Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Demistifikasi

Nietzsche menulis bahwa tak ada perbedaan antara benar dan tak benar. yang terjadi adalah usaha merebut kekuasaan. tak ada makna, yang ada bukan makna. itulah demistifikasi yang dipelopori nietzsche, dkk.

2 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA takut Virginia Woolf? Tidak ada, memang. Lain halnya Sigmund Freud. Atau Marx atau Friedrich Nietzsche. Tiga oknum tersebut tukang demistifikasi. Menurut Paul Ricoeur, mistifikasi terjadi kalau saya dapat surat dari Presiden Reagan, dan demistifikasi kalau ternyata surat itu ditulis seorang mahasiswa yang mempermainkan gurunya. Dalam dunia kita ada banyak omongan dan tindakan misterius dan tiga demistifikator tersebut membuka tirai dan memperlihatkan simsalabim yang dipakai tukang sulap. Misalnya, waktu abad keenambelas di Eropa terdapat banyak omongan tentang sola fides dan sola scriptura, ditambah perang dahsyat antara orang Kristen. Karl Marx menjelaskan, segala hal itu sebenarnya omongan tentang bunga uang, apakah boleh atau tidak. Akibatnya, Eropa Selatan tetap Katolik (karena petani tidak senang bunga uang), sedang Eropa Utara dengan banyak saudagar menjadi Protestan agama yang membolehkan bunga uang itu. Hipotesa ini tidak usah mengejutkan, karena hipotesa dipertahankan selama terdapat data yang memperkuatnya. Nyanyian serupa keluar dari kerongkongan Freud. Sejarah tidak didalangi ekonomi seperti dikatakan hipotesa Marx, melainkan libido alias nafsu berahi. Anak mencintai ibunya dan takut sama ayah. Tidak heran di layar putih muncul proyeksi, yaitu Tuhan Allah sebagai Bapak ("Bapak kami yang ada di surga") atau corak maskulin ("yang mahakuasa dan mahaadil"). Suster dengan cincin emas di jarinya dan bayangan manis tentang Yesus yang lemah lembut, memperhaluskan hawa nafsu yang direpresi. Hipotesa tidak berbunyi enak. Tidak heran Freud direpresi sendiri (oleh Karen Horney, Fenichel, dan Sullivan). Sedang Lacan berpendapat, dia mempunyai injil psikoanalitik yang murni dan sejati, yaitu Freud sebagai Freud. Kalau Didi yang saleh menutup mata dan telinga waktu mendengar hipotesa Marx dan Freud, apalagi kalau dia membaca buku Nietzsche seperti Umwertung aller Werte atau Frohliche Wissenschaft. Kalau Marx membuka topeng dari sejarah dan Freud dari kebudayaan, sang Nietzsche mendemistifikasikan moral. Tata susila ("Jangan mencuri, jangan membunuh") ialah akal para kerdil untuk mengebirikan kaum raksasa. Sang pengecut yang takut dibunuh melukiskan manusia cita-cita yang jujur, manis, suka menghemat, dan selalu bersedia mengampuni musuhnya. Adik yang kikir merasa iri hati kalau melihat kakaknya hidup senang dan memborong uang, sehingga dalam omongan moral sang kakak dilukiskan sebagai orang jahat. Dorongan sejarah ialah resentment, rasa sakit hati dari orang kecil kalau melihat gerak-gerik kaum pahlawan dan bangsawan. Nietzsche mahaguru bahasa klasik (Yunani dan Romawi). Dia membaca bagaimana agama Kristen dibenci orang Romawi yang berpendapat orang beragama ialah musuh dari umat manusia. Gereja (begitulah Nietzsche) harus dihancurkan, manusia harus mewujudkan dirinya (Wille zur Macht), dan binatang dengan rambut pirang akan dibebaskan kembali. Ricoeur, mahaguru Sorbonne dan seorang Kristen sejati, tidak takut waktu membaca demistifikasi ini, tidak menutup mata atau telinga tapi menyambut baik tiga hipotesa tersebut. Yang benar ialah benar dan ketakutan ialah penasihat yang jelek. Dengan Bonhoeffer (yang mati syahid di tiang gantungan Nazi) dia berpendapat, kehilangan agama di Eropa (ateisme) mempunyai suatu fungsi religius. Kerugma (proklamasi keselamatan yang terjadi 2.000 tahun lalu di Palestina) akan muncul lebih murni dan sejati kalau dibersihkan dari motivasi ekonomis (Marx), libidineus (Freud), atau sebagai unsur dalam Wille zur Macht. Sang profesor optimistis dan berpendapat, cucu-cucu kita yang ateis dan areligius lebih dekat pada Tuhan daripada aki dan nini yang sesudah doa selesai menghitung duit atau main masturbasi. Lucu sekali. Dan demistifikasi tidak berhenti. Juga Freud, Marx dan Nietzsche didemistifikasikan. Dalam dunia filsafat, omongan tidak berhenti. Sesudah Hegel muncul Marx. Sesudah Marx muncul Derrida dan Foucault. Orang Prancis ini membaca baik apa yang ditulis dalam buku Nietzsche yang menerangkan: tidak ada perbedaan antara benar dan tidak benar. Yang terjadi ialah usaha merebut kekuasaan (Will zur Macht), dan omong benar atau bohong tidak ada banyak perbedaan. Tidak ada makna (sense). Hanya ada bukan makna (non-sense). Tulisan Marx didekonstruksi dan diperlihatkan bagaimana teks Marxis bisa diuraikan menjadi unsur dari omongan Ricardo, Adam Smith, dan Herzl. Omong dan berpikir berdasar deference, setiap perkataan menunjuk perkataan lain. Hipotesa ini (dari Hegel) dibuktikan pada setiap kamus yang menerangkan kata dengan kata. Tidak heran Lacan berusaha menyelamatkan Freud dan Althusser dengan sistem yang brilyan, tapi sangat sulit mencoba menyelamatkan Marx yang tenggelam. Manusia bukan monyet yang bergerak berdasar infrastruktur ekonomi, bukan boneka yang omong terdorong libido, bukan binatang yang mencari kuasa, melainkan monyet menjadi manusia waktu dia mulai omong. Dan omong tak lain dari gerakan udara atau coret-coretan atas kertas (grammata). Lucu sekali: sesudah Tuhan dimobilissikan, sekarang juga manusia sendiri dinonaktifkan. Dr. Basilides Peperzak, seorang Fransiskan yang sederhana tapi terpelajar, menulis karangan dalam majalah filsafat Over de Waarheid. Dengan tenang sang profesor - yang sudah tiga kali mengunjungi Indonesia - menerangkan, "Kalau saya bilang tidak ada kebenaran, saya jatuh dalam kontradiksi: benar tidak ada kebenaran, artinya ada kebenaran". Memang omong ialah bunyi. Tapi lain dari semiologi, ada semantik: bunyi itu ada artinya. Peperzak, murid dari Ricoeur dan lulus Sorbonne, tidak begitu terpesona waktu membaca Derrida dan Foucault. Memang kita boleh angkat topi dan menghormati Marx, Freud, dan Nietzsche. Baik sekali kalau bayangan Tuhan dibersihkan dan patung obyek pemujaan berhala dihancurkan. Tapi kita harus tetap tenang: benar falsafah tak pernah selesai, tapi hal itu tidak berarti falsafah ialah omong kosong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus