Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA hakim Pengadilan Negeri Bengkulu membuat terobosan hukum penting dalam kasus tindak pidana kesusilaan. Untuk pertama kali, majelis hakim memperluas tafsir "kekerasan atau ancaman kekerasan" pada Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pemerkosaan. Mereka tak lagi memaknai "kekerasan" pada pasal tersebut sebagai sebatas perlakuan fisik, tapi juga memasukkan unsur psikologis dan perspektif korban.
Tafsir progresif itu jelas bakal mengancam para pelaku pemerkosaan yang selama ini kerap berlindung di balik alasan "mau sama mau". Pelaku berdalih tak bisa diadili karena tak memenuhi unsur pasal yang berbunyi, "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun."
Majelis hakim menunjukkan di balik dalih "mau sama mau" belum tentu tak ada unsur "kekerasan atau ancaman kekerasan". Dalam kasus polisi Bengkulu yang divonis lima tahun penjara, majelis menyebutkan korban luluh setelah dihujani rayuan dengan janji akan dinikahi. Polisi hidung belang itu menodai korban hingga mengalami perdarahan. Korban dilarikan ke rumah sakit, sedangkan pelaku melarikan diri. Jaksa menggunakan pasal pemerkosaan dan menuntut delapan tahun penjara.
Hakim memutuskan memasukkan unsur "bujuk rayu", "janji manis", dan "janji palsu" untuk menikahi korban sebagai bagian dari "ancaman kekerasan". Pertimbangan itu merupakan hal baru yang layak didiskusikan. Di balik "bujuk rayu" itu, misalnya, ada relasi kuasa yang timpang: antara pelaku yang memaksa dan korban yang tak berdaya. Kekerasan atau ancaman kekerasan akan muncul dalam relasi yang tak sebanding tersebut.
Hakim kemudian mengaitkan pertimbangan itu dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang sudah lebih progresif dalam mengatur pemerkosaan anak. Makna "ancaman kekerasan" pada pasal 81 dan pasal 82 undang-undang ini telah diperluas menjadi "dengan sengaja melakukan tipu muslihat, kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan". Hakim menyejajarkan "bujuk rayu" dan "janji palsu" dengan "tipu muslihat" pada Undang-Undang Perlindungan Anak itu.
Langkah hakim Bengkulu yang keluar dari tafsir lama ini punya implikasi luas. Pasal pemerkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, misalnya, jelas bias gender: hanya menempatkan wanita sebagai korban persetubuhan. Padahal ada pula perempuan yang melakukan pemerkosaan dan ada lelaki yang menjadi korban pemaksaan seksual. Jika hakim tak memperluas makna dan tafsir atas pasal ini, perempuan pelaku pemerkosaan bisa saja lolos dari jerat hukum.
Hal lain yang mesti dicermati adalah kemungkinan disalahgunakannya tafsir progresif itu untuk kepentingan sepihak pelaku hubungan seksual. Seseorang bisa saja menuduh telah diperkosa dengan dalih diberi "janji palsu", padahal yang sebenarnya terjadi adalah upaya pemerasan. Hakim harus amat hati-hati terhadap kemungkinan akal-akalan seperti itu.
Putusan hakim Bengkulu ini merupakan langkah berani bagi perlindungan dan pemenuhan rasa keadilan korban kekerasan seksual. Sembari menunggu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terbaru-yang juga sudah meluaskan makna pemerkosaan-disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, hakim lain bisa menggunakan putusan Bengkulu sebagai basis argumen dalam menangani kasus sejenis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo