Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bahasa, Dari Tangan Anak

Kegiatan pada bulan bahasa. Ada pertemuan bahasa & sastra, penelitian pemakai bahasa lewat TVRI, RRI & koran, pelajaran bahasa Indonesia di SD masih kurang. (pdk)

11 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARANGKALI karena tak kelewat berat, pelajaran mengarang -- di SD - cukup digemari. "Kalau diberitahu ada pelajaran mengarang anak-anak bertepuk gembira," tutur seorang ibu guru di SDN Jatirawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur. Ia mengajar Bahasa Indonesia di kelas VI. Tapi guru yang sudah 17 tahun mengajar ini kecewa melihat hasil karangan anak-anak. Hanya satu dua saja yang baik, selebihnya masih berantakan. Kelemahan umum yang dijumpai: susunan kalimat tak menentu, huruf besar dan alinea sering salah tempat, titik atau koma tak terkecuali. Pendek kata, "penggunaan bahasa mereka masih jauh dari kaidah bahasa Indonesia yang semestinya. " Di kota lain, gejala begini umum dijumpai. Tapi bukankah hal itu lumrah bagi anak SD? BM Syam, guru SDN 43 Pekanbaru, mengemukakan bahwa dibanding 5 tahun lalu, kini pelajaran mengarang jauh merosot. Ia menuding sistem evaluasi dan ujian sekolah sebagai biangnya. "Dalam kurikulum, mengarang harus diajarkan. Tapi dalam ujian maupun EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir), mengarang dianggap tidak penting," katanya. Pelajaran mengarang tidak berpengaruh sama sekali bagi kenaikan kelas atau kelulusan seorang murid. Maka, ada kalanya mengarang dianggap fakultatif. "Batu diajarkan kalau gunanya memang senang," ujarnya lagi. Seorang guru SD di Jakarta berpendapat sama. "Sepuluh tahun lalu," katanya, "karangan anak-anak masih terkontrol baik. Bahasanya rapi dan sopan." Ia menilai cara berpikir masyarakat sekarang sebagai salah satu sebab kemerosotan itu. Orang sekarang, dia bilang, "lebih mementingkan sampainya pesan daripada penggunaan bahasa yang baik." Melihat sempitnya waktu untuk pelajaran mengarang -- rata-rata diberikan sebulan sekali di tiap sekolah -- Syam menyimpulkan, "anak yang karangannya baik, bukanlah hasil didikan sekolah." Dan ini benar. Atifa Ishanti Harun, misalnya. Ia baru 7 tahun, murid kelas II SDN Pancoran 01 Pagi. Ia belum mendapat pelajaran mengarang di sekolah. Tapi beberapa karyanya benupa sajak, atau cerpen, seperti jug lagu, sudah muncul di majalah, Gurunya adalah buku. Lalu, Tegar Pambangun Bayu Putro, 9 tahun, anak Sala. Ia mengarang sejak kelas II, cerpennya kini sudah 20-an. Ia belajar dari bapaknya, N. Sakdani Darmopamujo, pengarang Jawa dan Pimpinan Redaksi Mingguan Dharma Nyata. Waluyantoro, 12 tahun, mengaku bisa mengarang karena pengaruh kakaknya yang sering mengisi majalah Gatot Kaca dan Melati ia mukim di Yogya. Dan Fitri Dianasari, murid kelas III Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Pondok Cina, Depok, bisa mengarang karena senang mendengarkan dongeng. Dua hari sekali dibelikan buku, dan ia memang "kutu buku". Ia lebih senang membuat sajak, karyanya ada sekitar 20 buah. Nilai mengarang memang tak pernah masuk buku rapor -- dari dulu. Yang ada ialah nilai untuk Bahasa Indonesia. Untunglah, masih ada bapak atau ibu guru yang menganggap pelajaran mengarang cukup penting, meski kurang diberikan - cara intensif. Misalnya, kata guru lain di SDN Jatirawamangun: "Dengan mengarang bisa dilihat kemampuan, perbendaharaan dan tata bahasa anak-anak." Dan Ny. Eva Irawan, guru SD swasta Ade Irma Suryani Nasution, Menteng, Jakarta Pusat, menyebut, "mengarang bisa dianggap sebagai latihan membuat laporan atau menyusun skripsi." Di SD swasta tersebut terakhir itu, pelajaran mengarang cukup mendapat perhatian serius. Pada saat tertentu, diselenggarakan lomba mengarang dan disediakan hadiah berupa buku, tempat pensil atau balpoin. Hasil karangan anak-anak sini relatif memang baik. Bahasanya cukup sopan. Bahasa sehari-hari seperti dibeliin atau kagak, tak sampai menelusup ke dalam karangan. Dina, murid kelas VI, dalam karangan berjudul Pahlawan Cilik menuliskan begini . . . Mendengar suara peluru berdesingan, kedua ajudan Pak Nasution terbangun. Mereka segera keluar untuk melihat keadaan. Lettu Tendean, bertanya, "ada apa? " Ia tidak tahu yang berada di depannya adalah pasukan PKI. Otti, kelas V, menulis tentang riwayat Ade Irma Suryani Nasution: Mardiana hendak keluar sambil menggendong Ade. Tapi di depan pintu sudah menghadang, gerombolan PKI, yang langsung menembak Ade beberapa kali. Tapi Ade tidak menangis Bu Nas bertanya, "sakitkah Ade?" Jawab Ade, "sakit mama, sakit sekali. " Kata Ny Eva, dibanding 7 tahun lalu -- sewaktu ia mula-mula mengajar -- kalangan anak-anak kini lebih baik. Sebabnya antara lain, "sekarang buku atau majalah anak-anak banyak sekali. Tidak seperti dulu, susah didapat." Tapi secara umum pelajaran mengarang atau bahasa Indonesia, agaknya mengendur. Ini diakui oleh Prof. Imran Halim, Ketua Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Para guru sendiri, katanya, banyak yang belum menguasai bahasa Indonesia secara baik dan benar. Pendapat ini ditunjang oleh Dra. Wedhawati, Pejabat Sementara Kepala Balai Penelitian Bahasa Yogyakata. Dalam sayembara mengarang untuk para guru TK hingga SLA yang diselenggarakan belum lama ini," hasilnya kurang memuaskan." Kelemahan berkisar soal alinea, susunan kalimat atau ejaan. Contoh yang Baik Dan hampir di semua daerah, kekurangan itu masih ditambah dengan terampurnya bahasa ibu. Di Bandung, menurut A. Taufik, guru bahasa di SD Merdeka 5/1, anak-anak sering mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda. Di Sulawesi Utara, tak jauh beda. Eli Mongdong, Kepala SD RK Desa Wailan, Minahasa, sering menjumpai "karangan yang menggelikan" akibat pencampuradukan itu. Dan faktor penyebabnya tak lain dan tak bukan, ialah kurangnya perbendaharaan bahasa Indonesianya. Soalnya, bahasa pergaulan sehari-hari adalah bahasa daerah, dan buku bacaan agaknya jarang disentuh anak-anak itu. Tapi di SDN Teladan Jln, Ungaran, Yogyakarta, keadaannya agak mendingan. Sejak kelas I, kata Sarwoko, Kepala Sekolah merangkap guru, "Kami membiasakan murid memakai bahasa Indonesia." Bahkan pelajaran bahasa daerah (Jawa), pengantarnya menggunakan bahasa Indonesia. Sebab kalau tidak anak-anak menertawai gurunya." Itu tentu merupakan perkecualian. Dan mungkin sistem SDN Teladan di ogya itu merupakan contoh yang baik lalam membina kemampuan berbahasa Indonesia -- sejak SD.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus