Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Empat Dasawarsa Jalan Dolorosa

Perupa Dolorosa Sinaga meluncurkan buku penanda 40 tahun perjalanan berkaryanya. Merekam persilangan kerja seni dan aktivisme Dolorosa.

8 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tepi Sungai Hue, Vietnam, perupa Dolorosa Sinaga pernah membuat sebuah patung anak laki-laki yang tegak menatap sungai. Sosok kecil itu terkungkung perancah besi yang tingginya dua kali tubuhnya. Bila angin bertiup, ujung perancah itu akan bergoyang, bersinggungan, mengeluarkan suara ribut. Dolorosa menjuduli karya itu Crisis berdasarkan kenangan akan Perang Vietnam. Patung yang dibuat Dolorosa saat menghadiri simposium seni internasional bertema “Impression of Hue” pada 1998 itu menjadi anomali di antara karya perupa lain yang turut menghiasi tepian Hue. Sungai itu adalah atraksi wisata yang terkenal dengan julukan “Sungai Parfum” karena anggrek di sepanjang tepinya akan jatuh ke air dan menguarkan semerbak wangi pada musim gugur. “Perupa lain membuat patung tentang keindahan sungai seperti perempuan membasuh rambut dan sebagainya. Saya tidak,” kata Dolorosa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena keunikan karyanya, Dolorosa menjadi satu-satunya perupa peserta simposium kala itu yang diundang makan bersama oleh seorang politikus Vietnam. Dolorosa mengingat pertemuan itu sambil tergelak. Dia ditanyai alasannya membuat karya yang begitu politis. “Saya menjawab bahwa seni adalah cara saya berpolitik,” ujar Dolorosa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya berjudul I the Witness. TEMPO/Nurdiansah

Pernyataan itulah yang tepat menggambarkan perjalanan berkarya Dolorosa yang merentang selama lebih dari empat dasawarsa. Sepanjang masa itu, karya-karya Dolorosa tak peRnah berdiri sendiri semata sebagai ekspresi estetika kesenian. Pada setiap patungnya, perupa yang juga aktivis itu selalu melekatkan permasalahan kemanusiaan, menyuarakan ketimpangan, dan menunjukkan keberpihakan yang membuat karyanya begitu kuat dan nyaring. Perjalanan seni dan aktivisme perempuan 67 tahun itu kini terdokumentasi dengan baik lewat penerbitan buku berjudul Dolorosa Sinaga: Tubuh, Bentuk, Substansi yang diluncurkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, akhir Januari lalu. Sebuah pameran kaleidoskop yang menampilkan karya-karya pilihan Dolorosa turut digelar hingga 11 Februari di Gedung B Galeri Nasional.

Pada sampul buku itu, terpajang karya Dolorosa yang disebutnya sebagai salah satu karya paling besar. Judulnya I, The Witness (2002). Dilihat dari ukuran, patung tembaga itu sebenarnya mungil saja, tak sampai setengah meter. Dolorosa membentuk sosok perempuan bersanggul dan berkebaya yang berdiri dengan kepala tegak di belakang podium. Karya itu dibuat Dolorosa setelah dia berbicara dengan ibu Ita Martadinata, penyintas pemerkosaan etnis 1998 yang dibunuh dengan keji hanya beberapa hari sebelum ia hendak bersaksi tentang kasusnya di depan Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Ini salah satu karya saya yang besar sekali karena saya ingin menyampaikan bahwa karya seni bisa bersaksi,” ucap Dolorosa. 

Karya berjudul Hanya Satu Kata Lawan. TEMPO/Nurdiansah

I, The Witness menjadi representasi strategi kreatif Dolorosa. Sebagian besar karyanya menampilkan figur perempuan. Banyak yang bersanggul, seperti kebiasaannya menggelung rambutnya. Perempuan-perempuan itu kita lihat mencoba menyampaikan sesuatu. Dalam Avante I (2001), sosok-sosok perempuan perunggu mengepalkan tangan kiri ke atas. Dalam We Will Fight (2003), para perempuan membawa wajan, menggendong anak, terlihat mencoba menghadang sesuatu dengan mulut terbuka. Ada juga Solidaritas, yang menampakkan tujuh perempuan berdiri rapat seperti pagar sambil bergandengan tangan, yang dibuat Dolorosa setelah krisis 1998 yang memakan banyak korban perempuan. Seri patung Solidaritas kini dipamerkan di kantor Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta, dan di lobi gedung Dana Moneter Internasional, Washington, DC. 

Selain itu, Dolorosa memberikan perhatian pada banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia di negeri ini, seperti peristiwa 1965 lewat karya Concise History of the Mass Murdered of 1965 in Indonesia dan kasus penghilangan paksa serta penculikan aktivis melalui Mengapa Kau Culik Anak Kami?! Namun, seperti amatan sejarawan seni Sony Karsono, patung Dolorosa tak terus-menerus menampilkan derita. Ada juga karya yang merayakan hidup dan kebahagiaan, misalnya dalam seri perempuan menari. 

Karya berjudul Concise History of the Mass Murdered of 1965 in Indonesia. TEMPO/Nurdiansah

Yang menarik, sedikit sekali karya Dolorosa yang menampilkan sosok laki-laki sehingga dalam pameran kaleidoskop itu dibuat satu bagian khusus berjudul “Dolo dan Lelakinya”. Patung lelaki Dolorosa dapat dihitung dengan jari, antara lain penyair Wiji Thukul, Gus Dur, Dalai Lama, dan Sukarno. Kepada sahabatnya, Lisabona Rahman, Dolorosa pernah mengungkapkan bahwa dia tak bisa membuat patung laki-laki. Setiap kali ia hendak membuat figur pria, tiba-tiba saja tangannya membentuk sanggul sehingga hasil akhirnya selalu saja patung perempuan. Dolorosa akhirnya berhasil membuat patung lelaki lewat seri potret yang menampilkan para laki-laki tak biasa. “Dolorosa memilih lelaki yang dengan cara mereka masing-masing memperjuangkan kemanusiaan dan karena itu terpinggirkan,” kata Lisabona.

Dua editor buku biografi Dolorosa, Alexander Supartono dan Sony Karsono, sepakat bahwa Dolorosa adalah figur sejarah. Sejarah pertama dicetak Dolorosa pada 1977, saat ia menjadi lulusan pertama Institut Kesenian Jakarta (saat itu masih bernama Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta/LPKJ) dan diwisuda langsung oleh Gubernur Ali Sadikin. Karya awal Dolorosa dipengaruhi identitasnya sebagai perempuan Batak lewat patung Batak Sarcophagus (1978).

Tiga tahun setelah lulus dari LPKJ, Dolorosa mendapat beasiswa untuk belajar seni patung di St. Martin's School of Art London dan berkesempatan berguru kepada murid-murid Anthony Caro, seperti Tim Scott dan Katherine Gili. Masa-masa di St. Martin menempa kepekaan Dolorosa akan tubuh manusia karena di sana ia secara spesifik mempelajari metode investigasi analitis tentang gestur dan gerak. “Pada awalnya, metode rasional ini terasa membosankan sebab diskusi kami berkisar pada teori anatomi tubuh melulu,” tutur Dolorosa dalam bukunya.

Suasana pameran instalasi 40 tahun Aktivisme Seni Dolorosa Sinaga di Galeri Nasional Jakarta, 31 Januari lalu. TEMPO/Nurdiansah

Selanjutnya adalah perjalanan eksplorasi Dolorosa dengan medium. Pada 1985, Dolorosa magang di Piero Mussi’s Artworks Foundry, Amerika Serikat, dan belajar tentang metode pencetakan lilin berbahan ceramic shell. Di sana pula dia menyelesaikan karya perunggu pertamanya, yang berjudul Ombak Liar dari Timur. Kemudian dia juga bereksperimen dengan plastik dan kain hingga melahirkan sejumlah karya kuat, seperti Monumen Tsunami Aceh (2006). Untuk menghasilkan gestur penari yang dinamis dan lentur, dia juga pernah bermain dengan medium lempengan lilin yang dipanaskan dan kertas aluminium. Bagi Dolorosa, medium bukan sekadar alat membentuk karya, tapi juga dapat menyampaikan pesan perupa. Misalnya, saat bekerja dengan perunggu, dia ingin menghapus stigma bahwa logam hanya digunakan dalam pekerjaan kaum pria. 

Lebih dari 600 karya telah dihasilkan Dolorosa selama periode aktifnya. Sempat tersendat selama menjabat Dekan Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta pada 1992-2001, Dolorosa mengalami ledakan berkarya setelah masa jabatannya berakhir. Semua karya Dolorosa yang dapat ditelusuri dicantumkan dalam bagian katalog pada buku biografinya. Buku itu dirancang sebagai buku meja kopi berkualitas tinggi dengan harga Rp 1,8 juta untuk sampul tebal dan Rp 1,2 juta untuk yang bersampul tipis. “Jantung buku ini adalah katalog lengkap karya Dolorosa sejak 1976. Proses pencatatan dan pendokumentasian karya Dolo itu yang butuh waktu paling lama dan rumit selama mengerjakan buku ini,” ujar editor Alexander Supartono.

Penerbitan buku dengan katalog lengkap itu tak berarti Dolorosa selesai berkarya. Yang terdekat, Dolorosa akan ke Aljazair untuk membuat patung Sukarno, yang dianggap sebagai sosok besar oleh warga negara itu. Dolorosa juga menyimpan mimpi menghadirkan patungnya di banyak negara lain di dunia. “Saya akan pilih negara yang perlu didorong untuk maju demi kepentingan bersama, bukan maju seperti (negara) Donald Trump,” katanya, tertawa.

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus