SUKARNO DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN Oleh: Bernhard Dahm Penerjemah: Hasan Basari Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1987, 450 halaman. PIDATO-pidato antiimperialismenya yang agresif dalam rangka pembebasan Irian Barat dan mengganyang Malaysia membuat ia dianggap sebagai pengacau perdamaian. Bahkan dijuluki Hitler dari Asia. Di pihak lain, kebanyakan rakyat Indonesia melihat dirinya sebagai pemimpin yang telah membawa kemerdekaan, yang telah mempersatukan negara, dan yang paling mampu mengekspresikan cita-cita mereka bagi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah Bung Karno tersinggung dengan sebutan "Hitler dari Asia"? Tidak. Ketika pers Barat menyindirnya sebagai "blasteran Hitler dengan Clark Gable" akibat oratorinya yang menggeledek dan romantiknya dengan kaum wanita, Bung Karno malah berterima kasih. Dan ketika pers Barat menyindirnya sebagai pria genit yang selalu melirik wanita cantik dengan sudut matanya, Bung Karno menganggap itu fitnah. Sukarno tidak pernah melirik dengan sudut mata jika melihat wanita cantik. Sukarno selalu melotot. Bernard Dahm menyelesaikan bukunya tahun 1964, sebagai disertasi gelar doktor pada Universitas Kiel, Jerman Barat. Berarti, Dahm tidak memasukkan bagian-bagian penting dari saat-saat akhir pemimpin itu. Padahal, di sanalah justru merupakan ukuran seberapa jauh konsistensi seseorang terhadap keyakinan politik yang dipeluknya sejak dini. Ternyata, Bung Karno tidak berubah sedikit pun dari apa yang jadi pegangannya sejak tahun 1927-an: Sintesa antara Nasionalisme, Marxisme, dan Islam. Pikiran Barat menganggap ketiga aliran itu merupakan posisi-posisi fundamental yang tidak bisa disesuaikan, tapi tidaklah begitu halnya bagi Bung Karno. Dahm melihatnya dari sudut manusia Jawa yang suka berpaling pada sintesa untuk memperoleh penyelesalan dan pemecahan masalah yang oleh Aristoteles dianggap sebagai dasar dari semua kekeliruan (halaman 425). Seberapa jauhkah kejawaan Bung Karno? Ia yang menggunakan pisau analisa Marxistis dalam melihat kesenjangan sosio-ekonomis masyarakat, ia yang terbenam dalam literatur Barat yang amat intens, ia yang mengecam habis klenik dan kejumudan Islam, ia yang menganggap massa sebagai faktor penentu dalam suatu gerak kebangkitan, toh di tahun 1950-an tiap malam Minggu masih nanggap wayang kulit di Istana. Dalam pidato-pidatonya sebagai orator besar yang sulit ada tandingannya di dunia, Bung Karno dengan enak mengutip kalimatkalimat ki dalang dalam perwayangan, sama enaknya ia mengutip filosof dan negarawan Barat. Apakah betul pendapat Onghokham dalam kata pengantar buku itu bahwa Dahm menganggap salah pemikiran Bung Karno selaku ilmuwan dan bahwa ia mengutip secara salah atau di luar konteks? Dan bahwa Bung Karno sering menginterpretasi pemikir-pemikir yang dikutip seenaknya? (halaman XIV). Ketika saya bertemu Bernhard Dahm terakhir kali di Berlin bulan Februari 1987 saya tidak melihat sama sekali perubahan sikap Dahm yang mengagungkan Bung Karno. Tanpa mengecilkan arti penting pemimpin Indonesia sekarang, Dahm masih tetap menganggap Bung Karno seorang pemimpin jempolan untuk Indonesia. Tentu saja, bagian yang paling menarik dari buku ini justru pada bagian penutupnya, ketika masalah Pancasila dibicarakan. Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 ini oleh Dahm dianggap "merupakan suatu ikhtiar klasik dari gagasan-gagasan politik yang sudah dikembangkannya sampai tahun 1945," sewaktu Bung Karno mencari persatuan philosophische grondslag, mencari suatu Weltanschaung yang disetujui oleh semua (halaman 410). Berbeda dengan sejarawan Indonesia Almarhum Nugroho Notosusanto, yang cenderung mengecilkan peranan Bung Karno dalam hal proses kelahiran Pancasila lewat percobaan penonjolan peranan Yamin atau Supomo, Dahm tidak satu patah pun menyebut mereka, kecuali peran Bung Karno. Hal yang menarik pada buku Dahm ini ketika ia memulai mengaitkan masalah imbauan Ratu Adil, Mesias Jawa, dengan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bahwa orang Jawa percaya kepada Jayabaya dan Ratu Adil, itu benar. Tapi gerakan massa yang dihimpun oleh Sarekat Islam-nya Tjokroaminoto sendiri dengan tegas menjauh dari alam pikiran ini lewat penawaran sosialisme sebagai jalan keluar untuk menciptakan keadilan, persis yang diajarkan Islam itu sendiri. Tjokroaminoto, lebih-lebih Sukarno, selain menjauh dari kepercayaan Jawa dalam hal Ratu Adil, juga mendasarkan kaidah gerakannya kepada massa sebagai kekuatan politik paling terpercaya untuk suatu gerakan nasional, penggabungan semua kekuatan revolusioner, seperti sering diucapkannya. Anjuran persatuan seluruh kekuatan progresif revolusioner antara nasionalis, Islam, dan sosialisme inilah yang menyebabkan gerakan pemimpin Bung Karno merupakan pelanjut yang lebih besar dari gerakan Tjokroaminoto, dan sekaligus lebih efektif. Hal lain yang merupakan kekurangan buku Dahm: ia tidak menghubungkan Pancasila sebagai gagasan mondial Bung Karno ketika mengusulkan agar PBB mengganti piagamnya, karena Pancasila bukan saja filosofi yang berlaku untuk Indonesia, melainkan juga bisa jadi filosofi badan dunia itu. Dahm sama sekali mengabaikan anggapan Bung Karno bahwa Pancasila itu merupakan upaya peningkatan lebih lanjut ideologi besar dunia seperti Deklarasi Kemerdekaan AS dan Manifesto Komunis, dan bukan sekadar penyempurnaan San Min Chu I seperti disebut-sebut dalam buku Dahm. Bagaimanapun, buku Dahm ini penting dikaji oleh pembaca Indonesia yang tampaknya (khususnya generasi muda) kurang memperoleh gambaran yang proporsional dan adil mengenal tokoh besar semacam Sukarno, akibat peranannya yang kontroversial dan gegap-gempita. Sebagai tokoh solidarity maker, boleh jadi ia tidak obyektif benar untuk sepanjang masa, tapi sudah jelas ia obyektif benar untuk suatu masa. Mengingkari hal ini sama saja dengan mengingkari kebenaran sejarah yang memang sudah jadi kenyataan obyektif dan tidak tergoyahkan. Mencampakkannya dari panggung riwayat sama halnya dengan membetot mata rantai hingga tidak utuh lagi. Mahbub Djunaidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini