Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM pemerintahan, keterbukaan merupakan hal yang penting terutama ketika menyangkut masalah anggaran. Keterbukaan menjamin proses yang bersih dan akuntabel. Sebaliknya, ketertutupan menimbulkan syak wasangka dan memungkinkan terjadinya penyelewengan. Kaidah ini seharusnya disadari oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, termasuk ketika membahas penyuntikan tambahan modal untuk perusahaan-perusahaan milik negara.
Pekan lalu, DPR menyetujui penyertaan modal negara untuk puluhan badan usaha milik negara. Jika rapat paripurna tidak mengubah keputusan Badan Anggaran, ada 35 perusahaan yang mendapat kucuran Rp 39,9 triliun dari anggaran belanja 2015. Memang, terkadang negara perlu menyuntikkan modal segar kepada perusahaan-perusahaannya. Masalahnya, Dewan tidak menjelaskan kriteria mereka dalam menyetujui dan menolak tambahan modal itu. Rapat-rapat yang membahas masalah ini juga dilakukan secara tertutup.
Seharusnya sejak awal DPR dan pemerintah menjelaskan kriteria mengabulkan atau menolak penyuntikan modal baru. Bahkan, sebelum proses dimulai, kriteria itu harus diumumkan agar rakyat dapat mengukur kelayakan pemilihannya. Idealnya, penyuntikan modal baru kepada perusahaan negara diberikan kepada perusahaan yang sehat dan membutuhkan dana untuk mengembangkan bisnisnya. Dengan demikian, uang rakyat yang dikucurkan dapat kembali ke kas negara dalam bentuk dividen.
Sayangnya, hal ini tidak terlihat dalam sebagian keputusan Dewan. Mereka, misalnya, tidak mengabulkan permintaan tambahan modal untuk Bank Mandiri sebesar Rp 5,6 triliun. Padahal Mandiri adalah bank yang sehat. Mereka memiliki aset senilai Rp 707 triliun dan tumbuh 12 persen setahun. Dari sisi profitabilitas, laba bersih pada 2013 tumbuh 17,4 persen menjadi Rp 18,2 triliun. Tahun lalu mereka membagikan dividen hampir Rp 5,5 triliun-yang sebagian besar masuk kas negara.
Mandiri membutuhkan tambahan modal untuk bisa bersaing dengan bank dari negara-negara ASEAN yang akan bebas masuk ke Indonesia lewat kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun ini. Mandiri juga membutuhkan energi tambahan untuk mendanai berbagai proyek infrastruktur berskala besar yang akan digeber pemerintah Joko Widodo. Tanpa itu, bank nasional terbesar di Indonesia itu tak mampu menyalurkan dana. Akibatnya, pendanaan proyek besar ini akan jatuh ke lembaga keuangan asing, yang biasanya mensyaratkan keikutsertaan konsultan dan penyuplai dari negara mereka dalam proyek tersebut.
DPR dan pemerintah juga belum mempersiapkan strategi pengawasan terhadap perusahaan penerima PMN. Seharusnya sudah ada mekanisme yang jelas tentang seberapa jauh pemerintah bisa memberikan modal dan bagaimana mengawasinya. Apa "sanksi" kepada perusahaan yang gagal memanfaatkan tambahan modal untuk perbaikan?
Kita tentu tak ingin apa yang terjadi pada Merpati terulang. Perusahaan penerbangan ini berkali-kali mendapat tambahan modal. Pada 2005, maskapai itu mendapat PMN Rp 75 miliar, tahun berikutnya Rp 450 miliar. Dua tahun kemudian, mereka memperoleh dana restrukturisasi dan revitalisasi Rp 350 miliar, disusul pada 2010 mendapat subsidiary loan agreement MA-60 sekitar Rp 2 triliun. Tak kunjung membaik, dua tahun berikutnya ada PMN Rp 560 miliar. Semua dana itu seperti masuk ke sumur tanpa dasar, hingga Merpati dinonaktifkan tahun lalu.
Merpati memang tak mendapat suntikan modal baru, tapi semestinya ada kriteria yang jelas dalam pemberian modal tambahan. Tanpa itu, bukan mustahil penentuan penyuntikan modal baru ini ditentukan oleh kesepakatan politis antara pemerintah dan kelompok oposisi. Ujung-ujungnya, perusahaan negara akan menjadi sapi perah politikus. Untuk menghindari itu, kuncinya cuma satu: keterbukaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo