Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Indonesia dan para manajernya

Penulis: john bresnam. new york : columbia university, 1993. resensi oleh : bambang harymurti.

24 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENULIS buku nonfiksi tentang Indonesia di kancah internasional adalah proyek teramat sulit. Sebab, kendati merupakan negara berpenduduk nomor empat terbesar di dunia, keberadaannya yang sangat kaya dengan keanekaragaman budaya kurang dikenal pembaca dunia, bahkan oleh penduduknya sendiri. Terutama karena dokumentasi tentang Indonesia sangatlah terbatas. Untungnya, hal itu tak menghalangi John Bresnan untuk menulis. Pengajar di Universitas Columbia, New York, ini malah menggunakan jurus yuyitsu: memanfaatkan kelemahan sebagai kelebihan. Tak seperti penulis ilmiah tradisional yang mengandalkan studi kepustakaan, Bresnan justru melakukan wawancara intensif di lapangan. Ia berhasil mengorek cerita lebih dari 100 tokoh elite Indonesia yang berperan sebagai manajer ekonomi dan politik nasional era Orde Baru. Dan jumlah elite di Indonesia teramat kecil, baik secara nisbi (dibandingkan dengan di negara jirannya) maupun absolut. Maka, peran mereka dalam pembangunan ekonomi politik pun begitu besar dan terpusat. Ini merupakan argumentasi kuat bagi pendekatan Bresnan untuk menganalisa perkembangan ekonomi politik Orde Baru berdasarkan kaca mata para elitenya. Bresnan memang sangat terbantu oleh masa penugasannya di Indonesia tahun 1961-1965 dan 1969-1973. Yang pertama sebagai asisten direktur Ford Foundation di Jakarta, dan yang kedua sebagai kepala perwakilan. Dalam jabatannya itu, Direktur Eksekutif Program Studi Pasifik Basin di Columbia University ini memang mengenal para ''manajer'' itu secara personal. Maklum, para tokoh ''mafia Berkeley'', misalnya, kebanyakan adalah mantan penerima beasiswa Ford Foundation ketika belajar di AS. Walhasil, ia berhasil dipercaya untuk memperoleh inside information dari para manajer tentunya tak terbatas pada ''mafia Berkeley'' itu. Tentu saja sumber informasi peka itu tak dapat dipublikasikan sebagaimana layaknya persyaratan sebuah karya ilmiah. Namun di sinilah kekuatan dan sekaligus kelemahan buku ini. Di satu pihak ia memberikan gambaran bagaimana elite Indonesia memandang perkembangan Orde Baru dengan nuansa yang begitu kaya. Di pihak lain, ia tak meninggalkan jejak pasti untuk pengecekan ulang para peneliti di hari kemudian syarat dunia kecendekiaan. Tapi Bresnan memang tak berpretensi sebagai cendekia. Sebagai peneliti senior yang di masa mudanya terlibat sebagai ''aktor'', ia berhasil menyuguhkan sebuah tulisan yang jauh dari stereotip penulis Barat dengan kegenitan liberal yang populer di kalangan akademis dalam menganalisa negara berkembang. Ia bahkan hampir percaya pada diktum Gunnar Myrdal terakhir, bahwa ''demokrasi politik ternyata bukanlah prasyarat mutlak bagi suksesnya pembangunan negara berkembang''. Setelah mengulas secara kronologis kejadian penting di bidang ekonomi dan politik pada tahun 1965 hingga 1991 dalam 10 bab terpisah, Bresnan berkesimpulan bahwa banyak kebijaksanaan pemerintah yang memacu pertumbuhan ekonomi. Ini jelas tak mungkin dilakukan di bawah rezim yang tak otoriter. Kebijaksanaan yang membuat pemerataan di Indonesia berjalan cukup baik dibandingkan banyak negara berkembang itu merupakan kombinasi tiga hal. Yang pertama adalah struktur politik yang otoriter, didominasi militer, dan pro-status quo. Yang kedua, struktur ekonomi yang produktif, berakar pada pertanian tropis dan berkembang ke sektor manufatur, bermodalkan minyak dan inovasi. Dan ketiga, kebijaksanaan sosial ''progresif''. Dan kunci utamanya adalah si manajer nomor satu, Presiden Soeharto. Bagi Bresnan, Soeharto memang menampilkan diri seperti pimpinan puncak sebuah konglomerat: berfungsi lebih sebagai arbitrator para staf daripada sumber ide. Staf ekonominya yang piawai umumnya sangat berpengaruh pada saat ekonomi sulit dan hampir tak digubris saat ekonomi baik. Mungkin karena ia juga mendengarkan ide para stafnya yang teknolog dan militer, yang menginginkan peran negara dalam mengembangkan industri teknologi tinggi. Bresnan sendiri mengaku kagum pada kemampuan elite Indonesia (birokrat, militer, cendekia, mahasiswa, teknokrat, purnawirawan) untuk mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya dan menemukan jawaban terhadap tantangan masa depannya. Tampaknya, Bresnan layak mendapat tepuk tangan. Sebab, seperti dikomentari William R. Liddle, ahli Indonesia dari Ohio State University, AS, di halaman belakang buku ini, ''Managing Indonesia adalah buku pertama yang menganalisa ekonomi politik Orde Baru.'' Bambang Harymurti (Washington)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus