Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Imaginary City, Novel Pertama Rain Chudori

Dalam Imaginary City, Rain Chudori merekam pertemuan dan perpisahan sepasang kekasih di Jakarta

18 Oktober 2017 | 18.52 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rain Chudori saat peluncuran novel pertamanya, di Dia.Lo.Gue, Kemang, Jakarta Selatan (Dok: Antara)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Usianya menginjak 21 tahun saat buku pertamanya, kumpulan cerita pendek Monsoon Tiger and Other Stories terbit. Di dalamnya ada delapan cerita: Smoking with God, Taman Gajah, The Dollhouse, The Sandcastle, The Swimming Pool, Beneath The Bougainvilleas, dan Until Berlin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi Rain Chudori, sudah menulis cerita-cerita pendek sejak remaja. Delapan cerpen dalam Monsoon Tiger and Other Stories merupakan kumpulan cerita yang Rain buat dalam kurun tujuh tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua tahun berselang, medio Oktober 2017 ia kembali menelurkan karya terbarunya, novel pertama berjudul Imaginary City. Sebuah novel yang ia garap dalam kurun tiga bulan. “Tiga bulan. Nonstop setiap hari. Saya menulis dari jam delapan pagi sampai delapan atau tujuh malam,” tutur Rain saat dijumpai usai peluncuran novel di Dia.Lo.Gue, Kemang, Sabtu 13 Oktober 2017.

Menurutnya, Imaginary City merupakan sebuah kisah tentang seorang pasangan yang harus berpisah dan semua kenangan mereka terekam di Jakarta pada malam hari.

(dokumentasi: Aisha S)

Sebagai sebuah buku yang merekam momen, Rain menyusun novelnya layaknya sebuah peta memori. Sebuah kota lengkap dengan tempat-tempat khusus yang menjadi ruang temu dan kebersamaan para tokoh. Hampir semuanya tempat yang masih hidup hingga malam hari, di Jakarta. “Sebetulnya tidak semua tempat di Jakarta buka sampai malam banget. Nah setting di novel itu kebanyakan mungkin dari jam 20.00 malam sampai jam 05.00 pagi, “ papar Rain.

Ada alasan khusus menurutnya mengapa ia memilih malam hari sebagai sebuah keterangan waktu dan juga kunci kisah dalam novel tersebut. “Ada alasan tersendiri. Alasan kenapa mereka cuma bisa bertemu waktu malam dan mengapa mereka harus berpisah,” tuturnya memberi sedikit bocoran.

Seperti karya-karya sebelumnya, Rain menulis novelnya dalam bahasa Inggris. Bukan tanpa alasan, menulis karya dalam bahasa Indonesia adalah sebuah harapan yang ingin bisa ia capai satu waktu nanti. “Ingin banget bisa sejago itu. Tapi belajar menulis dan berbicara bahasa Indonesia itu dua hal yang sangat berbeda dan butuh proses yang panjang,” tutup Rain.

AISHA SHAIDRA

Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus