Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sastra dan Politik: Representasi Tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru
Penulis: Yoseph Yapi Taum
Pengantar: David T. Hill
Penerbit: Sanata Dharma University Press
Tebal : xxiv + 328 halaman
Buku Sastra dan Politik karangan Yoseph Yapi Taum ditulis berdasarkan hipotesis bahwa "secara fundamental, sastra terlibat dalam kehidupan konkret manusia, dan bukan hanya sekadar gambaran abstrak sebuah dunia alternatif" (halaman ix). Keterlibatan itu ditunjukkan melalui kajian kritis tentang representasi tragedi 1965 dalam teks sastra pada masa Orde Baru.
Yoseph menganalisis bagaimana rezim Orba mengeksploitasi pembunuhan petinggi militer pada 30 September 1965 untuk merebut kekuasaan dan mempertahankan status quo selama lebih dari tiga dasawarsa. Eksploitasi dijalankan dengan menggelar proyek politik rekayasa ingatan secara besar-besaran, sistematis, dan kontinu, yang pada dasarnya merupakan "brain washing tentang apa yang harus diingat dan apa yang harus dilupakan tentang komunis dan tragedi 1965 di Indonesia" (halaman 262).
Orba mencap kaum komunis sebagai pengkhianat bangsa dalam berbagai representasi tentang tragedi 1965, dari pemberitaan G-30-S di harian Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata, peringatan Hari Kesaktian Pancasila, pembangunan Monumen Pancasila Sakti dan Museum Pengkhianatan G30S/PKI, produksi film Pengkhianatan G30S/PKI, penerbitan buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia dan Buku Putih Sejarah G30S Pemberontakan PKI, sampai pembubuhan tanda "ET" dan "OT" pada kartu tanda penduduk tersangka komunis dan keluarganya. Negara memupuk kebencian dan ketakutan publik terhadap "hantu komunis". Akibatnya, terjadi tragedi kemanusiaan mahadahsyat yang dicoba dihapus Orba dari ingatan tentang tragedi 1965.
Politik rekayasa ingatan Orba dilawan oleh wacana tandingan dalam teks sastra. Meskipun selama tiga dasawarsa Orba hanya lahir sangat sedikit karya sastra Indonesia yang menyoroti tragedi 1965 (19 cerpen dan novel/novelet), Yoseph mencatat bahwa karya-karya tersebut aktif melakukan perlawanan terhadap hegemoni negara: "Teks-teks itu tidak hanya menjadi pengingat akan kekejaman dan penderitaan sesama", tapi juga "memiliki kekuatan counter-hegemony dan menciptakan toleransi serta perdamaian di Indonesia", "turut berjuang menciptakan emansipasi dari dominasi politik, dominasi sosial, dan dominasi kultural".
Perlawanan sastra terhadap hegemoni rezim Orba di seputar wacana tragedi 1965 berlangsung pasang-surut. Pada 1966-1970, sastra melawan dengan "memberikan simpati yang sangat tinggi terhadap orang-orang komunis atau mereka yang memiliki kaitan dengan orang-orang komunis". Pada 1971-1980, sastra "menunjukkan ciri perlawanan yang sangat lemah, perlawanan di titik nadir, bahkan dapat dipandang bahwa sastra hanya mengafirmasi dominasi dan hegemoni kekuasaan Orde Baru" (halaman 156). Pada 1981-1998, sastra tampil kembali dengan semangat perlawanan yang hampir sama kuatnya dengan periode 1966-1970.
Sebagaimana diakui David T. Hill, buku ini penting "karena pendekatan teoretisnya yang tajam" dan "teks-teks yang didiskusikannya perlu diketahui dan diapresiasi". Namun beberapa catatan kiranya perlu disampaikan.
Ada banyak kelemahan redaksional dalam buku yang berasal dari disertasi ini. Salah ketik bertaburan. Banyak kata kekurangan huruf, informasi atau istilah ditulis secara keliru, beberapa bahkan berpotensi menyesatkan. Contoh: "berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru (1989)" [halaman 111, semestinya "1998"], "Keempat novel yang diterbitkan dalam kurun waktu 1981-1990" (halaman 143, semestinya 1971-1980), "kita-kami" vs "kita-kamu" (halaman 236 dan halaman 239, mana yang benar?) dll.
Berpijak pada mazhab kritik sastra New Historicism, buku ini mengklaim bahwa sastra tak berakar di dunia imajinasi, tapi di bumi kenyataan historis. Cerpen dan novel yang mempersoalkan tragedi 1965 itu disebut dikaji untuk membuktikan bahwa sastra Indonesia pun adalah saksi sebuah zaman. Namun bukankah itu tautologi belaka? Tanpa dikaji pun karya sastra yang merujuk pada peristiwa sejarah sudah tentu mencerminkan kenyataan hidup dalam ruang-waktu historis, bukan sekadar imajinasi.
Pastilah mencerahkan jika hakikat sosial-politis-historis sastra ditemukan pada karya yang lazim ditafsirkan sebagai apolitis, misalnya cerita absurd. Semoga kelak ada sarjana yang membuktikan bahwa buku puisi O Amuk Kapak Sutardji Calzoum Bachri (1981), misalnya, ternyata suatu perlawanan keras terhadap normalisasi kultural-linguistik Orba.
Arif Bagus Prasetyo, kritikus sastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo