Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMPERINGATI Hari Kemerdekaan tahun 2006, 13 tahun sebelum kepergian Dwi Koendoro- Brotoatmodjo pada dinihari 22 Agustus lalu, peran terkecil di antara tokoh-tokoh baris-komik Panji Koming, seorang gadis cilik berkata, “Maldika.” Sampai dua kali ia menirukan orang-orang dewasa yang berucap, “Mardhika”, hanya untuk kemudian bertanya, “Maldika itu apa sih?” Sudah mengucapkannya salah, mengerti maknanya pun tidak.
Terhimpun ke dalam buku kartun Kala Bendhu (Zaman Resah), tidak terlalu keliru jika pembaca kemudian tercerahkan, “Ternyata kami belum juga memahami arti kemerdekaan.” Buktinya? Gadis cilik itu berdiri di bekas hutan gundul, yang hanya menyisakan tunggul-tunggul pohon. Begitulah caranya orang-orang Majapahit memaknai kemerdekaan, tiada lebih dan tiada kurang memperkaya diri sendiri, tanpa harus peduli akibatnya sama sekali.
Tentu saja, ketika baris-komik Panji Koming mulai muncul dalam harian Kompas edisi Minggu sejak 14 Oktober 1979, yang disebut Majapahit itu maksudnya tidak lain adalah Republik Indonesia. Hanya pembaca yang terlatih membaca kode-kode kartun, dalam situasi khusus masa Orde Baru, akan cepat menangkap tajamnya kritik Dwi Koen--kependekan namanya yang tenar itu. Dengan latar seperti Majapahit, Dwi Koen menjadi lebih “aman” mengganyang pejabat tinggi dan, melalui “perwakilan rakyat” seperti Panji Koming, Pailul, dan Ni Woro Ciblon, ia memberi khalayak pembacanya corong suara.
Jika menengok judul berbagai kajian ilmiah tentang kartun Dwi Koen yang serba serius, banyak orang kaget mendengar pengakuan betapa membuat kartun baginya, “Hanya kerja sambilan.” Ini diungkapkannya ketika saya wawancarai pada 2007. Memang, menggambar kartun bukanlah tujuan utama Dwi Koen. Obsesinya adalah film. Meski pendidikan formalnya dalam bidang ilustrasi grafis di Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI (1963-1964), yang kemudian terlebur ke dalam Institut Seni Indonesia, sebetulnya film animasi yang hendak dibuatnya. Apa daya yang tersedia di Tanah Air masa itu hanyalah “pelajaran menggambar”.
Betapapun, pemuda kelahiran Banjar, Jawa Barat, pada 1941 itu mendapat peluangnya. Dalam masa kacau transisi pra-Orde Baru ke Orde Baru, Televisi Eksperimen Surabaya memintanya bergabung dalam proyek yang melibatkan TVRI, ALRI, dan Institut Teknologi Surabaya. Inilah masa ketika Dwi Koen menyerap segenap teknik dan bahasa audio visual. Perhatikan kisahnya, “Film animasi saya perhatikan gambarnya per frame dari seluloid, untuk mempelajari cara menggambarnya.” Memang otodidaktik, tapi melampaui pembelajaran akademis karena gairah menyala yang diletikkan film-film Walt Disney kegemarannya.
Tak cukup animasi, film dokumenter diarunginya pula, dengan ganjaran penghargaan Citra dalam Festival Film Indonesia 1981 melalui Sepercik Kenangan, Segelombang Teladan, film tentang pendiri Kompas-Gramedia, P.K. Ojong. Ya, Dwi Koen pernah bergabung dengan kelompok itu, antara lain di Gramedia Film, mulai 1976 sampai 1984, sebelum mendirikan perusahaannya sendiri, PT Citra Audivistama. Dari Ojong pula didapatnya prinsip, “Untuk bekerja, termasuk kerja seni, tidak perlu menunggu mood.” Itulah kiranya yang membuat “kerja sambilan” kartun Panji Koming tiada pernah putus sampai akhir hayatnya.
Memang pernah terjadi kegemparan ketika para pembaca memprotes setelah dua kali Panji Koming absen karena Dwi Koen terlalu asyik dengan proyek film. Akibatnya, ia segera dikontrak seumur hidup, bahwa Panji Koming mesti tampil setiap hari Minggu tanpa putus. Apa yang semula bagi Kompas pun seperti iseng, bahwa ada manajer produksi film “kebetulan” bisa menggambar, kini menjadi sungguhan. Ketika tiba saat kerja film memberinya stroke, dia diminta sang dokter berhenti berproduksi, yang menurut Dwi Koen sambil berbisik dan tersenyum, “Dokternya ingin lihat Panji Koming jalan terus.”
Dengan kepergian Dwi Koen, tentu Panji Koming masih mungkin melanjutkan tugasnya. Namun media massa cetak kini sudah bukan lagi primadona media, dan juga berdampak pada kartun, yang biasanya pertama kali dicari pembaca. Selain wacana kritis terkontaminasi derasnya makian, teknologi komunikasi sedikit-banyak mengubah cara berdialog dan bersosialisasi. Betapapun, selama jurnalisme berkualitas masih dibutuhkan, selama itu pula kartun yang kritis seperti Panji Koming akan mendapat peluang.
SENO GUMIRA AJIDARMA, WARTAWAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo