Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia meninggalkan Bali pada 1957. Umurnya 49 tahun. Saat itu ia dihadapkan pada pilihan sulit. Setiap warga asing yang tinggal di Indonesia harus memilih apakah menjadi warga negara Indonesia atau keluar dari negeri ini. Sahabat-sahabatnya sesama pelukis asing di Bali, Antonio Blanco dan Arie Smit, memilih opsi pertama. Ia enggan menanggalkan identitasnya sebagai seorang warga Swiss. Itulah ”tragedi” hidup Theo Meier.
Sampai akhir hayatnya, Meier memang sulit berpisah dengan Bali. Pada 1957 itu, dari Bali ia menuju ke Thailand. Namun, di Thailand ia tetap tak bisa melepaskan Bali. Lukisan terakhirnya bertahun 1981 di Bangkok menampilkan pose seorang gadis Thailand menghaturkan sesaji berhiaskan janur kuning ala ritual adat Bali. Meier kemudian sakit keras dan meninggal dunia pada 19 Juni 1982 di usia 74 tahun.
Kini, setelah 100 tahun kelahirannya, Meier kembali dikenang. Sebuah pameran khusus digelar di Museum Pasifika, Nusa Dua, 22 Maret-27 April mendatang. ”Seandainya tak ada masalah politik saat itu, Meier akan tinggal di Bali sampai akhir hayatnya,” sebut Georges Breguet, kurator pameran. Pameran itu menggelar karya-karya Meier sejak ia masih di Swiss dan Prancis pada 1930-an hingga semasa di Tahiti, Bali, dan Thailand. Museum juga meresmikan ruang pameran permanen Theo Meier, Tropical Wanderings: Tahiti, Bali, Thailand.
Melalui pameran itu, kita dapat melihat karya-karya awal Meier belum menunjukkan keistimewaan apa pun. Ia lebih banyak melukis potret (wajah) untuk membiayai kuliahnya. Meier lahir pada 31 Maret 1908 di Basel dari keluarga pas-pasan. Ia menempuh studi di Fine Art Academy Basel dan berlanjut di Berlin Fine Art Academy serta Dresden Fine Art School.
Ketika sekolah di Jerman itu, dia menguasai gaya German Expressionism, yang memandang bentuk tidak mesti dilukis seperti realitasnya. Tekanannya hanya pada garis yang memiliki asosiasi tertentu. Menurut pengamat seni Jean Couteau, Meier juga dipengaruhi oleh aliran Fauvisme yang sangat liar menggunakan warna sebagai medium ekspresi dari kesan yang ditangkap pelukis atas suatu obyek.
Saat itu Meier juga mulai berkenalan dengan Paul Gauguin, seorang pelukis asal Prancis yang tinggal di Tahiti. Terpikat oleh pesona Gauguin, Meier pun berniat pindah ke Tahiti. Untuk itu, dia meminjam uang kepada teman-temannya. Selama dua tahun ia tinggal di Tahiti, pengaruh Gauguin terlihat pada cara membuat lanskap serta warna-warna alam dengan suasana tropisnya.
Ketika itu dia belum mengenal Bali, meski beberapa kali bepergian ke Filipina, Hong Kong, dan Singapura. Baru setelah ke Singapura pada 1935, ia mendapat saran harus ke Bali. Begitu tiba di Bali, dia langsung merasa jatuh cinta. Kondisi alam Bali memang mirip Tahiti tapi, menurut Couteau, sebagai surga tropis, Bali terasa masih asli. Saat itu Tahiti mulai dirasuki oleh budaya Prancis yang menjajahnya. Sebagian penduduk beralih menjadi Kristen. Adapun Bali masih memiliki tradisi aslinya.
Meier memulai hidupnya di Bali dengan tinggal di Sanur. Teman dekatnya adalah seniman asal Jerman, Walter Spies, yang saat itu sudah akrab dengan kalangan bangsawan di Puri Ubud. Karena kedekatan dengan Spies, ketika Perang Dunia II pecah, Jepang masuk dan Spies harus melarikan diri ke Sumatera (dan tewas—karena kapal yang ditumpanginya ditorpedo kapal Jepang), Meier-lah yang mendapat warisan untuk menempati pondok yang dibangun Spies di Iseh, Karangasem.
Sekitar 13 tahun, ia tinggal di Iseh. Dia begitu terpesona oleh lanskap daerah ini dengan latar belakang Gunung Agung. Ia sering melukis pemandangan dari jendela kamarnya dengan paduan warna yang berbeda-beda. Di Bali, menurut Breguet, Meier memapankan gayanya dan melepaskan pengaruh Paul Gauguin. Hal itu tampak dalam keberaniannya memadukan warna cerah, seperti oranye dan kuning, dengan warna-warna yang cenderung gelap. ”Dia jauh lebih bebas dan meledak-ledak mengungkapkan kesannya,” ujar Couteau.
Suatu kali Meier penah berkata Bali menyediakan warna-warna natural yang sangat unik. Ini yang membedakannya dengan pelukis Belanda, Rudolf Bonnet. Sebab, Bonnet sebagai pelukis akademik seolah-olah menganggap orang Bali tak bisa melukis dan harus belajar kepadanya. Adapun Meier merasa lukisan asli Bali pada saat itu adalah sesuatu yang sah. Lihatlah lukisan Wayang Kulit yang menampilkan seluruh bidang kanvas dipenuhi lukisan. Betapa mirip gaya Batuan. ”Itu sebabnya, dia tak punya murid,” kata Breguet.
Selain itu, sejak masih tinggal di Sanur, Meier kerap mengirimkan barang-barang ke Museum Basel di Swiss. Karena itu, sampai sekarang museum tersebut merupakan museum di Eropa yang paling kaya akan benda-benda asal Bali. ”Lebih dari 20 ribu benda mayoritas dikirim Meier,” ucap Breguet.
Meier memperoleh inspirasi dari peristiwa sehari-hari. Pergaulannya dengan warga pribumi akrab. ”Penduduk lokal malah sampai memanggilnya sebagai Tuan Dokter,” kata Breguet. Itu karena Meier sering memberi mereka obat-obatan yang diperolehnya dari pengiriman obat gratis dari Basel. Dalam sebuah lukisan karya sahabatnya, Ida Bagus Nyoman Rai, tampak dia digambarkan sedang menyuntik seorang wanita di pantatnya.
Keakrabannya dengan penduduk itulah yang membedakannya dengan Le Majeur. Di Sanur, Le Majeur hidup di sebuah rumah besar yang tertutup dari pergaulan. Yang berkunjung ke rumahnya adalah turis-turis bule untuk melihat atau membeli lukisannya. Lukisan-lukisan Majeur, menurut Breguet, bukanlah tentang kehidupan nyata orang Bali. Tapi dia menggunakan istrinya, Ni Polok, sebagai model untuk memeragakan pose-pose, seperti orang Bali menari, menenun. Di antara keduanya, kata Breguet, terjadi permusuhan diam-diam. Sebab, sering kali ada turis yang ingin datang ke rumah Le Majeur tapi tersesat ke rumah Meier dan Meier kemudian berhasil menjual lukisannya kepada orang itu.
Di kalangan orang Barat, pada saat itu, Meier bukanlah orang yang disukai. Itu karena dia ”memetik” gadis-gadis lokal. Juga karena hobinya mabuk-mabukan. Dari kalangan pribumi, ada bangsawan yang dekat dengannya, ada pula yang sangat membencinya, seperti Raja Gianyar (almarhum) yang sempat menjadi Perdana Menteri A.A. Gde Agung. Suatu kali, sang Raja menulis ketidaksukaannya kepada Meier karena dianggap suka mencari gadis di kampung-kampung.
Dibanding Spies, Meier memiliki perbedaan yang mendasar. Spies adalah homoseksual, sedangkan Meier pemuja kecantikan perempuan. Meier bahkan menikahi dua wanita Bali, Made Mulugan pada 1938, kemudian I Made Pegi pada 1942. ”Pegi awalnya adalah pembantu rumah tangga yang kemudian menjadi modelnya,” Breguet menjelaskan. Dalam melukis wanita Bali, Meier tanpa ragu mengeksplorasi sisi erotisnya. ”Dia memang ugal-ugalan,” ucap Couteau. Tapi lukisannya mengenai wanita Bali yang telanjang menjadi promosi pariwisata yang sangat ampuh bagi Bali di masa itu.
Tak mengherankan bila pada 1950-an Meier mulai dekat dengan Soekarno. Presiden pertama RI itu bahkan membeli 15 lukisannya yang kini ditempatkan di Istana Bogor. Saat Soekarno ke Swiss pada 1956, mereka bertemu dan Meier memberikan hadiah sebuah lukisan berjudul Penari Rejang.
Sayangnya, karena kebijakan proklamator itu pula, dia harus keluar dari Bali dan mengungsi ke Bangkok. Ia ditampung di Hua Hin, sebuah tempat milik Prince Sanidh Rangsit. Sejak itu ia bolak-balik ke Bali. Ia sempat memperbaiki rumahnya di Iseh. Pande Suteja Neka ingat pada 1977 ia pernah diundang Meier ke rumahnya di Iseh, makan, lalu minum arak. Tiba-tiba setelah bersantap, secara spontan Meier menjadikannya sebagai obyek lukisan. ”Bagi dia, Bali adalah surga terakhir,” ujar Pande.
Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo