Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Tempo Plus

Poster dari Sudut Harajuku

Sebanyak 43 perancang grafis dari Jepang memamerkan poster di Jakarta. Sedikit kata, kuat dalam citra.

28 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Poster dari Sudut Harajuku
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sudut Harajuku yang me-riah, mata Takuya Onuki terus lekat pada pusat perbelanjaan La Foret. Di toko barang-barang mode terkenal di distrik paling bergaya di Jepang itu, puluhan anak muda sedang asyik memilih-milih pa-kaian. Biasanya, setiap Ahad, de-ngan baju-baju yang modis itu, mereka akan mejeng di salah satu ruas jalan di distrik ini. Takuya terkesima oleh keme-riahan itu.

Perancang grafis berusia 48 tahun itu melihat Jepang yang telah jauh berubah. Mode begitu ampuh menyedot perhatian, juga uang, anak muda. Jepang masa kini, setidaknya di sepotong jalan itu, menurut Takuya, adalah Jepang yang tenggelam dalam konsume-risme yang melenakan.

Ide kreatifnya lalu muncul. Desainer lulusan Seni Rupa, Universitas Tama, Jepang, itu kemudian melukis sebuah poster. Ia menaruh gambar buldoser dengan latar putih. Buldoser itu tampak mendorong gundukan pakaian aneka warna. Di sudut atas poster itu terpampang kata ”La Foret”.

Ya, Harajuku, bagi Takuya, tak le-bih dari timbunan baju aneka macam co-rak yang pada akhirnya toh bermuara di tempat pembuangan. Ia seperti ingin mengatakan mode tak lebih dari sampah. Sebuah protes atau ejekan yang sinis dan dalam.

Poster berjudul La Foret Annual- Theme Advertisement itu menjadi satu dari 75 poster kontemporer Jepang yang dipamerkan di gedung Summitmas I, Jakarta, pekan lalu. Selain kar-ya Takuya, pameran yang digelar Pu-sat Kebudayaan Jepang itu menampilkan rancangan 43 desainer lain. Me-nurut panitia, pameran bertajuk Jepang -dalam Poster ini ingin menghadirkan -denyut kehidupan kekinian Jepang.

Rangkaian poster yang ditampil-kan memang mewakili perkembangan zaman. Dulu, kala rezim fasisme militer Jepang di Indonesia berkuasa, peme-rintah Jepang pernah mengusung seni poster sebagai bagian dari mesin pe-rang Asia Timur Raya. Poster-poster yang terpampang pun mengusung propaganda, penuh slogan dan membakar, misalnya ”Awas Mata-Mata Musuh”, ”Tiga A (Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia)”, dan ”Amati Heiho”.

Kini poster-poster Jepang itu hadir tanpa ”pekik”: sedikit kata, kuat dalam citra. Kata-kata tampak diredam. Kalaupun ada, terlihat samar. Meminjam ucapan para desainer, poster Jepang kali ini datang dengan banyak memakai ellipsis—melenyapkan unsur kata atau gambar yang tak pokok bagi pemahaman.

Dalam rancangan Osamu Fukushima, Heisei, Chikamatsu, Hangonko, misalnya, digambarkan dua sosok kepala, lelaki-perempuan, yang terbungkus kain. Dalam latar abu-abu, dua ke-pala itu tampak asyik bermesraan. Kata-kata dalam huruf kanji yang kecil terlihat terselip di sudut bawah pos-ter itu. Karya desainer alumnus Institut Desainer Jepang, Hiroshima, itu me-nyuguhkan representasi visual lelaki-perempuan yang kehilangan kontrol diri dengan cara indah dan misterius.

Gambar-gambar dalam poster-pos-ter itu umumnya tak digunakan secara denotatif: yang dimaksud bukanlah obyek yang tergambar. Gambar-g-ambar ha-dir secara konotatif, yang dituju adalah asosiasi pikiran yang tergugah obyek itu. Coba simak rancangan Kazumasa Nagai, Ueno Zoo. Pada gambar, kita melihat sosok singa berwarna- merah. Dilatari warna biru, gambar si-nga berbentuk abstrak dengan kepala mirip matahari terbit itu dipilih Kazumasa untuk menciptakan kesan dan citra kuat bagi kebun binatang di Tokyo, Ueno.

Ada pula poster yang tetap kental dengan nuansa tradisi Jepang. Poster Parco Grand Bazaar karya Hiroshi Yonemura, misalnya, dimaksudkan untuk mengiklankan bazar musim panas di rumah mode Parco. Di balik kata ”Parco” dengan ukuran besar terlihat seekor ikan maskoki tampak tengah berenang. Hiroshi Yonemura dilahirkan di Kanazawa, salah satu kota tradisional Jepang. Ia merasa bahwa pekan-pekan pertama musim panas selalu terkait erat dengan kegiatan menangkap ikan maskoki, salah satu ikan khas Jepang.

Pada poster film Sharaku yang di-ciptakan pada 1995, Katsumi Asaba hendak memperingati 200 tahun kemunculan maestro ukiyo-e, seni cukil kayu Jepang, Toshusai Sharaku. Ia meng-gambar sesosok kepala yang sedang mengintip dari balik tirai. Ia memenuhi kepala itu dengan huruf kanji yang tampak bagai sebuah seni cukil.

Untuk tema-tema kontemporer, selain karya Takuya, rancangan Katsu-nori Aoki bertajuk La Foret Grand Bazaar bisa menjadi contoh. Ber-latar merah saga, dalam poster itu tampak dua ikon pendekar era digital te-ngah bertarung. Menurut Katsunori, ide karya-nya itu diambil dari game Vir-tual Fighter. Ide dasar poster yang dipasang di toko barang-barang mode La Foret itu i-ngin mengatakan, sebuah bazar -pa-da dasarnya adalah sebuah pertanding-an.

Bagi para desainer Indonesia, pameran yang didukung Japan Graphic Designers Association itu bisa menjadi ajang belajar pelbagai bentuk retorika poster. Sedangkan bagi penikmat seni dari kalangan awam, pameran itu se-tidaknya bisa memperluas apresiasi. Sebab, menikmati selembar poster bisa juga berarti menikmati sebait puisi.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus