PULUHAN orang mengacungkan tangan dan berseru "Setuju!" Maka
resolusi yang mengusulkan perdamaian Irak-lran pun dibacakan di
hadapan sekitar 200 hadirin.
Bukan, ini bukan acara muktamar atau kongres resolusi yang
dipungut 27 September itu -- bersama beberapa saran lain --
berada dalam kerangka sebuah seminar tentang sejarah Islam.
Diselenggarakan oleh Majlis Ulama Daerah Istimewa Aceh bersama
Pemda Kabupaten Aceh Timur, di Kompleks Pertamina Rantau, Kuala
Simpang, 25-30 bulan lalu, acara ini membahas 18 makalah dari
Indonesia (termasuk Prof Elamka dan Dr. Ruslan Abdulgani) dan
Malaysia. Juga dihadiri peninjau dari Yale University di AS,
Ecole Francail D'Extreme Orient, dan Universitas Hyderabad,
Pakistan.
Tujuan yang tampak paling menonjol: mencari sebuah tempat, di
Aceh, yang secara persis bisa dianggap daerah atau kerajaan
Islam yang pertama di Nusantara -- meski fokus ini agak kabur,
karena luasnya pembicaraan.
Sudah disepakati, dalam seminar sejarah masuknya Islam ke
Indonesia di Medan, 1963, Islam masuk ke sini langsung dari Arab
-- sejak abad pertama Hijri. Dalam seminar berikutnya tentang
Islam di Aceh, 1978, disimpulkan pula bahwa tiga kerajaan
merupakan daerah Islam pertama: Perlak, Lam Huri dan Pasai.
Hanya, manakah dari tiga daerah itu yang paling afdol, belum
dibahas.
Sampai datangnya seminar kali ini, yang memutuskan Kerajaan
Perlak sebagai didirikan pada 225 Hijri (abad IX Masehi), dan
merupakan yang pertama dari yang tiga.
Putri Nurul A'la
Dua kertas kerja mencalonkan Perlak ini. Pertama dari Tim
Sejarah Aceh Timur, didirikan Pemda kabupaten setempat empat
tahun lalu, dan kedua dari Prof. A. Hasjmy, Ketua Majlis Ulama
Provinsi dan Rektor IAIN Ar-Raniri Banda Ach, yang juga ketua
panitia seminar. Lokasi kerajaan itu diduga di sekitar Kampung
Paya Meuligou sekarang, di tepi Sungai Peureula.
Di situ syahdan terdapat dua kuburan, yang diduga kubur Sultan
'Alaiddin Saiyyid Maulana 'Abdul 'Azi Syah, raja pertama, serta
permaisurinya Putri Murail Meurah Mahdum Khudawy. Di Delta
Krueng Tuan juga terdapat makam lain dari Putri Nurul A'la.
permaisuri Sultan Ahmad Syah (501-527 Hijri) yang dalam Hikayat
Nurul A'la -- masyhur di Aceh -- disebut begitu mustahil cantik
moleknya.
Hikayat itu sendiri merupakan bahan pertimbangan. Juga Hikayat
Raja-Raja Pasai dan Hikayat Banta Beuransah (tentang Perlak).
Tapi terutama yang pokok adalah naskah Izharul Haqq fi
Mamlakatil Farlah wal Fasi (Menyingkap Kebenaran tentang
Kerajaan Perlak dan Pasai) karangan Abu Ishaq Makarani Al Fasi.
Hasjmy, seperti juga tim sejarah tadi, memang beranjak dari
bahan-bahan lokal. Hanya rupanya tidak semua orang sangat
menyetujui kekuatannya. Naskah Izharul Haqq itu, misalnya, yang
didapat hanyalah transkripsi (dari huruf Arab Melayu) oleh M.
Yunus Jamil (almarhum), dari salinan oleh Lebai Pemaron Akub
Gayo terhadap naskah aslinya. Itu pun hanya lembaran lepas hanya
sebagian. Dan dalam yang sebagian itu konon terdapat cukup
banyak pertentangan tahun -- sehubungan dengan pemerintahan
raja-raja maupun nama-nama rajanya.
Tahun-tahun yang diceritakan sendiri berada di abad III H. (abad
X M). Tapi Abu Ishaq Makarani Pase, pengarangnya, hidup di masa
Putri Narisyah memerintah Pasai, abad XV M. Sedang Drs. Hasan
Muarif Ambary, Kepala Bidang Arkeologi Islam pada Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional Departemen P & K, mengatakan dalam
makalahnya pada seminar itu "Melihat gaya penulisan, naskah ini
seharusnya dibuat tidak lebih dari abad XVIII atau XIX
(Masehi)." Karena semua sebab itulah, menurut dia, "masih kita
perlukan memperoleh data banding yang relevan."
Dan data banding itu, karena kurang kuat bila hanya hikayat,
adalah arkeologi. Hasan Ambary sendiri enam tahun lalu sudah
menengok kuburan-kuburan tua di Kecamatan Peureuhl itu. Juga
Prof. Dr. N.A. Baloch, ahli Sejarah Islam dari Universitas
Hyderabad, Pakistan -- setelah sepuluh tahun sebelumnya Tgk. M.
Arifin Amin yang kemudian menjadi Ketua Tim Sejarah Aceh Timur,
berusaha mencari petunjuk. Sayangnya, di dua kubur di kompleks
yang pada 1979 sudah dipugar Dinas Purbakala. Aceh itu, tidak
terdapat tanda-tanda yang meyakinkan.
Harun Al Rasyid
Toh Prof. Hasjim maupun tim Aceh Timur, seperti juga para
peserta lain, makin sekali pada kesimpulan seminar itu --
meskipun dalam redaksi keputusan masih ditaruh catatan "perlu
diperkuat dengan penelitian-penelitian arkeologi." Sebab meski
penelitian arkeologi tidak (atau belum?) memberi kesimpulan
positif, memang tidak pernah terdengar sumber lain yang
menyatakan yang lain dari kerajaan Islam pertama di Aceh. Atau
belum, siapa tahu.
Betapapun, seminar juga memutuskan mendirikan sebuah monumen
yang akan menjadi tanda kedatangan Islam pertama kali, di
kampung bekas menteri P & K Dr Syarif Thayeb itu. Disebut
Monumen Islam Asia Tenggara (karena dari sinilah Islam menyebar
ke seluruh kawasan), batu pertamanya telah diletakkan oleh
Sekjen Departemen Agama Drs. Kafrawi MA 30 Septeml)el lalu.
Menteri Agama juga sudah menyumbang Rp 5 juta -- untuk sebuah
bangunan berbentuk kubah segi lima, yang akan juga dilengkapi
masjid dan madrasah, dan direncanakan berharga Rp 2 milyar.
Dari mana biaya selebihnya?
Selain dari Pemda Aceh Timbul dari berbagai pihak, terutama
diharapkan Bahrain -- seperti dikatakan Hasjm pada TEMIO.
Sebab Bahrain (dan Hasjmy sendiri pernah ke sana, dan bertemu
para pejabat) dianggap bersangkut paut dengan riwayat
pengislaman perlak dahulu. Itu di masa Khalifah Al Ma'mun, putra
Harun Al Rasyid yang memerintah di Baghdad. Layak juga, ada
resolusi menyangkut perang Teheran-Baghdad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini