GERAK tanpa keharuan". Begitu kritik H.B. Jassin atas cerita
pendek Nugroho Notosusanto, Hujan Kepagian. Agaknya kesan Jassin
bisa juga diterapkan pada pengarangnya itu sendiri.
Nugroho -- lahir di Rembang, Jawa Tengah, 15 Juni
1931 -- mengesankan seorang yang tak banyak polah. Pembawaannya
tenang, tapi bukan acuh tak acuh.
Menjadi anggota sivitas akademika UI sejak 1951, setelah lulus
dari SMA di Yogyakarta, Nugroho mengambil jurusan Sejarah.
Ternyata kemudian ia banyak menulis karya sastra. Hujan
Kepagian, 1958, merupakan kumpulan cerita pendeknya tentang
pengalamannya semasa menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat dan
Tentara Pelajar Brigade 17--di zaman Perang Kemerdekaan.
Lulus dari Fak. Sastra 1960, ia belajar Filsafat Sejarah di
University of London sampai 1962. Pulang ke kampus UI, ia
menjadi Pembantu Dekan bidang kemahasiswaan Fak. Sastra
(1963-64). Lantas naik, sebagai Pembantu Rektor bidang
kemahasiswaan hingga 1967. Agaknya ia dianggap memahami dunia
mahasiswa. Dewan mahasiswa, yang kini dilarang di kampus, dialah
yang mendirikannya bersama Emil Salim, di tahun 50-an.
Ayah dari tiga anak ini memang tak asing dengan dunia
tulis-menulis. Ia menjadi Ketua Redaksi majalah Kompas (1951-54)
majalah pelajar dan mahasiswa bekas pejuang. Lantas bersama Emil
Salim, kini Menteri PPLH ia duduk dalam redaksi Mahasiswa,
majalah kampus UI (1954 59). Selama 1957-59 ia pun menjadi
koresponden Forum majalah mahasiswa Jakarta yang dikelola oleh
Husseyn Umar (kini Direktur Pelni).
Ia pun ikut memprakarsai berdirinya Serikat Pers Mahasiswa
Indonesia (SPMI) bahkan menjadi Ketua pertamanya (1955-58).
Waktu itu Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia diketuai oleh
Teuku Jacob. Dan seperti ada janji, Teuku Jacob pun menjabat
Rektor baru Universitas Gajah Mada (TEMPO, 9 Januari).
Gelar doktornya ia peroleh di UI 1977, dengan disertasi The Peta
Army durmg the Japanese Occupaeion. Dan ia dikukuhkan sebagai
Guru Besar llmu Sejarah (1980).
Sejak 1964 ia menjadi Kepala Pusat Sejarah ABRI, yang masih akan
dirangkapnya dengan jabatan barunya, Rektor UI periode 1982-86.
Pada tahun ini ia juga menjadi anggota Dewan Pers.
Kemudian diterbitkannya Persepsi, April 1979. Majalah tiga
bulanan ini berisi artikel tentang "komunisme/Marxisme-Leninisme
secara ilmiah dan kritis." Tujuannya "untuk mempersiapkan
generasi mendatang bagi tugasnya mengamankan Pancasila Dasar
Negara, khususnya terhadap ancaman tersebut."
Tapi Nugroho banyak disebut-sebut setelah bukunya, Proses
Perumusan Pancasila Dasar Negara, muncul Juli tahun lalu. Banyak
yang mengecam buku itu sebagai pamflet politik. "Kalau pendapat
saya dalam buku itu sama dengan pendapat pemerintah sekarang,
itu kebetulan saja. Hal itu sudah menjadi pendapat saya lama
sekali," tuturnya.
Rektor baru UI ini memang produktif. Tak kurang 20 buku ilmiah,
sejumlah artikel dan 4 buku fiksi telah ditulisnya. Sastrawan
menjadi sarjana, Guru Besar, lantas berpangkat Jenderal (Brigjen
tituler) dan kini Rektor UI-itulah Nugroho Notosusanto, anak
sulung Prof. Mr. Notosusanto, Guru Besar Fak. Hukum UGM. Dan
kebetulan dengan Menteri P & K kini, Dr. Daoed Joesoef, Nugroho
teman seangkatan sewaktu di SMA Yogyakarta. "Tapi, ya, baru
bertemu Pak Daoed baru-baru ini saja. Dulu saya malu kalau mau
ketemu, nanti dikira minta pekerjaan," katanya.
Kesannya menjadi Rektor? "Banyak rekan di UI bilang, kini UI
mempunyai Rektor dari kampung, maksudnya kampus Rawamangun."
Memang, semua delapan rektor UI terdahulu datang dari kampus
Salemba. Dengan Nugroho, diharapkan kampus UI di Depok segera
terlaksana, agar bersatu kampus "kampung" dan kampus "kota".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini