Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELAH tiga puluh tahun menjadi salah satu band rock terbesar di dunia, U2 belum kehilangan sentuhan emasnya yang telah menghasilkan seratus juta lebih kopi rekaman. Kuartet asal Irlandia ini, dalam sembilan tahun terakhir, malah berturut-turut mencetak album yang selalu mendarat di posisi teratas daftar album paling laku di dunia. Hasil kreasi mutakhir mereka, yang dirilis akhir bulan lalu dan langsung nomor satu di Inggris dan Amerika Serikat, No Line on the Horizon, malah merupakan karya yang boleh dibilang berani dan sangat spekulatif.
Dalam album ke-12 yang direkam di Maroko, Dublin, New York, dan London itu mereka tampaknya berusaha keluar dari jalur ”U2 mazhab lama” secara musikal. Yang disebut ini adalah istilah untuk identitas yang melekat pada album-album mereka yang napas materinya setarikan dengan The Joshua Tree (1987), karya mereka yang masuk daftar 500 album terbaik sepanjang masa versi majalah Rolling Stone.
Semangat arah baru itu terasa benar begitu lagu pembuka yang sejudul dengan albumnya terdengar: menderu bagaikan roket yang sedang bertolak meninggalkan bumi. Di sini, berlatar pusaran bebunyian synthesizer, irama yang menggelinding kencang, dan denting gitar The Edge yang bergema di bagian chorus, Bono, sang vokalis, menyanyi dengan suara melengking, kadang-kadang falsetto; dia bicara tentang gadis misterius yang tak kenal kompromi. ”She said, ’Time is irrelevant, it’s not linear’,” suaranya seolah melolong.
Niat untuk bereksperimen—walau akhirnya terbukti hasilnya tak seekstrem yang sempat dibayangkan—diumumkan pada akhir 2006. Dalam wawancara dengan satu radio, Bono menyatakan bahwa U2 ”akan terus menjadi sebuah band, tapi mungkin rock-nya harus mengalah; mungkin rock-nya mesti lebih keras”. ”Tapi apa pun itu,” katanya, ”musiknya tak akan diam di tempat.”
Tak ingin diam di tempat: mereka menghentikan proses rekaman di bawah arahan produser Rick Rubin, yang meminta mereka untuk ”back to basics”, dan memilih kembali berkolaborasi dengan Brian Eno dan Daniel Lanois (yang dibantu Steve Lillywhite). Dengan pasangan Eno-Lanois, selain The Joshua Tree, mereka sudah menghasilkan The Unforgettable Fire (1984), Achtung Baby (1991), dan All That You Can’t Leave Behind (2000). Di album How to Dismantle an Atomic Bomb (2004), mereka hanya ikut membantu sebagian.
Sebetulnya U2, yang didirikan di Dublin pada 25 September 1976, pernah melakukan hal serupa. Pertama kali dengan The Unforgettable Fire, yang menghasilkan hit akbar Pride (In the Name of Love), lalu berturut-turut Achtung Baby, Zooropa (1993), dan Pop (1997). Tapi yang dianggap berhasil hanyalah The Unforgettable Fire dan Achtung Baby. Setelah Zooropa dan Pop yang kikuk, mereka kembali ke ”U2 mazhab lama” pada All That You Can’t Leave Behind dan How to Dismantle an Atomic Bomb. Dua album sarat tema sosial dan politik ini terjual lebih dari 20 juta kopi dan menghasilkan 15 Grammy.
Namun, jika eksperimen diibaratkan sebagai trekking yang penuh petualangan, No Line on the Horizon adalah petualangan yang tak sampai membuat U2 tersesat: mereka tetap sanggup mengenali jalan untuk pulang. Coba simak bebunyian gitar yang distortif, bas yang berat, kibor yang renyah, juga loop. Semuanya ada pada Zooropa dan Pop. Tapi mereka tak berhenti hanya di situ. Mereka menyisipkan, misalnya, Stand Up Comedy, dengan motif gitar yang mengingatkan orang pada Come Together milik The Beatles dan Heartbreaker milik Led Zeppelin. Atau, Get On Your Boots yang sebetulnya memanfaatkan apa yang ditinggalkan oleh Vertigo (dari How to Dismantle an Atomic Bomb), hanya dengan tikungan yang membuatnya tetap terasa hidup di wilayahnya sendiri.
Atau, coba simak Breathe. Lagu mengentak nan galak berisi ajakan optimistis tentang bagaimana menghadapi dunia dengan tangan terbuka, sekalipun banyak masalah dan kekacauan, ini pantas menjadi nomor klasik.
Di luar itu, mereka toh tak melupakan penggemar yang masih nyaman dengan ”U2 mazhab lama”. Penggemar kategori yang didominasi gitar dengan efek gema dan delay yang ritmis, melodi yang kuat, dan vokal yang ekspresif ini dijamin bakal seketika klop dengan Magnificent yang megah dan Moment of Surrender yang bernapaskan gospel.
Melalui album barunya, harus diakui, Bono, The Edge, Adam Clayton, dan Larry Mullen Jr. tidak menawarkan gelombang baru revolusi musik. Tapi sulit dibantah bahwa mereka telah mempersembahkan lanjutan yang pas dan sangat memuaskan bagi usaha terus-menerus mereka untuk menjadi semakin baik. Album ini lebih merupakan ikhtiar menggali lebih dalam, dengan menambahkan nuansa dan barangkali merumuskan kembali apa yang sudah mereka capai sejauh ini, ketimbang heroisme menciptakan hal baru.
Purwanto Setiadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo