Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ibarat kakek kehilangan tongkat

Pengarang : b.m. diah jakarta : pustaka merdeka, 1987 resensi oleh: nazaruddin sjamsuddin.

2 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELURUSKAN SEJARAH Oleh: B.M. Diah Penerbit: Pustaka Merdeka, Jakarta, 1987, 268 halaman WARTAWAN kawakan dan tokoh pers Indonesia, B.M. Diah, akhir 1987 lalu menerbitkan sebuah buku dengan judul Meluruskan Sejarah. Buku ini merupakan kumpulan dari beberapa tulisannya yang pernah diterbitkan surat kabar Merdeka yang dipimpinnya itu dalam tiga dekade terakhir. Tiga bab pertama terfokus pada Bung Karno, sedangkan bab keempat mengenai polemik Merdeka dengan Harian Rakat, trompet PKI. Sejalan dengan judul buku, dalam bab pertama Diah berbicara tentang bagaimana seharusnya buku sejarah nasional Indonesia ditulis. Dia mengkritik habis-habisan para penulis buku Sejarah Nasional Indonesia jilid VI yang dianggapnya telah memperlakukan Sukarno secara tidak adil. Dalam bab kedua, Diah berbicara tentang masa awal revolusi dan bulan-bulan sebelumnya. Dalam bab ini ia berusaha menempatkan peranan Bung Karno dan pemuda pada masa itu. Dengan judul 'Mengenang Seorang Pembina Bangsa', bab ketiga berbicara tentang jasa dan peranan Sukarno sebagai -seorang pemimpin bangsa, yang pantas dianggap sebagai Bapak Kemerdekaan. Dalam bab ini Diah mengecam bangsa ini sebagai tidak memberikan apa yang telah menjadi "hak" Bung Karno. Bab keempat diisi dengan polemik antara Diah dan Harian Rakjat. Diah, tentu saja, memiliki alasan mengapa tulisan-tulisannya itu diterbitkan kembali sekarang ini dalam bentuk buku, lagi pula dengan judul yang begitu merangsang. Alasannya pasti bukan sekadar untuk ikut menggenapkan perayaan ulang tahunnya yang ke-70. Dengan bukunya itu tampaknya ia benar-benar ingin mengulangi tekadnya untuk meluruskan sejarah, terutama seputar Bung Karno. Tetapi justru itulah salah satu kelemahan kumpulan karangan ini. Ketiga bab yang berbicara tentang Bung Karno itu, baik secara langsung.maupun tidak, hanya meliputi sepertiga dari keseluruhan isi buku. Halaman-halaman selanjutnya adalah satu bab yang "melulu" tentang polemik, dan merupakan cetak ulang dari sebuah buku yang diterbitkan 23 tahun yang lalu. Ini tak dapat menghindarkan kesan bahwa judul buku itu sangat dipaksakan. Betapa tidak. Judul yang menantang dari buku itu memang dapat memantulkan gugatan Diah, terlepas dari benar-tidaknya bahwa para sejarawan telah menghukum Bung Karno. Akan tetapi, dapat dipertanyakan, adakah sesuatu yang ingin diluruskan Diah tentang polemiknya dengan koran PKI itu. Tentu saja wartawan senior ini sudah siap dengan jawaban yang positif, yaitu "untuk meluruskan seiarah agar diketahui oleh generasi yang akan datang, bahwa biarpun PKI sudah jaya dan kuat sekali. . ., masih ada kekuatan yang menghadangnya...." (hlm. XXVii). Inilah salah satu aspek yang tidak jelas dari buku ini. Sejauh yang dapat kita baca, memang tidak terlihat relevansi antara tema buku dan bab keempat itu, sehingga terasa sedikit berlebihan. Pada hemat saya, kaitannya akan jelas terlihat bila buku ini diberi judul sejenis 'Sukarno dan PKI di Mata B.M. Diah'. Dalam pandangan Diah, Sukarno adalah 'satu-satunya orang besar Indonesia yang menjulang tinggi di angkasa'. Di samping itu, ia adalah Bapak Kemerdekaan, Pemimpin dan Pembina Bangsa yang setaraf dengan George Washington, Gandhi, Sun Yat Sen dan lain-lain tokoh dunia. Pokoknya, "Ia benar-benar seorang yang luar biasa, seorang besar," tulis Diah (hlm. 59). Di antara pujian yang melangit itu, B.M. Diah tidak pula segan mengkritik Sukarno secara cukup tajam, padahal Bung Karno tidak suka dikritik. Sumber kritik itu tentu saja kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh manusia Sukarno. Menurut Diah, Bung Karno "terjebak dalam kelemahan kelemahan yang ada pada setiap manusia, berkuasa atau tidak" (hlm. 87). Umpamanya, karena ia bukan seorang organisator, kendati ia adalah seorang negarawan besar, mudah saja ia tertipu oleh Subandrio dan PKI (hlm. 73-74). Pembaca yang kritis sudah pasti tidak akan begitu saja menelan cerita Diah. Keadaan ini dipersulit sendiri oleh Diah yang menampilkan banyak keganjilan atau hal-hal yang tak logis dalam bukunya. Dalam banyak hal Bung Karno digambarkan sebagai figur politik yang hebat dan cemerlang, sehingga dikagumi oleh lawan dan kawan, baik di dalam maupun luar negeri. Adakalanya pula, gambaran Bung Karno tampak seperti seorang politikus yang masih mentah. Salah satu ilustrasi yang diberikan Diah untuk hal yang terakhir inl ialah bahwa Bung Karno "tahu benar, ada sesuatu gerakan yang terjadi di dalam masyarakat. Tetapi ia tidak tahu gerakan itu sehat atau tidak" (hlm. 62). Saya khawatir bahwa setelah membaca buku ini, pembaca belum dapat meluruskan sejarah Bung Karno, sebagaimana yang dikehendaki oleh B.M. Diah. Bukannya buku ini sama sekali tak menampilkan data yang benar, melainkan karena analisanya mengarah pada pembelaan yang cukup emosional. Memang Diah sadar bahwa "Manusia yang besar tidak memerlukan pembelaan apa pun juga" (hlm. 27), tetapi pembelaan itulah yang justru diperbuatnya. Oleh sebab itu, tidak perlu diherankan bahwa munculnya Sukarno sebagai seorang diktator disalahkan Diah kepada keadaan ketika "semua orang kurang berani menyatakan pendapat yang lain daripada apa yang dikehendaki Bung Karno" (hlm. 79). Diah tampaknya enutup mata terhadap kemungkinan yang sebaliknya, yaitu bahwa kediktatoran dapat mencegah orang mengeluarkan pendapat yang berbeda. Dengan demikian, dapatlah dipahami mengapa, ketika Bung Karno wafat, Diah menganjurkan kepada generasi muda, "Janganlah mehhat yang buruk danpadanya, ambillah yang indah. . ." (hlm. 67). Anjuran ini menimbulkan beberapa pertanyaan di benak saya: Apakah dengan pendirian seperti ini kita akan mampu meluruskan sejarah? Dengan sikap seperti itu, bukankah kita akan menjadi suatu bangsa yang ibarat seorang kakek akan kehilangan tongkat berkali-kali? Bukankah sejarah merupakan gambaran pengalaman bangsa, tempat para pemimpin dan rakyat becermin diri? Nazaruddin Sjamsuddin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus