Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Tempo Plus

Kala Garuda Masih Terluka

Lama menghilang, salah satu tokoh perupa protes 1970-an di Yogya, Haris Purnomo, berpameran di Galeri Nadi Jakarta. Lambang Garuda dan bayi-bayi dijadikannya metafora kritik.

28 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Kala Garuda Masih Terluka
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga cakar Garuda itu seperti bermasalah. Cengkeramannya ma-sih kokoh, tapi jari-jemarinya dibalut perban. Yang satu bulu-bulunya seperti tercerabut, yang lain penuh aksesori logam mentereng, meski sosoknya kerempeng. Sama sekali tak perkasa.

Kini orang kembali berbicara ten-tang Pancasila. Sebuah seminar restorasi—pemulihan Pancasila—yang diha-diri banyak cendekiawan dan ilmuwan sosial baru-baru ini diselenggarakan di Jakarta. Pancasila harus diremajakan kembali. Di masa Orde Baru ia telah merosot menjadi ideologi tertutup, menjadi tameng pelanggaran HAM. Ia menjadi legitimasi nasionalisme sempit sekelompok orang.

Tiba-tiba, Haris Purnomo, 50 t-ahun, perupa yang lama menarik diri dari kegiatan-kegiatan seni rupa, m-uncul de-ngan pameran satire tentang Ga-ruda. Dialah pentolan komunitas Pipa (Seni Rupa Kepribadian Apa) di Yogya 1970-an. Sebuah komunitas yang -mempertanyakan kepribadian, identi-tas -na-sio-nal. Kalangan seni rupa me-ngenang: -di tahun itu Haris sudah ”bermain-main” dengan lambang Garuda dan Pancasila.

Hendro Wiyanto, kurator pameran bertajuk Di Bawah Sayap Garuda, masih ingat bagaimana karya-karya senior-seniornya saat itu menggebrak. Ketika itu, 1979, ia masih di semester I Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Ia menonton pameran kelompok Pipa di Gedung Seni Sono Yogya. Pameran itu begitu berani, sarat kritik so-sial, dan tak mungkin dapat ditemukan pada generasi sebelumnya. Ada lukisan yang mengimitasi Night Watch (Penjaga Malam) karya Rembrandt, yang pen-jaganya diganti menjadi tentara Indonesia. Ada Monalisa yang raut mukanya Nyonya Tien Soeharto.

”Pameran itu mbeling sekali. Kata-lognya tipis, stensilan, isinya gambar dan maki-maki,” kata Hendro. Pamer-an di bulan September itu dibuka oleh gelandangan, yang sehari-hari menggembel di depan Gedung Seni Sono, yang oleh anak-anak Pipa diberi ”honor” seribu rupiah. Setelah tiga hari pameran itu ditutup paksa oleh polisi. ”Saya ingat waktu itu Haris menampilkan karya: sebuah tube cat raksasa penyok dengan isi yang memlotot keluar berbentuk penis.”

Pada 1970-an, atmosfer intelektual Yogyakarta sangat kondusif. Di ASRI, Haris bersama 17-an temannya seperti Bonyong Murni Adhi, Ronald Manullang, Redha Sorana (alm.), Gendut Riyanto (alm.), mempersoalkan doktrin para dosen di kampus yang menekan-kan setiap seniman harus memburu kepribadian. Setiap perupa harus memiliki ciri khusus, karakter tersen-diri. ”Kasarnya seperti begini, bila Fadjar Sidik yang sudah memiliki ciri khas -abstrak berbentuk kotak-kotak, ia ma-ka dianggap keluar dari kepribadiannya bila kemudian melukis dengan bentuk lonjong-lonjong,” kata Haris.

Lambat-laun, yang mereka persoalkan bukan identitas dalam soal keseni-rupaan saja, tapi juga persoalan jargon-jargon identitas dalam konteks politik nasional. Itu karena mereka giat nongkrong di Seni Sono, yang menjadi lokasi berkumpul intelektual, wartawan, sastrawan, aktivis mahasiswa kampus lain. Haris mengakui cakrawalanya terbentuk di situ.

”Saat itu terjadi poros Gampingan-Malioboro-Bulak Sumur yang titik temunya di Seni Sono,” kenang Haris. Di sana sering mereka berdiskusi tentang persoalan-persoalan politik dan kebudayaan. ”Dari Kampus UGM yang sering datang, misalnya, mahasiswa-mahasiswa Filsafat seperti Halim H.D., Simon Hate, Rahini Ridwan.”

Pameran pertama komunitas Pipa 1977. Haris mengetengahkan gambar Garuda dan Red Baby Box . ”Saya menampilkan boneka-boneka bayi dalam boks darah dengan jarum-jarum suntik,” katanya. Pada pameran kedua, 1979, ia muncul dengan tube penis itu.

Haris ingat saat itu Jack Body, komposer Selandia Baru, ikut terlibat dalam pameran itu. Juga Sapto Rahardjo yang kala itu masih SMA. Ia mengakui diskusi-diskusi dalam gerakan m-emang tak melahirkan manifesto yang terwacana dalam sebuah buku seperti Ge-rakan Seni Rupa Baru. Ia melihat perbedaan utama Pipa dengan eksponen Gerakan Seni Rupa Baru adalah Pipa lebih menekankan kritik sosial.

Kini, 20 tahun setelah ”lenyap”, terbenam dalam kerja di dunia grafis, ia muncul dengan dua tema yang digelutinya sejak dulu: Garuda dan bayi. Agaknya ia terus memendam hasrat akan dua hal itu. Haris mengaku sejak kecil di mana-mana dari sekolah sampai kelurahan ia menemui lambang Garuda. Namun, visualisasi lambang Garuda kita itu, menurut dia, secara desain ”miskin”. ”Kurang Indonesia sekali.”

Di pameran ini ia menampilkan seri lukisan Kepala Garudaku. Mungkin seperti itulah Garuda yang diharapkan. Lebih banyak ornamen. Meriah. Sosok lebih jantan, tapi terlihat dandy. Kenes. Paruhnya kuning keemasan, bulu-bulunya mengkilap. Tapi juga gambarnya menampilkan parodi. Diperlihatkan anak menangis justru karena tak bisa menjamah Garuda yang molek itu.

Yang menarik adalah lukisan bayi-bayi Haris. Bayi itu semuanya dirajah dengan gambar-gambar Garuda. Menurut Hendro, boleh dibilang Haris adalah termasuk perupa kita yang memelopori penggunaan obyek gambar anak-anak untuk sebuah refleksi kritis. Terakhir adalah karyanya pada 1985. Dia membuat instalasi boneka di pameran di Ancol, Jakarta. ”Ia seolah membuat kuburan boneka. Sangat miris sekali,” kenang Hendro. Orang juga ingat Haris adalah perupa yang suka dengan bebat-membebat. Pada 1982, ia mengomando puluhan mahasiswa seni rupa, berbelit perban seperti mumi mengendarai sepeda motor yang meraung-raung ke-liling jalan-jalan Yogya.

Namun, dalam pameran ini, rasa tragik, rasa memalukan, itu tak muncul. Bayi-bayi itu ditampilkan dengan aneka kepolosannya. Tak ada darah, selang infus, atau jarum suntik. Wajah-wajahnya sehat tidak dekil, kurus atau compang camping. Tapi dia menampilkan tato di seluruh tubuh bayi mulai saat bayi itu tampak mengantuk, kedinginan, menggigil dalam selimut sampai yang tengah merangkak. Tato itu rapi dan detail. Seolah dikerjakan oleh para tetua Mentawai.

”Dulu bayi-bayi saya bebat, sekarang saya tato.” Tato di situ, menurut dia, juga adalah simbol dari keperihan. Lihatlah seri Yang Tersirat Sejak Lahir. Bayi-bayi dengan rajah Garuda di sekujur tubuhnya memiliki sayap. Ada yang kupingnya bersayap, ada yang punggungnya bersayap. Sayap itu tapi tak bisa membuat mereka terbang.

Haris juga membuat instalasi puluh-an kaleng krupuk. Berjudul Generasi Kerupuk , kaleng-kaleng itu ia beri sa-yap-sayapan, ia susun, tumpuk seperti sebuah monumen. Di dalam kaleng-kaleng itu ada boneka bayi-bayi berwajah muram. Mereka seolah terkurung tak bisa ke mana-mana, meski kalengkaleng itu memiliki sayap-sayap.

Seperti itulah potret Indonesia kini di mata pelukis kelahiran Delanggu ini. Tanah air ini belum rampung, meski ekspresi rupanya tak lagi meluap-luap atau liar. Garuda baginya masih terluka dan masa depan masyarakat masih seperti bayi-bayi yang tak sadar ada tatonya itu.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus