Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Jepang menunggu fajar

Di tengah kemajuan industri dan ekonominya, jepang takut menanam modal dalam perfilman. grafik mutu film jepang menurun. pekan film kine klub kali ini seperti menggambarkan penuruanan itu.

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah kemajuan industri dan ekonominya, orang Jepang takut menanam modal dalam perfilman. Grafik mutu fiilm Jepang menurun. Pekan film Kine Klub kali ini seperti menggambarkan penurunan itu. PEKAN Film Jepang di Taman Ismail Marzuki kali ini seperti hanya hendak membuktikan tahun-tahun 1950-an adalah masa jaya dunia perfilman Jepang. Dulu itu seakan susah dicari film Jepang terbaik -- karena banyaknya film Jepang bermutu. Dari enam film yang diputar 13 - 17 Januari kemarin, memang empat film dibuat tahun 70-an, sebuah tahun 1980-dan hanya satu karya 1952. Yang terakhir itu berjudul Ikiru (nasib), buah tangan salah seorang sutradara besar Akira Kurosawa. Ikiru tentu saja masih hitam-putih-dan dengan kamera yang statis. Toh, dibanding lima film yang lain, justru gambar-gambar film ini lebih banyak bercerita--dan menyentuh. Inilah kisah seorang pegawai kotapraja, yang menjelang hari pensiunnya-untuk pertama kali selama 30 tahun bekerja -- jatuh sakit. Ternyata kanker. Dan karena itu hidupnya tinggal bersisa 6 bulan. Tiba-tiba Kanji Watanabe, pegawai itu, menyadari bahwa usianya selama ini telah dijalaninya dengan lurus, datar dan tanpa masalah. Ia memang bagaikan mummy--julukan yang diberikan kepadanya oleh seorang gadis pegawainya. Ia pun berontak. Sebentar terlibat mabukmabukan, lantas berupaya menghabiskan sisa hidup yang singkat itu untuk sesuatu yang bermakna. Setumpuk kertas di kantornya lantas diperiksany. Ia menemukan satu permohonan --dari beberapa warga kota, yang dulu terlupakan begitu saja. Isinya: agar sebidang tanah kosong di tempat tinggal mereka dijadikan kebun untuk anak-anak. Sederhana, bukan? Di masa setelah Perang Dunia 11 itu, Jepang memang sedang membangun negeri dengan gempita. Tapi warga kota itu agaknya melihat, pembangunan hanya memperhitungkan sekitar ekonomi. Tanah-tanah kosong, misalnya, tak dibiarkan terlalu lama menganggur--dalam waktu singkat disikat dan berubah menjadi jalan, perumahan, pabrik, pertokoan. Warga kota tiba-tiba menjadi ngeri: anak-anak kehilangan tempat bermain . Kanji Watanabe lantas mengambil permohonan itu -- dan memperjuangkannya Dengan gigih, setindak demi setindak, ditembusnya birokrasi pemerintah yang masa itu begitu memuakan. Bahkan ada adegan: ketika Watanabe sedang menghadap walikota, begitu saja Pak Wali mengalihkan pembicaraan dengan tamu lain--rentang pertemuannya dengan seorang mahasiswi yang malam harinya merangkap menjadi geisha. Dengan suaranya yang serak, dan tubuhnya yang membungkuk, pegawai tua ini mencoba meyakinkan berbagai pihak pentingnya permohonan sejumlah warga kotanya. Ia pun mengalami diancam sejumlah orang yang menginginkan tanahitu dibangun menjadi pertokoan. Akhirnya susah-payah tak sia-sia. Dan persis di saat itu pulalah agaknya hari terakhir tiba. Ia meninggal--di lapangan yang telah diputuskan akan menjadi kebun anak-anak. Makna Hidup Tak hanya segi teknis, cerita atau skenario--atau pemain dan sutradara-yang membuat film ini berkesan. Ikiru berkait dengan masalah sosial Jepang tahun 50-an: secara halus tapi tajam: pembangunan, orang-orang kecil yang terlindas dan birokrasi pemerintah yang sungguh membuat putus asa. Juga merupakan potret seorang manusia dalam mencari "makna hidup". Ada jarak yang jauh antara Ikiru dan lima film yang lain. Bukan hanya jarak waktu yang hanya 20-an tahun --ataupun jarak antara hitam-putih dan warna dengan segala tipuan kameranya. Tapi jarak suasana dan sermangat. Memasuki medio 60-an, perfilman Jepang digasak televisi. Industri film pun sepi. Ini tragis, bila diingat sejarah perfilman dan perbioskopan Jepang yang sudah muncul sejak dini. Alat-alat perfilman sendiri sudah dikenal orang Jepang menjelang berakhirnya abad XIX. Bioskop petama dibangun di negeri itu 1903--ketika orang Eropa memikirkannya saja pun belum. Tahun 1904 lahirlah film cerita Jepang pertama. Dan tahun S0-an dunia pun terkejut: Rashomon, karya Kurosawa, dibuat 1950, merebut hadiah pertama di Festival Internasional Venice 1951. Tapi betapapun film Jepang tahun 70-an "mundur", harus diakui sisa-sisa kejayaan yang tetap tercermin. Entah ini sudah takdir, boleh dikata tangan orang Jepang di bidang seni selalu menyentuh segalanya dengan apik. Akibatnya segi artistik (setting, tata rias & busana dalam film Jepang relatif tergarap dengan baik. Bahkan dalam film-film yang dimaksud melulu hanya sebagai hiburan, taruhlah Shogun's Ninja yang belum lama ini diputar di beberapa bioskop di Jakarta, unsur keartistikan tetap harus dipuji. Adapun yang membedakan film-film pilihan Kine Klub DKI dengan film Jepang hiburan melulu ialah pemilihan fokus cerita. Bandingkan misalnya Tsugaru Jongara Bushi karya Koichi Saito, yang diputar di hari keempat, dengan Sandakan yang belum lama ini diputar di Jakarta. Yang pertama, mengambil fokus perkembangan pribadi seorang pemuda. Ia semula anggota gang di Tokyo. Karena membunuh, lantas melarikan diri dengan kekasihnya, seorang hostes, ke dusun asal si cewek. Di dusun itulah kenyataan-kenyataan pahit mengubah pribadi si pemuda: dari seorang yang cuma mau enak mencari uang dengan menodong menjadi pemuda yang mau bekerja keras (menangkap ikan di laut) .lan merencanakan mengawini seorang gadis buta dari dusun itu -- karena ccweknya hendak kembali ke Tokyo. Lantas Sandakan. Meski film ini merupakan pengungkapan masalah sosial, lagi pula berdasar kisah nyata pelacuran, nyaris dari awal sampai akhir yang digambarkan hanya "penderitaan" para pelacur itu. Sebab awal seorang gadis jatuh ke dunia pelacuran pun sungguh umum kemiskinan. Masalah sosial yang lebih jauh (misalnya pandangan masyarakat Jepang sendiri setelah pemerintah menghapuskan pelacuran resmi) atau masalah spiritual (konflik batin si pelacur) hanya disinggung sekejap. Bagaimana pengambilan fokus cerita bisa menjadi ukuran mutu bisa diberi contoh dengan Fuyu No Hana (sekuntum bunga di musim dingin) karya Yasuo Furuhata yang diputar di hari terakhir. Latar belakang cerita adalah dunia Yakuza, mafia Jepang. Tapi fokus cerita tertuju hanya pada diri seorang anggotanya -- yang merasa dibayangi akibat pembunuhannya: anak-anak yang menjadi yatim. "Kamu bisa melawan hukum. Tapi tak mungkin melawan (hukum) Tuhan," kata si tokoh itu. Bila saja film ini memang untuk mengeruk uang, fokus blasanya akan bergeser dar-der-dor para Yakuza membela gannya masing-masing. Usaha yang sungguh-sungguh dari beberapa sutradara itulah yang membuat Tadao Sato, kritikus film Jepang yang tiga tahun lalu pernah ke Jakarta optimistis. Katanya, waktu itu: 10-15 tahun lagi dunia perfilman Jepang akan kembali menyajikan film bermutu. Entah siapa yang akan kembali menyingkap fajar perfilman di negeri matahari terbit itu. Kurosawa kini telah 72 tahun. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus