Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH baik debat soal angka kemiskinan di Indonesia diakhiri saja. "Hari gini" bukan waktunya buat ber-debat, melainkan saatnya berupaya mengangkat yang miskin ke taraf hidup yang lebih baik. Mengurangi kemiskinan dan pengangguran memang persoalan berat yang dihadapi pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Target Kabinet Indonesia Bersatu yang dibentuk Yudhoyono menurunkan angka kemiskinan dari 16,6 persen pada 2004 menjadi 8,2 persen lima tahun kemudian masih jauh dari kenyataan. Mengurangi tingkat pengangguran dari 9,7 persen menjadi 5,1 persen di akhir 2009 juga masih jauh panggang dari api.
Mungkin dua persoalan kait-mengait itulah yang membuat kinerja pemerintah Yudhoyono belum tampak kinclong menjelang akhir tahun kedua ini. Itu sebabnya kritik ber-tebaran. Isu kemiskinan dan pengangguran yang memang sensitif kemudian berkembang menjadi isu politik yang panas. Presiden Yudhoyono dianggap meleset ketika memaparkan angka kemiskinan dalam pidato pengantar Nota Keuangan 2007 di DPR, Rabu dua pekan lalu. Bukan ha-nya meleset, pernyataan Presiden bahwa tingkat kemiskin-an telah berkurang dari 23,4 persen pada 1999 menjadi 16 per-sen pada 2005 dinilai sebagai menyembu-nyikan fakta.
Barisan pengkritik Presiden, misalnya Tim Indonesia Bangkit, mencatat dua poin penting di balik angka-angka tadi. Pertama, jika tahun 1999 sampai 2005 yang jadi patokan, artinya ada sukses periode pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang ikut diklaim pemerintah yang sekarang. Kedua, jika faktor kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 2005 ikut dihitung, angka kemiskinan pada Juli 2005 mencapai 18,7 persen dan pada Maret 2006 bahkan sudah 22 persen.
Jadi, penjelasan pemerintah dinilai kurang komplet, juga tidak disertai catatan kaki yang memadai. Barangkali kesulitan memberikan catatan kaki itu datang lantaran hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2006 yang dilakukan Badan Pusat Statistik baru akan dilansir September mendatang. Karena perlu menyebut data, Presiden akhirnya mengambil angka tahun sebelumnya.
Sangat mungkin Tim Indonesia Bangkit benar bahwa kemiskinan meningkat. Secara kasatmata, kehidupan masya-rakat setelah kenaikan harga BBM memang lebih berat. Harga makanan dan barang naik serta ongkos transportasi melonjak. Pemutusan hubungan kerja juga terjadi di mana-mana lantaran banyak perusahaan tak mampu lagi menanggung kenaikan biaya produksi. Mereka juga kesulit-an menjual produk akibat daya beli masyarakat menyusut.
Kendati demikian, bertambahnya jumlah orang miskin tak bisa dibebankan sepenuhnya kepada pemerintahan Yudhoyono. Beleid kenaikan harga BBM tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi secara keseluruhan. Lonjakan harga minyak mentah di pasar internasional membuat subsidi BBM dalam APBN 2005 membengkak dan itu menaikkan defisit anggaran. Untuk menyehatkan anggaran, salah satu yang bisa dilakukan adalah mengurangi subsidi BBM.
Kenaikan harga BBM yang begitu drastis juga berkait erat dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya. Dengan harga minyak yang terus menanjak mulai Mei 2004, mestinya pemerintah menaikkan harga BBM secara gradual untuk mengurangi pembengkakan subsidi yang saat itu mencapai tujuh kali lipat. Tapi pemerintahan Mega tak melakukannya pada 2004. Subsidi membengkak. Problem menumpuk di belakang dan akhirnya jatuh di pundak Yudhoyono.
Tapi sudahlah, sebaiknya kita tidak terlalu larut dalam perdebatan soal angka-angka ini. Akan lebih bermakna jika kita melecut pemerintah untuk menyiapkan anggar-an yang lebih sehat. Dengan kondisi makroekonomi yang -kondusif, seharusnya Yudhoyono bisa segera memenuhi janji kampanyenya. Banyak cara bisa dilakukan. Mempercepat pencairan anggaran pembangunan, memperluas proyek-proyek infrastruktur yang padat karya, juga me-mulihkan sektor riil secara bertahap akan memper-baiki iklim usaha. Ditambah kerja lebih keras, pengangguran akan berkurang, kemiskinan terkikis. Ini yang urgen, bukan debat tak berkesudahan. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo