya dihasilkan dari komputer. Ia menggambar di layar komputer, tidak menggunakan tetikus, tapi pen di atas tablet. Dengan demikian, cara kerjanya seperti layaknya menggambar di atas media tradisional.
Hasil gambarnya di komputer lalu dibesarkan ke kanvas. Kanvas Nus panjang-panjang sampai 300 x 100 sentimeter. Di sini Nus bergulat dengan persoalan resolusi. Untuk bisa mendapatkan resolusi sebesar itu, ia mendapat kesulitan luar biasa. Sebab, umumnya komputer digunakan untuk mencetak dengan kertas seukuran A4. Sementara itu, besar bidang kanvasnya hampir 100 kali lipat A4.
Untuk itu, ia membutuhkan komputer dengan spesifikasi khusus yang jauh di atas kemampuan komputer rata-rata. ”Saya rakit sendiri komputer saya, sehingga prosesor Core2 duo saya memiliki kecepatan 3 gigaherz, ram 4 giga, dan kapasitas hard disk 650 giga.” Dengan spesifikasi seperti itu, baru ketajaman resolusi sebesar 300 dpi (piksel per inci) yang dibutuhkan untuk kanvas seukuran di atas, menurut dia, bisa dicapai. Tapi itu pun tetap dengan tahap-tahap. Mula-mula di komputer ia menggambar dengan resolusi 70 dpi, lalu dinaikkan ke 150 dpi, baru ditingkatkan ke 300 dpi. Sampai 300 dpi, jalan komputer, kata dia, sudah lelet. ”Untuk menarik garis sangat lambat, garis baru muncul setelah lima menit.”
Setelah dialihkan ke kanvas, ia kadang menambah lagi pewarnaannya dengan cat. Tapi itu bergantung pada kebutuhan: dilakukan bila terasa ada yang kurang. Sebab, ada efek-efek yang tidak bisa dikejar di komputer, misalnya teknik sapuan. Juga antara layar monitor dan kanvas pasti terjadi perbedaan detail. ”Untuk melihat detail di komputer, saya sampai zoom in, zoom out ratusan kali, tapi itu tetap berbeda bila kita tampilkan di atas kanvas.”
Nus membutuhkan kanvas berukuran panjang agaknya demi menghidupkan aspek ketegangan. Lihatlah Fight for Your Life. Sebuah demo terjadi di hanggar pesawat. Konflik antara aparat dan demonstran di mulut hanggar telah mencapai tensi yang tinggi. Para demonstran merangsek menuju Boeing. Mereka menendang barikade pasukan truk patroli dengan sirene meraung lalu-lalang. Sementara itu, mobil-mobil palang merah siap sedia.
Nus lumayan mendetail menggambarkan situasi dramatik itu. Blocking-nya enak dilihat. Itu tak mengherankan, karena ia juga pernah bekerja di sebuah perusahaan pembuat game. ”Tugas saya adalah mencipta karakter setting—kota tempat terjadi adegan tembak-menembak.” Di perusahaan itu, ia ingat selalu diwajibkan bermain game perang-perangan. Sampai kini, kebiasaan tersebut tak ditinggalkan. Ia bersama teman-temannya rutin bermain Game Hallo: game pertempuran yang bisa dimainkan 16 orang.
Sesungguhnya, menurut Nus, semua yang dihidangkannya terinspirasi oleh kerusuhan di Jakarta. Dari rumahnya di bilangan Bintaro, untuk menuju ke tengah kota, ia tiap hari melewati Stadion Lebak Bulus. Ia tercekam, ketika kaca belakang mobil seorang temannya pernah dipecahkan oleh ”hooligan lokal” di situ. ”Biasanya ia membawa bayinya di jok belakang, untung saat itu tidak,” katanya. Maka salah satu judul lukisannya: Jak Hooligans. Gambar kerusuhan di hanggar itu ilhamnya juga berasal dari demo di Bandung. Lihatlah samar-samar ada huruf-huruf besar tertera di pintu hanggar: ”Dirgantara Indonesia”.
Tapi karya-karyanya tersebut tak bisa melayangkan kita ke suasana Indonesia, lantaran wajah, proporsi tubuh, baik demonstran maupun polisi, cenderung bule. Pada titik ini, kita juga melihat, dalam hal anatomi, Nus kurang luwes. Ia agak kaku menggambar tubuh. Terasa pundak-pundak atau punggung manusianya tak menggeliat. Lihat Escape from The City. Ini memperlihatkan para hooligan tunggang-langgang. Pada gambar ini memang terasa ada unsur kecepatan, karena Nus menampilkan juga di samping mereka kereta melaju. Tapi, dari diri mereka sendiri, geraknya lebih mirip peragaan sebuah tablo.
Mungkin itu disengaja, karena dalam bayangan Nus, bisa jadi hooligan itu bukan benar-benar manusia, tapi makhluk setengah mesin. Sebab, lihatlah sosok seorang hooligan di Fight for Stadium Light. Seorang lelaki berteriak di bawah cahaya lampu sorot stadion. Tangan kirinya digambarkan sangat besar—tidak proporsional. Adapun wajahnya agak mengesankan raut-raut purbawi.
Selain mengambil tema kerusuhan, Nus menyodorkan tema Post Apocalypse. Ini betul-betul dunia Nus. Kita tahu, banyak film Hollywood berbicara tentang kehancuran bumi. Ini sebuah gagasan sangat tua yang berasal dari kitab suci, mitologi yang terus membayangi benak kita. Dan oleh industri sinema diformulasikan terus-menerus dengan konteks entah perang nuklir, entah epidemi kuman, pemanasan global, atau serangan alien.
Lihatlah The Day After. Gedung-gedung tinggi terlihat boyak ditinggalkan oleh penghuninya. Sebuah kota kosong. Awan hitam bergulungan di atasnya. Melihat lukisan ini, segera pikiran teringat akan situasi kota pada film, misalnya The Day After Tomorrow karya Roland Emerich atau suasana New York yang melompong ketika terkena wabah pada film I am Legend yang dibintangi penyanyi hip-hop Will Smith.
Atau simak seri Rescue Me yang menampilkan anggota tim penyelamat mencari sisa-sisa manusia di antara reruntuhan gedung yang terbakar dan hancur. ”Saya tertarik pada fantasi suatu bencana besar yang bisa memusnahkan peradaban,” ujar Nus. Imaji–imaji Nus adalah imaji yang sering diproduksi industri sinema. Tapi, ketika ia menorehkan di atas kanvas, hasilnya cukup menarik.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo