Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alia Swastika
pengamat seni rupa, bermukim di Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam pembukaan pameran "Bara Lapar Jadi Palu" di Galeri Katamsi, kompleks Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pada 22 November lalu, terasa riuh dan meriah. Tidak hanya karena pengunjung membeludak. Suasana perayaan juga semarak karena permainan musik tak berhenti sepanjang malam. Memasuki ruang pameran pun tampak betapa banyak pengunjung asyik mencermati karya-karya yang dipajang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran yang digelar hingga 9 Desember ini seperti ditunggu oleh skena seni di Yogyakarta, terutama bagi anak muda yang barangkali tak banyak menikmati karya-karya Taring Padi pada awal kemunculannya. Taring Padi adalah salah satu legenda hidup dalam gerakan kebudayaan dan aktivisme di Yogyakarta.
Kelompok ini didirikan setelah reformasi 1998 oleh sekelompok mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sebelumnya, mereka terlibat dalam gerakan pro-rakyat dan pro-demokrasi dalam jaringan kelompok mahasiswa. Manifesto asli pendirian kelompok ini pun dipajang sebagai pembuka pameran. Kini, 20 tahun kemudian, Taring Padi tetap konsisten berada dalam jalan perlawanan.
Dalam dinamika seni pasca-reformasi, dengan geliat dukungan negara dan wacana tentang pasar, barangkali Taring Padi tidaklah segalak dua dekade silam. Tapi pameran ini justru menunjukkan bahwa mereka masih tetap bergerak memperjuangkan isu-isu berbasis interaksi dan analisis sosial terhadap peristiwa-peristiwa yang meminggirkan rakyat.
Memasuki ruang pamer utama, pengunjung langsung diberi kejutan dengan banner raksasa setinggi tujuh meter. Di ujung atas poster kain itu, terbaca teks "People’s Justice". Di bawahnya adalah gambar sekelompok orang-petani, mahasiswa, buruh, intelektual, dan kaum miskin kota-semua mengepalkan tangan dan bersepakat untuk berjuang. Lalu di bawahnya lagi adalah sosok-sosok (kiranya para penguasa) berkepala binatang, terkungkung dalam penjara.
Di depan karya tersebut, karya lain bertema kedaulatan pangan terhampar dengan latar dinding merah. Selain poster kain sebagaimana sering mereka gunakan, ada obyek-obyek tiga dimensi seperti tangan-tangan terkepal di udara. Obyek-obyek itu diletakkan di dalam buah kelapa dan dipajang di lantai. Lalu, sosok sepasang petani mengapit poster dan tangan terkepal itu. Sosok petani yang sederhana dan familiar itu membuat karya tersebut tampak sebagai realitas keseharian yang kita kesampingkan.
Pameran ini, meski dilaksanakan bersamaan dengan dua puluh tahun Taring Padi, tampak tidak dimaksudkan untuk memajang sejarah kelompok itu. Juga tidak ada ide kuratorial yang cukup tegas, sehingga pengunjung dapat menafsirkan pameran ini mana suka. Di bagian depan memang terpajang manifesto dan salinan dari notasi lagu Pasti Menang yang menjadi bagian dari berbagai aksi mereka, tapi itu lebih sebagai perkenalan.
Pameran disusun berdasarkan narasi-narasi dari berbagai poster dan lukisan, yang terasa sebagai narasi besar yang kompleks. Jumlah karya yang sedemikian masif memang membuat ruang terasa sesak. Tapi justru penegasan atas produktivitas mereka inilah yang menarik untuk digarisbawahi. Lebih dari 40 banner berukuran besar terpajang di dalam dan ruang pameran, sementara lukisan-lukisan kecil berjumlah sekitar 20. Sisanya adalah poster-poster yang biasa disebarkan ketika mereka melakukan aksi massa, yang jumlahnya berkisar hingga 100 buah.
Taring Padi bergerak memasuki isu-isu anti-militer pada awal 2000-an, menegaskan mengapa reformasi bukanlah tujuan perjuangan, melainkan awal bagi jalan panjang demokrasi. Dalam poster-poster soal politik yang memperhadapkan rakyat dan negara, kita mendapati mereka mencoba menunjuk kejahatan-kejahatan Orde Baru, termasuk tuntutan mengusut kembali kasus 1965 serta penculikan dan kekerasan aktivis 1998. Karya-karya dalam seri ini terasa relevan dengan situasi kini, di mana Orde Baru seperti muncul kembali dan dosa mereka seperti dilupakan dan tertelan waktu.
Isu lain yang banyak muncul adalah konflik berbasis lahan. Konflik itu tidak hanya memasuki wacana perusakan lingkungan hidup, tapi juga peminggiran masyarakat adat, hilangnya pengetahuan lokal, serta ekspansi industri dan kapitalisme. Pada seri-seri lukisan ini, dalam sebuah deret dinding, pengunjung dapat menemukan sosok-sosok pejuang adat yang memimpin perlawanan. Misalnya Aleta Baun (Nusa Tenggara Timur) dan Yosepha Alomang (Papua).
Para pengunjung, yang sempat mengalami masa-masa demonstrasi mahasiswa menjelang 1998 dan situasi peralihan sesudahnya, pastilah cukup akrab dengan bahasa visual dan jargon-jargon di poster-poster Taring Padi. Kalimat seperti "Naikkan Upah Buruh" atau "Dilarang Melawan Kebebasan Berekspresi" seperti menjadi selentingan di tengah jargon-jargon politik kini yang partisipan.
Satu hal lain yang juga menarik disimak dalam pameran Taring Padi, hampir semua karya muncul sebagai representasi kolektif, tanpa menyebutkan individu-individu yang terlibat, kecuali Yustoni Volunteero, sebagai upaya mengenang pemikiran dan kontribusinya. Pameran ini membangun solidaritas bersama untuk memasuki dan menggemakan isu-isu lebih besar. l
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo