BARANGKALI karena tak kelewat berat, pelajaran mengarang -- di
SD - cukup digemari. "Kalau diberitahu ada pelajaran mengarang
anak-anak bertepuk gembira," tutur seorang ibu guru di SDN
Jatirawamangun 11 Pagi, Jakarta Timur. Ia mengajar Bahasa
Indonesia di kelas VI.
Tapi guru yang sudah 17 tahun mengajar ini kecewa melihat hasil
karangan anak-anak. Hanya satu dua saja yang baik, selebihnya
masih berantakan. Kelemahan umum yang dijumpai: susunan kalimat
tak menentu, huruf besar dan alinea sering salah tempat, titik
atau koma tak terkecuali. Pendek kata, "penggunaan bahasa mereka
masih jauh dari kaidah bahasa Indonesia yang semestinya. "
Di kota lain, gejala begini umum dijumpai. Tapi bukankah hal itu
lumrah bagi anak SD? BM Syam, guru SDN 43 Pekanbaru,
mengemukakan bahwa dibanding 5 tahun lalu, kini pelajaran
mengarang jauh merosot. Ia menuding sistem evaluasi dan ujian
sekolah sebagai biangnya. "Dalam kurikulum, mengarang harus
diajarkan. Tapi dalam ujian maupun EBTA (Evaluasi Belajar Tahap
Akhir), mengarang dianggap tidak penting," katanya. Pelajaran
mengarang tidak berpengaruh sama sekali bagi kenaikan kelas atau
kelulusan seorang murid. Maka, ada kalanya mengarang dianggap
fakultatif. "Batu diajarkan kalau gunanya memang senang,"
ujarnya lagi.
Seorang guru SD di Jakarta berpendapat sama. "Sepuluh tahun
lalu," katanya, "karangan anak-anak masih terkontrol baik.
Bahasanya rapi dan sopan." Ia menilai cara berpikir masyarakat
sekarang sebagai salah satu sebab kemerosotan itu. Orang
sekarang, dia bilang, "lebih mementingkan sampainya pesan
daripada penggunaan bahasa yang baik."
Melihat sempitnya waktu untuk pelajaran mengarang -- rata-rata
diberikan sebulan sekali di tiap sekolah -- Syam menyimpulkan,
"anak yang karangannya baik, bukanlah hasil didikan sekolah."
Dan ini benar. Atifa Ishanti Harun, misalnya. Ia baru 7 tahun,
murid kelas II SDN Pancoran 01 Pagi. Ia belum mendapat pelajaran
mengarang di sekolah. Tapi beberapa karyanya benupa sajak, atau
cerpen, seperti jug lagu, sudah muncul di majalah, Gurunya
adalah buku.
Lalu, Tegar Pambangun Bayu Putro, 9 tahun, anak Sala. Ia
mengarang sejak kelas II, cerpennya kini sudah 20-an. Ia belajar
dari bapaknya, N. Sakdani Darmopamujo, pengarang Jawa dan
Pimpinan Redaksi Mingguan Dharma Nyata.
Waluyantoro, 12 tahun, mengaku bisa mengarang karena pengaruh
kakaknya yang sering mengisi majalah Gatot Kaca dan Melati ia
mukim di Yogya. Dan Fitri Dianasari, murid kelas III Madrasah
Ibtidaiyah Muhammadiyah Pondok Cina, Depok, bisa mengarang
karena senang mendengarkan dongeng. Dua hari sekali dibelikan
buku, dan ia memang "kutu buku". Ia lebih senang membuat sajak,
karyanya ada sekitar 20 buah.
Nilai mengarang memang tak pernah masuk buku rapor -- dari dulu.
Yang ada ialah nilai untuk Bahasa Indonesia. Untunglah, masih
ada bapak atau ibu guru yang menganggap pelajaran mengarang
cukup penting, meski kurang diberikan - cara intensif.
Misalnya, kata guru lain di SDN Jatirawamangun: "Dengan
mengarang bisa dilihat kemampuan, perbendaharaan dan tata
bahasa anak-anak." Dan Ny. Eva Irawan, guru SD swasta Ade Irma
Suryani Nasution, Menteng, Jakarta Pusat, menyebut, "mengarang
bisa dianggap sebagai latihan membuat laporan atau menyusun
skripsi."
Di SD swasta tersebut terakhir itu, pelajaran mengarang cukup
mendapat perhatian serius. Pada saat tertentu, diselenggarakan
lomba mengarang dan disediakan hadiah berupa buku, tempat pensil
atau balpoin.
Hasil karangan anak-anak sini relatif memang baik. Bahasanya
cukup sopan. Bahasa sehari-hari seperti dibeliin atau kagak, tak
sampai menelusup ke dalam karangan. Dina, murid kelas VI, dalam
karangan berjudul Pahlawan Cilik menuliskan begini . . .
Mendengar suara peluru berdesingan, kedua ajudan Pak Nasution
terbangun. Mereka segera keluar untuk melihat keadaan. Lettu
Tendean, bertanya, "ada apa? " Ia tidak tahu yang berada di
depannya adalah pasukan PKI.
Otti, kelas V, menulis tentang riwayat Ade Irma Suryani
Nasution: Mardiana hendak keluar sambil menggendong Ade. Tapi
di depan pintu sudah menghadang, gerombolan PKI, yang
langsung menembak Ade beberapa kali. Tapi Ade tidak menangis Bu
Nas bertanya, "sakitkah Ade?" Jawab Ade, "sakit mama, sakit
sekali. "
Kata Ny Eva, dibanding 7 tahun lalu -- sewaktu ia mula-mula
mengajar -- kalangan anak-anak kini lebih baik. Sebabnya antara
lain, "sekarang buku atau majalah anak-anak banyak sekali. Tidak
seperti dulu, susah didapat."
Tapi secara umum pelajaran mengarang atau bahasa Indonesia,
agaknya mengendur. Ini diakui oleh Prof. Imran Halim, Ketua
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Para guru sendiri,
katanya, banyak yang belum menguasai bahasa Indonesia secara
baik dan benar. Pendapat ini ditunjang oleh Dra. Wedhawati,
Pejabat Sementara Kepala Balai Penelitian Bahasa Yogyakata.
Dalam sayembara mengarang untuk para guru TK hingga SLA yang
diselenggarakan belum lama ini," hasilnya kurang memuaskan."
Kelemahan berkisar soal alinea, susunan kalimat atau ejaan.
Contoh yang Baik
Dan hampir di semua daerah, kekurangan itu masih ditambah dengan
terampurnya bahasa ibu. Di Bandung, menurut A. Taufik, guru
bahasa di SD Merdeka 5/1, anak-anak sering mencampuradukkan
bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda. Di Sulawesi Utara, tak
jauh beda. Eli Mongdong, Kepala SD RK Desa Wailan, Minahasa,
sering menjumpai "karangan yang menggelikan" akibat
pencampuradukan itu. Dan faktor penyebabnya tak lain dan tak
bukan, ialah kurangnya perbendaharaan bahasa Indonesianya.
Soalnya, bahasa pergaulan sehari-hari adalah bahasa daerah, dan
buku bacaan agaknya jarang disentuh anak-anak itu.
Tapi di SDN Teladan Jln, Ungaran, Yogyakarta, keadaannya agak
mendingan. Sejak kelas I, kata Sarwoko, Kepala Sekolah merangkap
guru, "Kami membiasakan murid memakai bahasa Indonesia." Bahkan
pelajaran bahasa daerah (Jawa), pengantarnya menggunakan bahasa
Indonesia. Sebab kalau tidak anak-anak menertawai gurunya."
Itu tentu merupakan perkecualian. Dan mungkin sistem SDN Teladan
di ogya itu merupakan contoh yang baik lalam membina kemampuan
berbahasa Indonesia -- sejak SD.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini